Orang Kaya Baru


Entah kenapa respek saya pada sosok Anas Urbaningrum kini sudah menguar. Sebagai warga masyarakat biasa, saya kehilangan sosok Anas yang membumi, rendah hati, cerdas, dan sedikit agamis. Sosok itu entah di mana sekarang.

Anas yang sekarang, saya lihat sebagai sosok politikus yang OKB- orang kaya baru. Lihat bagaimana cara dia berbicara dengan orang di depannya. Dia masih santun memang, tapi ada sedikit ketinggihatian. Dia tak lagi tampil dengan kesederhanaannya. Sudah lenyap gaya santrinya yang dulu.

Anas di mata saya yang warga biasa adalah orang kaya yang bingung dengan semua harta barunya. Setahun lalu, dia belum sejauh ini berubah. Saya masih ingat, bagaimana dalam Kongres Demokrat 2010, Anas masih tampak seperti aktivis mahasiswa yang salah masuk kamar ke partai politik. Dia masih terlihat canggung, meski tidak kehilangan intelektualitasnya.

Dan saat dalam Kongres Demokrat dia melawan senior seperti Andi Malarangeng, saya ragu dia akan melaju. Tapi ternyata prediksi saya salah. Anas yang membumi itu, yang sederhana dan nyantri itu, melampaui seniornya. Ia mendapatkan suara mayoritas, dan akhirnya menggenggam kekuasaan.

Lalu mulailah satu demi satu ciri itu dilepaskan Anas. Mungkin dia malu, sebagai bos partai penguasa, masih bersikap terlampau santun pada bawahannya. Mungkin juga dia menjaga wibawa partai, dan karenanya harus mulai bersolek diri agar tidak dikira “tidak diopeni” partainya.

Anas yang sederhana itu, lalu mulai mengenal proyek. Satu demi satu diraupnya. Satu demi satu mobil mewah terparkir di halaman rumahnya. Hingga akhirnya, halaman sempit itu butuh diperluas. Dan mulai dipugarlah rumah sang ketua umum. Tidak apa-apa, bukankah semua memang sah saat kita memiliki harta?


Rumah Anas -- vivanews.com

Dan ia mulai bicara soal moral kader partainya, setelah Muhammad Nazaruddin mulai menjeratnya dengan tuduhan-tuduhan negatif. Ia yang semula bungkam, akhirnya angkat bicara tentang moralitas koleganya, termasuk dia sendiri sebagai pemimpin. Ia berdalih, mobil-mobil itu, rumah luas barunya itu, didapat dengan cara yang lumrah, tidak aneh-aneh.
Tidak apa-apa, bukankah semua memang sah saat kita memiliki harta?

Yang saya cemaskan sebenarnya tidak penting. Yakni apa yang dirasakan konstituen Demokrat di desa sana. Yang suaranya semula dicerminkan Anas melalui penampilan yang sederhana dan cara berpolitik yang santun. Apakah mereka marah, sang ketua umum kini menjelma layaknya pengusaha kaya raya? Atau mungkin mereka bahagia, karena Anas yang mereka kenal kini sudah mulai tahu cara bersikap sebagai orang berharta?

Saya bukan salah satu dari pendukung partai Pak Beye, tentunya. Saya juga bukan pendukung oposisi. Saya cuma orang biasa, yang merasa cemas apakah ada hak rakyat yang digunakan untuk membeli mobil-mobil mewah Mas Anas. Dan yang saya penasaran, apakah saat membeli kemewahan itu, Mas Anas mengingat rakyat yang dulu dijualnya sebagai alat kampanye?

Tulisan ini mungkin keluar dari kepala saya yang ‘sakit’ dan penuh dengan dengki dan iri. Dan kedengkian ini kadang terlampau kuat hingga saya sendiri sulit mengontrolnya. Kalau ada “Anas”-“Anas” di luar sana yang membaca kedengkian saya ini, mungkin mereka cuma tertawa. Kata mereka, palingan saya iri karena saya hanya wartawan yang hidup pas-pasan entah sampai kapan. Hehehe..

Saya nggak marah dibilang makhluk pendengki pada mereka politikus dan penyelenggara negara, yang hidupnya nyaman sejahtera dengan uang pajak saya dan ratusan juta penduduk lainnya. Kenyataannya saya memang ‘sakit’ melihat “Anas”-“Anas” di luar sana bisa meraih apa saja, sementara rakyat yang meng-kaya-kan mereka hanya bisa menjadi penonton.

Marhaban ya Ramadhan.. Selamat menjalani ibadah puasa. Semoga kita sama-sama dijauhkan dari buruk sangka. Terutama saya :)

Comments