Pake Jilbab Kok Kelakuannya Begitu?

"Pake jilbab kok kelakuannya kayak gitu?"
"Sayang ya.. Dulu pake jilbab kok sekarang dicopot.."
"Niat nggak sih, jilbab-an? Masa pakai legging?"
.. Dan sederet pertanyaan lainnya..

Saya sering sekali menemukan pertanyaan seperti di atas. Ada banyak lainnya tapi saya lupa. Yang jelas intinya sama. Pertanyaan-pertanyaan itu ujungnya menggariskan aturan laku perempuan berhijab.

Kalau kenal saya sejak lama, pasti tahu saya baru berjilbab saat akhir SMA. Dulu? "Baju kebangsaan" saya itu celana pendek dan kaos oblong. Semua itu berubah saat suatu malam, saya tiba-tiba ingin berjilbab. Celana pendek dan kaos oblong itu tergantikan oleh rok-rok manis dan atasan lengan panjang.

Memakai jilbab dan bergaya lebih centil tidak mengubah sifat asli saya yang boyish. Saya tetap saja perempuan yang galak, yang cekakakan kalau ketawa, yang suka ngomongin seks secara vulgar dengan teman-teman. Alhasil hal itu memantik sentilan dari beberapa orang. "Vit, kamu ni berjilbab kok kelakuannya kayak gitu sih?"

Saya nggak lupa siapa yang mengucapkan kalimat itu, di mana dia mengucapkan, dan kapan saya mendengarnya. Saat itu saya memang cuma tertawa (seperti biasa lah, hehehe..), tapi di perjalanan pulang, saya jadi kepikiran. "Memangnya kelakuan saya berlebihan ya selama ini?".."Apakah jika saya tidak berjilbab saya boleh melakukan itu semua?"

Eh nggak tahunya sampai rumah saya nangis. Hahahaha.. Cengeng banget saya. Soalnya saat itu saya tiba-tiba merasa mungkin aja saya yang salah. Saya pun langsung curhat ke ibuk, dan tanya saya harus gimana. Kata ibuk yang pake jilbab sejak kecil (ibuk sekolah pondok sejak MTS hingga MA), saya nggak usah down hanya karena ucapan teman saya.

"Kalau kita harus sempurna dulu untuk bisa pakai jilbab, kapan kita bisa pakai? Orang itu nggak ada yang sempurna," kata ibuk. "Daripada ingetin kamu, mending temenmu memperbaiki dirinya sendiri, deh." Ugh, i heart you, Mom!

Saat masuk kuliah, saya juga nggak lepas dari kritik. Masalahnya saya hobi pakai baju lengan 2/3 yang memperlihatkan sedikit bagian tangan, dan pakai legging ke kampus. Hal itu pernah membuat senior yang kebetulan dari KAMMI menyindir saya saat liqo' (pertemuan mingguan) di mushalla fakultas.

Dia saat itu mengeluarkan ayat Quran yang isinya memerintahkan perempuan menutup aurat. Dan yang disebut aurat adalah seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah. Artinya saya nggak boleh pakai baju lengan 2/3. Saya juga nggak boleh pakai legging karena itu menunjukkan bentuk kaki saya. Seharusnya? Pakai rok gamis seperti dia gitu, deh.. Hehehe..

Bukannya ngikutin sarannya, saya justru mangkir dari setiap liqo', hehe.. Saya memilih nggak mendengarkan lagi sindirannya dibanding mengubah cara berpakaian saya. Nggak heran setelah itu mata kuliah Agama saya dapet BC, karena senior saya itu juga menyumbang penilaian keaktifan di liqo' kepada Dosen Agama. Ah biarin lah.. Semoga nilai saya di mata Allah nggak BC. Hihihi

Eh iya jadi lupa. Agus, partner saya saat KKN, juga pernah berdebat dengan saya soal jilbab. Saya ingat saat itu saya sampai ngambek pada kawan yang nggak mau bersentuhan sama sekali dengan perempuan itu. Gara-garanya saya pernah ketawa ngakak dengan suara superkeras, dan ditegur Agus. "Hus! Perempuan pakai jilbab kok ketawanya gitu sih!" ujarnya.

Dengar Agus ngomong gitu, naluri sinisme saya langsung deh keluar. Hihihi.. "Trus kenapa kalau aku berjilbab ketawanya ngakak? Kalau aku laki-laki jadi boleh ketawa kayak gitu? Iya?" begitu saya membentak Agus. Yang saya bentak kelihatan mau 'melawan', tapi nggak tahu kenapa nggak jadi. Wkwkwk

Saya mungkin memang agak melanggar teks Quran mengenai aurat perempuan. Karena saya lebih memilih mengkaji secara hermeneutik, dengan menempatkan ulang teks tersebut pada locus dan tempus terkini. Dengan demikian saya menganggap perintah menutupi tubuh 'ala yang diartikan senior saya' turun karena itulah yang paling pas dengan kondisi Arab zaman Rasulullah.

Sementara untuk saat ini, saya menilai berjilbab tak harus se-saklek itu. Berjilbab, saya maknai sebagai berpakaian sopan dan mengenakan hijab, sebagai identitas keislaman saya sebagai seorang muslim. Saya mengenakan jilbab bukan karena tekanan siapapun, tapi karena ini pilihan saya.

Sekarang kalau ada yang masih mempertanyakan cara berjilbab saya, saya lebih cuek. Dalam arti saya menjadikan itu sebagai masukan, tapi tidak lagi terbebani seperti saat SMA dan awal kuliah. Sudahlah, biar ini jadi urusan saya sendiri. Moga saja Allah paham kalau saya nggak pakai cadar dll hanya nggak ingin agama ini tampak begitu ekstrimis dan elitis.

Lagian, kayaknya gaya berjilbab saya udah kayak mbak-mbak yang di Jeddah sana. Ya nggak sih? Hahahaha..

Comments