Ketakutan-Ketakutan Pernikahan
Teman di sekeliling saya banyak yang sedang mempersiapkan pernikahan. Ada Era, teman sekos saya, dan Mutia, teman satu angkatan di Tempo. Kalau Era akan menikah Januari tahun depan, Mutia akan menikah pekan ini. Senang sekali rasanya melihat kedua kawan saya itu mempersiapkan hari H. Tapi dalam hati, jujur saya bertanya-tanya: giliran saya kapan, ya..
Lalu Sabtu lalu, Ibuk tiba-tiba SMS saya begini: “Kamu malam minggu sama siapa?” Hmmm.. sedang agak sensitif kali ya, saya. Ditanya begitu, saya agak jengkel. Saya pun mendiamkan SMS Ibuk. Nggak saya balas (jahat ya sayaaaa...). Yah sebenarnya saya nggak tega juga mau kasih jawaban jujur ke dia. “Aku malam mingguan di kantor, Buk.. Habis ini emang sih mau main. Tapi sama Gusti..”
Kalau jawaban itu yang saya sodorkan, kayaknya Ibuk bakalan sedih. Hihihi.. Mungkin Ibuk cemas, nih anak kok naga-naganya belum mau nikah. Padahal teman saya di Semarang sudah banyak yang menikah, bahkan punya anak. Dalam hati, Ibuk mungkin bertanya-tanya. Apalagi sih yang saya tunggu? (jawabannya sebenarnya udah jelas. Saya belum ada calon yang sreg, hahahaha..).
Soal menikah memang sering jadi bahan obrolan menyenangkan dengan teman-teman. Saya dan geng X-Manunggal seperti Mami, Dian, Ochie, Alien, Ina, dan Ali, seriiiing banget galau nggak jelas di Grup Whatsapp. Udah nggak terhitung banyaknya kami melempar canda satir soal pernikahan. Sebenarnya itu menandakan, kalau memang kami sedikit-banyak mulai gelisah memikirkannya. Hahahaha..
Yang membuat saya tersenyum dalam hati, ternyata wabah galau menikah ini juga menjangkiti teman saya yang selama ini tampak cuek terhadap hal-hal semacam itu. Entah ada badai dari mana, dia tiba-tiba membuka obrolan ringan soal pernikahan. Saya lupa preambule-nya. Tapi garis besar yang kami obrolkan adalah soal seberapa penting kemapanan menjadi pondasi seseorang untuk menikah.
Sebenarnya bukan kali ini saja saya diajak diskusi soal masalah itu. Berhubung yang mengajak saya mengobrol adalah orang yang di mata saya selama ini tampak introvert, saya jadi teringat dengan obrolan yang terjadi di sebuah sore selepas hujan. Nggak perlu saya sebut namanya, karena saya takut dia keberatan.
Yang saya tangkap, dia sebenarnya sudah mulai gelisah memikirkan pernikahan. Entah betul atau tidak, tapi dia seperti sedang meraba-raba impiannya, harapannya, yang dia benturkan dengan sikap perempuan selama ini. Saya rasa, saya cukup mengenal dia dengan baik. He’s a good man. Dan saya lihat dia punya banyak kualitas diri yang membuat orang tertarik. Hoek Hoekkk
Dia mengatakan, akan menikahi seseorang yang bisa diajak hidup susah bareng, karena nggak selamanya hidup orang itu selalu di “atas”. Karena psinsipnya, orang menikah itu susah-senang ditanggung bersama. Yang dia gelisahkan, sampai tahap kemapanan seperti apa dia berani memutuskan untuk menikah? Bukankah kata orang bijak, nggak akan ada habisnya kalau kita menunggu sampai merasa mampu?
Dalam obrolan singkat tersebut, saya bilang padanya, bahwa saya pribadi memilih sepakat pernikahan tak harus menunggu sampai kedua belah pihak sama-sama mapan. Karena kalau nunggu sampai mapan, mau nikah kapan? Nggak semua orang bukan, bisa beruntung mendapat kenyamanan secara finansial?
Tapi yang harus digarisbawahi, memilih untuk susah-senang bareng pasangan bukan berarti mengesampingkan persiapan psikologis dan finansial. Nggak harus punya duit ratusan juta atau sepetak apartemen, tapi paling tidak punya tabungan yang cukup untuk menjalani hidup. Memang terdengar materialistis, tapi itu untuk meminimalisasi kemungkinan hal buruk terjadi.
Saya yakin, ada banyak yang berpikiran sama dengan teman saya itu. Banyak yang ragu menikah, dengan alasannya masing-masing. Ada yang belum ketemu orang yang sreg, merasa belum mapan, masih ingin sekolah dulu, terlalu pemilih, atau bahkan sudah siap semuanya tapi orang tua belum setuju dengan calon yang diajukan.
Apapun alasannya, saya yakin Tuhan hanya sedang menguji kita. Dia sedang membuat kita berusaha memperbaiki diri, agar bisa sepadan dengan jodoh kita nanti. Mungkin terdengar klise, tapi saya masih percaya, jodoh kita itu sebenarnya cerminan dari diri kita sendiri. Saya dapet yang kayak apa, ya.. Hahahahaha..
Ni saya kasih lirik dari salah satu lagu kesukaan saya:
Bangunlah sebuah rumah yang yahud..
Di mana kita kan dapat bersama. Tak ada yang dapat menyusup masuk ke dalam..
(Naif – Rumah yang Yahud)
Lalu Sabtu lalu, Ibuk tiba-tiba SMS saya begini: “Kamu malam minggu sama siapa?” Hmmm.. sedang agak sensitif kali ya, saya. Ditanya begitu, saya agak jengkel. Saya pun mendiamkan SMS Ibuk. Nggak saya balas (jahat ya sayaaaa...). Yah sebenarnya saya nggak tega juga mau kasih jawaban jujur ke dia. “Aku malam mingguan di kantor, Buk.. Habis ini emang sih mau main. Tapi sama Gusti..”
Kalau jawaban itu yang saya sodorkan, kayaknya Ibuk bakalan sedih. Hihihi.. Mungkin Ibuk cemas, nih anak kok naga-naganya belum mau nikah. Padahal teman saya di Semarang sudah banyak yang menikah, bahkan punya anak. Dalam hati, Ibuk mungkin bertanya-tanya. Apalagi sih yang saya tunggu? (jawabannya sebenarnya udah jelas. Saya belum ada calon yang sreg, hahahaha..).
Soal menikah memang sering jadi bahan obrolan menyenangkan dengan teman-teman. Saya dan geng X-Manunggal seperti Mami, Dian, Ochie, Alien, Ina, dan Ali, seriiiing banget galau nggak jelas di Grup Whatsapp. Udah nggak terhitung banyaknya kami melempar canda satir soal pernikahan. Sebenarnya itu menandakan, kalau memang kami sedikit-banyak mulai gelisah memikirkannya. Hahahaha..
Yang membuat saya tersenyum dalam hati, ternyata wabah galau menikah ini juga menjangkiti teman saya yang selama ini tampak cuek terhadap hal-hal semacam itu. Entah ada badai dari mana, dia tiba-tiba membuka obrolan ringan soal pernikahan. Saya lupa preambule-nya. Tapi garis besar yang kami obrolkan adalah soal seberapa penting kemapanan menjadi pondasi seseorang untuk menikah.
Sebenarnya bukan kali ini saja saya diajak diskusi soal masalah itu. Berhubung yang mengajak saya mengobrol adalah orang yang di mata saya selama ini tampak introvert, saya jadi teringat dengan obrolan yang terjadi di sebuah sore selepas hujan. Nggak perlu saya sebut namanya, karena saya takut dia keberatan.
Yang saya tangkap, dia sebenarnya sudah mulai gelisah memikirkan pernikahan. Entah betul atau tidak, tapi dia seperti sedang meraba-raba impiannya, harapannya, yang dia benturkan dengan sikap perempuan selama ini. Saya rasa, saya cukup mengenal dia dengan baik. He’s a good man. Dan saya lihat dia punya banyak kualitas diri yang membuat orang tertarik. Hoek Hoekkk
Dia mengatakan, akan menikahi seseorang yang bisa diajak hidup susah bareng, karena nggak selamanya hidup orang itu selalu di “atas”. Karena psinsipnya, orang menikah itu susah-senang ditanggung bersama. Yang dia gelisahkan, sampai tahap kemapanan seperti apa dia berani memutuskan untuk menikah? Bukankah kata orang bijak, nggak akan ada habisnya kalau kita menunggu sampai merasa mampu?
Dalam obrolan singkat tersebut, saya bilang padanya, bahwa saya pribadi memilih sepakat pernikahan tak harus menunggu sampai kedua belah pihak sama-sama mapan. Karena kalau nunggu sampai mapan, mau nikah kapan? Nggak semua orang bukan, bisa beruntung mendapat kenyamanan secara finansial?
Tapi yang harus digarisbawahi, memilih untuk susah-senang bareng pasangan bukan berarti mengesampingkan persiapan psikologis dan finansial. Nggak harus punya duit ratusan juta atau sepetak apartemen, tapi paling tidak punya tabungan yang cukup untuk menjalani hidup. Memang terdengar materialistis, tapi itu untuk meminimalisasi kemungkinan hal buruk terjadi.
Saya yakin, ada banyak yang berpikiran sama dengan teman saya itu. Banyak yang ragu menikah, dengan alasannya masing-masing. Ada yang belum ketemu orang yang sreg, merasa belum mapan, masih ingin sekolah dulu, terlalu pemilih, atau bahkan sudah siap semuanya tapi orang tua belum setuju dengan calon yang diajukan.
Apapun alasannya, saya yakin Tuhan hanya sedang menguji kita. Dia sedang membuat kita berusaha memperbaiki diri, agar bisa sepadan dengan jodoh kita nanti. Mungkin terdengar klise, tapi saya masih percaya, jodoh kita itu sebenarnya cerminan dari diri kita sendiri. Saya dapet yang kayak apa, ya.. Hahahahaha..
Ni saya kasih lirik dari salah satu lagu kesukaan saya:
Bangunlah sebuah rumah yang yahud..
Di mana kita kan dapat bersama. Tak ada yang dapat menyusup masuk ke dalam..
(Naif – Rumah yang Yahud)
so, musti bangun sebuah rumah yahud dulu? ;p
ReplyDeletetanya calon ibu anakmu to.. hehehe
ReplyDelete