Wartawan Junior Numpang Curhat :)
Saya (kerudung pink) dan teman-teman seangkatan di Tempo |
Saya masih ingat. Saat lulus dari Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro 2009 lalu, saya begitu yakinnya akan menjalani karir di bidang apa. Dan alhamdulillah, puji Tuhan, rencana itu sejauh ini terlaksana. Saya menjadi jurnalis, dan bekerja di media yang sejak dulu saya kagumi, apalagi kalau bukan karena kegalakannya.
Menjadi jurnalis, atau bisa dikatakan menjadi apa yang saya impikan, tidak berjalan mulus untuk saya. Ibu saya yang konservatif, menginginkan saya bekerja di dalam kantor. Maybe she wants her daughter typing something in the cubicle. Hihihi.. Tapi dengan sungguh menyesel, saya izin pada ibu saya untuk berangkat ke Jakarta, bekerja untuk Tempo.
Saya masih ingat, proses izin itu diwarnai tangis. Ibu saya masih nggak bisa terima ngelepas sulungnya yang cakep dan imut-imut ini. Dia begitu mencemaskan keadaan saya di Jakarta nantinya: bagaimana nanti saya setiap hari sarapan, bagaimana nanti saya liputan melawan macet, dan bagaimana nanti kalau saya sakit.. Oh.. Love u much,my dear Mom..
Lucky me, saya punya ayah seorang wartawan yang kayaknya emang berdoa tiap malem biar putri manisnya ini meneruskan jejaknya. So here I am. Bapak pun meyakinkan ibu kalau pilihan saya tidak salah. Saya terharu banget dengan cara bapak membujuk ibu. Saya tahu, dalem hati sebenernya bapak juga nggak tega ngelepas saya luntang-lantung di Jakarta sendirian. Hihi
Well, bapak mungkin sudah paham, betapa profesi ini memang sangat memikat dan membuat jatuh hati. Saya sebenarnya nggak perlu jauh-jauh ke ibukota buat jadi wartawan. Tapi, seperti yang bapak saya bilang, saya harus bisa buktikan ke semuanya: saya menjadi wartawan bukan karena bapak, tapi karena kata hati saya.
Yah.. Kalau dibilang saya jatuh cinta dengan profesi ini, mungkin benar. Saya bahkan sulit memikirkan profesi lain kecuali wartawan. Yah (buat bekgron aja.. Tapi off the record ya.. Hihi) nama saya aja, Isma Savitri, dicomot mentah-mentah oleh bapak, dari nama wartawan senior Tempo, Mbak Isma Sawitri. Thats why, begitu saya masuk Tempo, beberapa redaktur langsung nanyak, "Kamu siapanya Bu Isma?" hihihi.. (dalem hati: emang itu nama Bu Isma gw rampok semua kok). Then, katakanlah ini kebetulan, saya lahir 9 Februari, bertepatan dengan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia. Ditambah bapak saya yang juga wartawan, komplet lah alasan saya mengapa sejak TK terobsesi profesi ini.
Bareng temen-temen di teras depan kantor |
Saya nggak tahu sampai kapan rasa cinta saya pada profesi ini bertahan. Apakah sampai tahun depan, apakah tahun depannya lagi, atau justru tak akan hilang?
Saat ini saya sedang mencari jawabannya..
Senin, 13 Juni 2011,
Sembari menunggu Jaksa Agung di Gedung Utama Kejagung
waaaaa.... mau dong mbak ikutan jadi jurnalis!!!
ReplyDeleteaduh maaf keceplosan hehe
salam kenal mbak :)
mau dong diajarin atau dikasih tipsnya biar bisa jadi jurnalis :)
halo fakhria.. emang pengen jadi wartawan ya? hehehe..
ReplyDeletewah jangan panggil "fakhria" mbak, keliatan kayak cewek hahaha. fakhri aja :)
ReplyDeleteiya mbak, pengen! tapi nulis aja masi keteteran huhu
posting ttg cerita awal jadi jurnalis dong mbaak. ya siapa tau bisa menginspirasi saya dan teman-teman yang lain hehe
kalau sempet, mampir di blog saya ya mbak :)
Siaaap.. oke ntar aku meluncur ke blog kamu, Ri.
ReplyDeleteSebenernya soal nulis keteteran itu bisa dilatih kok.. smakin sering kita nulis, dan baca tulisan orang, otomatis tulisan kita makin oke dg sendirinya. hehehe
iya deh ntar aq nulis soal yg awal2 jd wartawan ya.. sebagian udah aq posting di label "Liburan eh Liputan" kok..
aku juga bercita2 jadi wartawan. kebetulan tanggal lahirku tepat 100 tahun setelah Rohanna Kuddus,salah satu wartawan perempuan pertama di Indonesia. dia lahir 20 Desember 1884 aku 20 Desember 1984 :)
ReplyDeleteOya, Mbak? wah salam kenal ya.. sekarang jadi wartawan juga, nggak? :))
Delete