Jakarta dan Rasa Takut akan Kebaikan
Bundaran Hotel Indonesia |
Nggak masalah kalau saya bukan makhluk visual. Masalahnya saya selalu ngebayangin semua nama-nama warga kampung setan itu, jika ada yang menakut-nakuti. Sumpah menjadi makhluk visual itu banyak ruginya daripada untung. Dikasih tahu apa dikit, ngebayangin. Digoda jorok dikit ngebayangin juga, wkwkwk..
Alhasil semalam saya sampai mencoba segala gaya hanya demi bisa tidur. Mulai dari gaya women on top, doggy style, 69 *eh* no, no.. Saya semalam coba berbagai gaya, dari gaya jumpalitan, tengkurep kaki ditekuk satu, kayang dikit, nutup muka pake bantal sambil berdoa khusyuk, sampai akhirnya saya tertidur. Entah saat saya sedang mencoba gaya apa.
Intinya semalam saya mencoba tidur sambil mengutuki sifat saya sebagai makhluk visual, dan kebiasaan buruk saya yang sering hilang nyali karena ketakutan-ketakutan yang nggak jelas. Yah di sini saya salah juga kenapa mudah terpengaruh pada upaya Dika menakut-nakuti saya. Kalau saya mau kan sebenarnya saya nggak perlu membayangkan atau memikirkan pocong tanpa muka dkk itu. Tapi ya ituuuuuuu.. Huhuhu..
Bukan sekali ini saja saya menyerah pada rasa takut atau ngeri yang ada di pikiran. Beberapa kali saya juga mengalaminya dalam keseharian. Salah satunya kemarin, saat saya ada di dalam metromini 69 (ini sumpah ya, nomornya emang 69. Tapi angkotnya ga meleng atau terbalik kok, hihihi) dari Terminal Blok M menuju Kantor Tempo Velbak.
Seperti biasa saya tertidur di bus. Padahal baru juga naik lima menit. Saat lagi pules-pulesnya tidur, ada suara orang teriak yang bikin saya bangun dengan 'gragapan'. Ni orang kurang-lebihnya teriak gini:
"Ya bapak-ibu, om-tante, kakak, banyak kawan saya di luar sana yang kelaparan. Lalu nekat mencuri, menjambret, menodong, dan bahkan ada ibu yang menjual dirinya hanya demi bisa mendapatkan sesuap nasi. Tolonglah Pak-Bu, Om-Tante, saling berbagi dan tolong-menolong. Apalah arti 100-200, 1000-2000, bagi bapak-ibu. Uang 100-200, 1000-2000 tidak akan membuat Pak-Bu jatuh miskin. Daripada saya mencuri, mencopet, menodong, menjambret, lebih baik kita saling berbagi.."
Kurang-lebih itu yang dikatakan si lelaki bersama kawannya. Denger kalimat itu, saya sebenarnya kesal. Karena nggak ada yang bisa disimpulkan dari pernyataan mereka selain mengancam akan mencopet barang kita, kalau kita tidak mau memberinya duit.
Tapi rasa kesal saya tertutupi oleh rasa takut. Saya takut akan dijambret dan dicopet, dan lebih parah lagi disakiti oleh mereka. Gimana saya nggak takut kalau dua orang lelaki itu minta-mintanya sambil teriak dengan suara parau dan nada mengancam.
Plus mereka bergaya punk sehingga membuat saya yang melihat jadi bergidik (sorry to say, tapi setelan pakaian hitam, bibir digincu ungu tua, mata pake eyeliner hitam, dan tindik di bibir serta lidah memang membuat saya jiper..)
Saya jengah sebenarnya dengan cara mereka meminta. How dare u, begging for something impolitely ?? Udah nggak nyanyi (saya agak hargai yang mau nyanyi walau suaranya kayak kucing kejepit pintu), bentak-bentak pula. Dan kadang itu masih ditambah aksi debus mereka makan dan ngunyah-ngunyah silet. Yaiks.
Saya mungkin terlalu jahat, tidak punya empati, serta tidak punya rasa belas kasih dalam kasus ini (halah, kasus..). Tapi memang saya tidak respek dengan cara mereka meminta-minta. Mereka memanfaatkan karakter kota Jakarta yang memang sarat kriminalitas, sehingga membuat penduduknya selalu dibayangi perasaan tidak nyaman di mana-mana. Takut kecopetan, takut diperkosa, takut dianiaya, takut dibunuh..
Nggak munafik saya jadi lebih sering berprasangka buruk sejak jadi penghuni Jakarta. Saya merasa jarang ada orang yang bisa dipercaya di kota ini, sebaik apapun perilakunya, semanis apapun roman wajahnya. Jangan percaya, karena bisa jadi dia adalah pencuri, pembunuh, pemerkosa, atau teroris. (kalau yang manis aja mencurigakan, apalagi yang nggak manis ya? Wkwkwk).
Jakarta benar-benar menempa kita menjadi pribadi yang individualis (alih-alih sosialis seperti yang diharapkan peminta-minta bergaya pakaian punk itu) yang selalu menaruh curiga pada apapun dan siapapun, yang memilih untuk memasang wajah judes agar tak mudah dimanfaatkan orang di terminal, yang menolak tersenyum pada orang yang baru dikenal, dan yang skeptis masih ada orang tulus di tengah himpitan dan tekanan ibukota (jiah, ibukota.. Hihi)..
Yah lebih baik saya tiga hari ini pulang kampung dulu ke Semarang. Charge semangat, sekaligus kembali belajar tersenyum saat bertegur sapa dengan orang di sekitar. Satu tahun lebih di Jakarta, saya tak sadar mulai melupakan itu..
Comments
Post a Comment