Drama Reshuffle ala SBY, Sesuatu Banget Yah..

Menteri eh kucing yang ditukar lebih enak dipantengin
"Ditunggu 1 Bulan, Cuma Begini Saja?" Begitu headline koran PosKota yang saya baca selintasan saat turun metromini 62 dan pindah ke Kopaja 66. Sementara kantor saya ambil angle soal jatah menteri PKS yang dikurangi satu. Judul HL Koran Tempo kalau nggak salah "PKS Anggap Presiden Langgar Kontrak".

Daging dua judul dari dua media itu memang beda, tapi "rasa"-nya sama. Entah seperti apa judul HL Jurnal Nasional. Tapi pastinya, banyak yang kecewa dengan hasil reshuffle ala Pak Beye. Sebulan lebih bikin drama politik, seperti itu saja hasilnya?

Itu hak prerogatif Presiden, demikian yang sering digembar-gemborkan sejumlah orang, terutama politikus Koalisi. Soal ini semua orang juga tahu, memilih pembantu itu hak Pak Beye. Sebab Pak Beye-lah yang paling tahu, tipe pembantu seperti apa yang cocok dengannya, dan (seharusnya mempertimbangkan) sosok mana yang kapabel memimpin Kementerian.

Tapi Presiden kita itu kan bukan datang dari langit, yang nggak punya utang budi dengan siapapun demi bisa menunggang sedan RI 1. Presiden kita itu untuk bisa tinggal di Istana, dan punya staf-staf loyal macam Pak Sudi dan Pak Daniel, harus pintar-pintar memilih mana kawan dan mana lawan.

Kalau latar belakang utang budi dan ewuh-pakewuh sudah bicara, apalagi sih yang bisa diharapkan dari sebuah reshuffle?

Menuntut Pak Beye memilih menteri yang cakap dan profesional sepertinya sia-sia. Kita berteriak sekencang apapun juga nggak bisa mempengaruhi Pak Beye agar mengabaikan unsur balas jasa ke teman-temannya yang setia di Koalisi.

Yang terjadi ya seperti kasusnya Fadel Muhammad itu. Sore ditelepon dan dibilang tetap di posisinya, eh malamnya nama Pak Fadel nggak disebut sebagai salah satu menteri KIB II. Jangan lupa juga bagaimana Djan Faridz sempat diisukan batal jadi Menpera, sementara paginya dia sudah ikut tes kesehatan.

Atau soal Patrialis Akbar yang dicopot dari jabatan Menkumham karena bisikan Pak Hatta sebagai calon besannya Pak Beye. Juga bagaimana dua tetua Demokrat masih bertahan di KIB II, tapi geser pantat saja; Jero Wacik diplot sebagai Menteri ESDM, dan EE Mangindaan digeser sebagai Menteri Perhubungan.

Ah saya sampai lupa. Pak Beye juga masih mempertahankan Andi Malarangeng sebagai Menpora, dan Muhaimin sebagai Menakertrans. Padahal dua nama itu sebelum ini digoyang isu korupsi. Bertahannya Andi sudah tentu alasannya. Pun dengan keputusan mempertahankan Muhaimin, serta dua bos partai besar lain, Tifatul Sembiring dan Suryadharma Ali, di pos masing-masing.

Tanpa mengupas latar belakang menteri itu satu persatu pun kita sebenarnya sudah bisa bilang, ada banyak nama yang jauh lebih pantas berada di posisi mereka. Tapi sekali lagi, apa sih yang bisa kita harapkan dari Presiden yang punya banyak "tanggungan politik" itu?

Sejak dulu saya sebenarnya sudah males dengan drama ala Pak Beye dan sohib-sohibnya di Koalisi. Dan setelah reshuffle Oktober ini, saya sepertinya nggak cuma males, tapi juga berusaha nggak peduli lagi. Saya tahu itu pilihan buruk. Tapi tahi kucing, lah. Mana bisa menahan untuk tidak muntah jika rasa mual sudah mencekat leher?

Comments