Pekik Takbir, Ancaman Bom, dan Tangisan untuk Ba’asyir

Jamaah Anshorut Tauhid Solo di PN Jaksel

Rabu, 15 Juni 2011
Hari ini saya libur. Saya pun dengan santainya tidur-tiduran di kos, sambil main game di laptop dan dengerin lagu-lagu galau. Hehehe.. sampai akhirnya Mbak Woro, wartawan Kantor Berita Kyodo, telpon saya. “Isma, wartawan yang mau ngliput sidang Ba’asyir besok, harus pakai ID khusus ya?” tanya wartawan senior yang juga istri redaktur saya, Mas Jobpie itu.

Di tengah kantuk, saya cuma sayup-sayup mendengar suara Mbak Woro. Masih teler, cuy. Semalam saya piket malam dan baru pulang kos jam 01.30 dinihari. Namun dengan sisa kesadaran saya, saya pun menangkap ada yang urgen dari telepon Mbak Woro: ID KHUSUS!

Weww, saya pun langsung melek. Peralatan tempur pun saya siapkan, sembari kirim pesan lewat WhatsApp ke Mas Ferdi Tribunnews dan Wita Jurnas. Mandi yang biasanya 20 menit ditambah nyanyi-nyanyi galau, siang itu nggak sampai lima menit. Yang penting iler terhapus lah, hehehe..

Jam 13.00, tiba juga saya di PN Jakarta Selatan. Amsyooong, 200 ID yang disiapkan, tinggal tersisa belasan. Saya pun ambil tiga biji, untuk saya sendiri satu, untuk Jayadi, dan Ano, fotografer. FIUHH.. masih ada untungnya, je.

Sidang Ba’asyir memang masih besok. Tapi siang itu, banyak media asing yang udah pesen kavling di ruang sidang. Beuh, itu lantai ruang sidang, udah penuh tempelan kertas penanda hak milik aja, hehehe.. pas saya datang, ada Al Jazeera, ABC, Channel 7, HKT, Reuters, SCTV, dan RCTI yang sukses nandain lantai pakai nama mereka. Hohoho.. setengah becanda, saya pun nawarin Mbak Woro untuk saya tempel juga di lantai.

Kavling Media Asing di Dalam Ruang Sidang PN Jaksel
Saya pulang sekitar pukul 17.00. Sampai kos, sial banget... badan saya tiba-tiba demam dong.. Panas nggak jelas gitu, plus bersin-bersin. Saya pun langsung heboh nyiapin minuman-minuman panas plus obat. Wuduh, nggak banget kalau pas sidang vonisnya eyang Ba’asyir saya malah ga bisa ngeliput karena sakit. Setelah minum obat, saya pun dengan suksesnya tepar di kasur.

Kamis, 16 Juni 2011
Obat saya nggak manjur ternyata. Bangun tidur jam 05.30, saya masih agak meriang. Oh no.. saya pun dengan sedikit kekuatan beringsut mandi dan menyiapkan perlengkapan tempur. Saya semula mau pakai tas cangklong warna abu-abu. Yah biar matching dongs.. soalnya baju saya ada nuansa abu-abunya.. hihihi.. tapi kata Dian, mending saya pakai ransel aja biar praktis. Setelah saya timbang macam-macam, saya ikutin juga saran Dian. Hehe.. Rempong deh..

Sampai di PN Jaksel sekitar pukul 07.30, saya langsung shock lihat kerumunan orang. Parah dah parah.. banyak banget pendukungnya Ustad yang datang.. Ihiks.. bayangan serem-serem pun langsung berseliweran. Saya langsung ngebayangin yang enggak-enggak; gimana kalau mereka ntar bikin rusuh di dalam? Gimana kalau ancaman bom yang kemarin santer terdengar, benar-benar ada dan akan diledakkan di sini? Gimana kalau saya kena bom?

Bismillah.. La haula walaa quwwata illa billaah..

Ngetik sejumlah berita pandangan mata ternyata cukup ampuh bikin pikiran jelek saya hilang. Saya pun mulai fokus liputan lagi. Sampai akhirnya, ada kejadian yang bikin saya keseeeeeeeel banget! Jadi gini. Awalnya, saya akan masuk ke dalam gedung pengadilan. Namun di pintu masuk, langkah saya tertahan oleh belasana orang anggota Jamaah Anshorut Tauhid yang memaksa masuk ke dalam. Padahal mereka tidak berkartu identitas. Jelas dong, polisi nggak memperbolehkan mereka masuk.

Spanduk JAT yang "Nyerang" Polisi
Tapi karena saya wartawan, dan punya ID card, saya memaksa masuk. Nah itu yang diprotes orang JAT. Intinya, kalau saya bisa masuk, mereka juga harus boleh masuk. Sampai akhirnya, ada salah satu dari mereka yang teriak:

“Udah, mending mundur aja! Nonton di luar! Kalau masih merasa sebagai orang Islam, ikuti kata pimpinan! Mundur! Yang di dalam itu orang kafir!” ujarnya dengan nada tinggi.

Ya Allah.. sumpah, kesel banget saya dengar perkataannya itu. Heloo.. itu Ustad lo juga di dalem! So, kau anggap Ustad kau sendiri itu kafir? Kalau emang mau mencegah kawan masuk ke dalam, kenapa sih nggak pakai himbauan lain?? Kenapa kau begitu mudahnya menyatakan orang lain kafir? Tidakkah kau berkaca dan melihat dirimu di cermin?

Masih emosi tingkat tinggi, saya pun masuk ke dalam gedung pengadilan, dan bergegas menuju Ruang Tahanan Khusus, untuk bertemu Ba’asyir. Di dalam ruang tahanan, kakek berusia 73 tahun itu tampak tenang. Ia sesekali tertawa saat mengobrol dengan keluarganya yang datang menjenguk. Sesekali, ia menjawab pertanyaan wartawan yang memintanya menjawab soal kesiapan mendengar vonis hakim.

Ba'asyir di dalam Ruang Tahanan Khusus PN Jaksel

Seperti biasa, jawaban Ba’asyir selalu begitu. Ia pun menuding kasusnya rekayasa, dan aparat Indonesia sudah bekerjasama dengan pemerintah Australia dan Amerika Serikat untuk memenjarakan dia. Ba’asyir bahkan merasa dia sedang dalam proses “dilenyapkan” oleh para pembenci Islam. Wew, wallahu alam lah eyang, kalau soal itu..

Saat sedang mengetik berita soal itu, Mbak Dea Kontan tiba-tiba menghampiri saya. Dan saya lihat dia menangis. “Kamu kenapa mbak?” tanya saya, formal. Dia masih menangis. Saya akhirnya menebak-nebak sendiri. “Sedih ya lihat si eyang di dalam tahanan?” tanya saya lagi. Mbak Dea akhirnya mengangguk. “Iya.. aku nggak tega lihatnya.. dia kan udah tua..” ujar Mbak Dea, sembari mengusap genangan air mata.

Saya tersenyum. Iya sih.. kadang rasa iba saya muncul. Saya sering nggak tega melihat tubuh rentanya yang kurus, rambut dan jenggot putihnya yang tak terurus, serta pandangan mata yang menunjukkan bahwa dia sudah lelah dengan rangkaian sidang ini..

Iya, saya iba melihatnya. Tapi boleh kan saya jujur? Saya sangat membenci sebagian pikirannya yang begitu dogmatis, dan ekstremis. Saya tidak suka dan ngeri terhadap Islam versi Ustad Ba’asyir yang elitis dan eksklusif. Saya tidak suka terhadap kebenciannya pada demokrasi, Pancasila, dan pada pluralitas.

Yah, pengakuan Ba’asyir bahwa ia selama ini tak pernah menganjurkan pengeboman, mungkin saja benar. Tapi tidak sadarkah dia? Nilai-nilai yang dia anut, dan dia sebarkan itu, sudah menginspirasi ribuan manusia untuk membenci manusia lainnya? Tak sadarkah dia, dia sudah mengajarkan dogma yang membuat seorang anak kehilangan ibunya, seorang ayah kehilangan putrinya, seorang perempuan kehilangan kekasihnya? Tak sadarkah dia bahwa orang-orang yang dilukainya bahkan tak mengerti apa itu kebencian terhadap umat agama lain?

Setelah membacakan amar putusan selama empat jam, majelis hakim pimpinan Herri Swantoro pun membacakan vonis untuk sang amir JAT: hukuman penjara lima belas tahun karena terbukti melakukan aksi yang membuat orang lain terteror. Tapi Ba’asyir saat itu juga langsung mengajukan banding. “Karena mengabaikan syariat Islam dan hanya berdasar undang-undang yang thoghut, haram hukumnya saya menerima putusan,” ujarnya.

Sidang usai. Ba’asyir kembali, untuk ketiga kalinya, menjadi penghuni penjara. Namun dipenjaranya sang Ustad saya yakin bukan akhir dari segalanya. Polisi haram hukumnya lengah. Begitu pun kita. Tak ada salahnya mulai saat ini kita makin waspada dan lebih mengenal orang di sekitar kita. Assalamu’alaikum!

Ini salah satu berita saya:
http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/06/16/brk,20110616-341150,id.html

Comments