The Art of Getting By: Resep Sama, "Koki" Berbeda

Saya nggak nyangka, cerita The Art of Getting Getting By sangat sederhana dan abege banget. Hehehe.. Padahal kovernya agak dewasa dan "meyakinkan", lho. Film ini membuat saya merasa sedang melihat FTV yang mengisahkan kisah cinta anak SMA generasi Inbox dan Dahsyat yang labil, galau, dan emosional :D

Walau begitu, tetap saja The Art of Getting By lebih baik dari FTV. Sinematografi, visualisasi, dan gaya penyutradaraan dari Gavin Wiesen hampir mirip dengan salah satu film favorit saya, 500 Days of Summer. Bedanya, The Art of Getting By jalan ceritanya terlalu cheesy dan terlalu mudah ditebak. Nggak terlalu ada kejutan lah sepanjang film berdurasi satu setengah jam ini.

The Art of Getting By bercerita tentang pelajar bernama George (Freddy Highmore) yang tiba-tiba merasa semua yang dilakukan akan sia-sia karena suatu ketika dia akan mati (yes, silakan bingung dengan pemikiran aneh George yang absurd itu, hehe..). Nah, George yang sebelumnya tergolong pintar ini pun mendadak berlaku aneh.

Di kelas, George tiba-tiba jadi nggak mau ngapa-ngapain. Boro-boro ikut ujian, merhatiin gurunya aja dia nggak mau. Alasannya, ngapain belajar, kalau toh nanti dia meninggal? Hahaha.. Sumpah saya geli banget dengan pemikiran semacam itu. Sekalian aja deh doi nggak usah makan. Toh suatu hari bakal meninggal :p

Kehidupan George yang begitu kaku dan memantik kecemasan guru dan orang tuanya, mulai berubah sejak Sally (Emma Roberts) datang. Cewek cantik berambut pirang itu perlahan bisa mengubah prinsip George, "We live alone, we die alone, and everything else is just an illusion".

Kekakuan hidup George pun mulai mencair. Ia juga beranjak menyukai Sally yang punya kehidupan berwarna, menyenangkan, dan penuh kejutan. Tapi hal yang sama, sayangnya, tak dirasakan Sally. Then the drama started. Setelah masuk momen George naksir Sally, dan Sally-nya nggak jelas, film berubah membosankan.

Freddie Highmore bermain lumayan di sini. Dia bisa membawakan dengan baik sosok pemuda tanggung yang mencari identitas. Karakter yang sangat jauh berbeda dibanding perannya sebagai bocah cilik penggemar coklat di Charlie and the Chocolate Factory, hehe.. Sebaliknya, Emma Roberts justru nggak mampu mengeluarkan aura sebagai cewek yang mampu mengubah pandangan cowok seaneh George. Flat banget aktingnya!


Soal ritme, sejak awal, sepertinya sang sutradara tidak berencana menjadikan film ini penuh kejutan. Terbukti The Art of Getting By tak neko-neko, dan menurut saya bahkan terkesan main aman. Memang sih, dibandingkan dengan film cinta remaja lainnya, film ini agak mending dan nggak berlebihan. Tapi di suatu titik, hal itu membuat kita jenuh dan lelah menonton.

Pesan yang ingin disampaikan The Art of Getting By sebenarnya mulia (halah..). Film ini mencoba menasehati kita dengan cara yang tak menggurui, bahwa kita sebenarnya bisa bangkit dari keterpurukan. Bahkan kita bisa berbuat sesuatu yang mungkin justru tak bisa kita lakukan saat kita sedang dalam kondisi "normal" dan tanpa tekanan.

Endingnya? Sudah saya katakan kan, The Art of Getting By tak akan memberi kejutan berarti. Dan lagi-lagi, film ini menunjukkan bahwa mustahil perempuan dan laki-laki bisa bersahabat tanpa adanya campurtangan cinta. Hah, membosankan. Resep yang sama, formula yang begitu-begitu saja.

Comments