Rok Mini, Misogini, dan Kejahatan "Plat Kuning"
pearlsofbeauty.blogspot.com |
Kalau saya berjalan sendiri, sumpah saya takut. Bukan karena apa-apa, tapi karena saya memang tidak suka gelap. "Kamu ngapain sih kos di sini? Ngeri tempatnya," ujar saya pada dia yang berjalan di samping saya. Dia cuma senyum. "Ya aku kan cowok, ngapain takut?" jawabnya sok 'iye'.
Pas lagi ngomong gitu, ada mbak berusia sekitar 28 tahun berjalan ke arah berlawanan dengan kami. Dia memakai riasan cukup tebal. Rok kuning yang dia kenakan tingginya di atas lutut, sehingga kaki jenjangnya tampak begitu sempurna. Saya melirik cowok di samping saya. Cuma iseng sih, untuk lihat reaksinya terhadap si mbak.
Ternyata dia emang ngelirik (hahaha.. Ya iyalah..). "Berani banget ya mbaknya lewat jalan sepi kayak gini pake rok mini gitu. Kalau diapa-apain kan ga salah yang ngapa-ngapain.." kata dia, kalem.
Saya langsung melotot. "Heh, biarin aja napa, dia pake rok mini? Toh emang dia seksi. Trus kenapa kalau dia pakai rok mini? Salah? Kalau dia diapa-apain karena itu, itu bukan salah dia. Emang dasar cowok yang ngapa-ngapain dia itu yang kurang ajar dan brengsek!"
Hahaha.. Kalau saya inget mukanya saat itu, saya masih aja geli. Raut wajahnya kayak berkata "kamu lagi PMS ya? nyolot banget??" hehe.. Tapi sumpah ya, emang saya jengkel banget sama dia saat itu. Emang nggak bisa ya, tidak menyalahkan tubuh perempuan sebagai sebab aksi kriminalitas?
Saya tiba-tiba ingat kejadian di atas setelah hari ini, 16 September 2011, Gubernur DKI Fauzi Bowo mengatakan perempuan sebaiknya tidak mengenakan rok mini di angkot. Sebab hal itu bisa "mengundang" pelaku kejahatan, entah dengan mencopet, ataupun memperkosa.
Pernyataan itu diberikan Pak Kumis setelah ada sejumlah kejadian perempuan di Jakarta yang naik angkot jadi korban perkosaan.
Pak Fauzi, kalau saudara Anda, atau putri Anda, atau mungkin pegawai Anda, yang kebetulan memakai rok mini suatu hari mengalami hal yang tidak mengenakkan, apa yang Anda rasakan? Apakah Anda ikhlas, jika publik berkata, "Pantes dijahatin. Pakai rok mini, sih!". "Coba nggak pakai rok mini, pasti nggak diapa-apain!".
Saya nggak mengerti, kenapa dari dulu sampai sekarang, tubuh perempuan masih disalahkan. Cara berpikir misoginis- membenci perempuan- masih saja langgeng meski peradaban semakin maju. Saya yang terlalu cerewet, atau memang orang yang terlalu malas mengubah persepsi?
Yang saya yakini sampai sekarang, pertama, kejahatan itu tidak memandang rok mini. Kenapa harus menyalahkan perempuan yang memakai rok, jika sebenarnya si pria pemerkosa bisa menahan dan mengelola nafsunya? Apakah seandainya ada laki-laki tampan dan seksi diperkosa, dia juga akan disalahkan karena ketampanannya?
Kedua, saya masih tetap memandang cara berpakaian adalah hak pribadi setiap orang. Oke, mungkin satu-dua kali tanpa sadar kita berkomentar miring soal selera fesyen orang. Saya pun pernah nyinyir saat melihat seorang artis pakai baju yang menurut saya "nggak banget". Tapi saya kemudian sadar. Suka-suka dia dong ya, dia mau pakai baju apa. Kalau dianya pede dan nyaman, kenapa saya harus ribut?
Itulah kenapa saya sering heran kalau ada orang yang begitu sibuk mengomentari baju si A yang terlalu terbuka, rok si B yang terlalu mini, atau si C yang pakai jilbab tapi celananya ketat. Oh please, apa sih ruginya si pengomentar kalau si A, B, dan C, selera fesyennya nggak sama dengannya? Hehe..
Lagian, biarin aja dong dia pakai rok mini. Kalau emang kakinya oke, kenapa nggak dipamerin aja? Kalau emang kaki-kaki telanjangnya itu bisa membuat dia pede dan mendapatkan apa yang diinginkan, kenapa enggak? Saya pikir setiap orang punya cara sendiri untuk mendapatkan keinginannya.
Biar perempuan sendiri yang mendefinisikan tubuhnya. Biar perempuan sendiri yang menentukan, apa yang dia ingin lakukan dengan tubuhnya. Biar perempuan yang memilih, apakah tubuhnya yang sudah didisiplinkan itu akan dia tutup dengan hijab, ataukah dibiarkan terlihat. Biarlah perempuan berkehendak.
Comments
Post a Comment