Copet vs Copet
Saya tadi naik metromini jurusan Blok M-Ciledug ke kantor. Seperti biasa, saya minta keneknya nurunin saya di depan kantor persis. Tapi belum sampai seberang kantor, metromininya tiba-tiba berhenti. "Eh tuh ada tas jatuh, lo ambil!" teriak si sopir kepada kenek metromini. Si kenek pun langsung tanggap, dan berlari ke tempat yang ditunjuk si sopir.
Awalnya saya bingung. Emangnya tas siapa yang jatuh? Perasaan metromininya sepi deh.. Saya doang yang berdiri. Itu pun karena saya mau bentar lagi mau turun. Setelah nengok ke belakang, baru deh saya tahu. Ternyata ada tas cewek (mungkin pengendara motor) yang jatuh di tengah jalan. Tasnya terlihat bagus, dan saya asumsikan di dalamnya berisi barang-barang yang lumayan.
Tapi ternyata si kenek metromini sedang enggak beruntung. Tas itu lebih dulu diraih oleh seseorang yang tampaknya penjual asongan. Dari dalam metromini, saya bisa melihat bagaimana mereka tampak memperebutkan tas itu, saling adu mulut, dan ekspresi wajahnya emosional.
Melihat tontonan itu, saya merinding karena ngeri. Miris rasanya melihat copet berantem dengan copet. Sudah tak ada malu lagi di antara mereka, bertengkar di tempat umum memperebutkan benda yang bukan hak mereka. Itu wajah orang kita saat inikah?
Tak cuma di jalanan. Di tempat lain yang katanya tempat orang terhormat pun kerap terjadi seperti itu. Duit yang bukan hak mereka, diperebutkan dari segala penjuru. Semua sama-sama merasa duit itu haknya. Sama-sama merasa, merebutkan duit itu adalah bagian pertarungan yang harus dimenangkan.
Sesampainya di kantor, saya telepon salah satu pengacara Muhammad Nazaruddin, Rufinus Hutauruk. Dia mengatakan, pihaknya akan segera melaporkan Yulianis ke polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu di bawah sumpah. Padahal kita tahu, Yulianis hanyalah anak buah Nazar yang selama ini sekadar jadi bidak.
Nggak tahulah apa memang sekarang sedang musim penyakit klaim dan tuduh. Kalau memang sedang musim itu, saya mau minum vitamin C yang banyak biar nggak ketularan.
Awalnya saya bingung. Emangnya tas siapa yang jatuh? Perasaan metromininya sepi deh.. Saya doang yang berdiri. Itu pun karena saya mau bentar lagi mau turun. Setelah nengok ke belakang, baru deh saya tahu. Ternyata ada tas cewek (mungkin pengendara motor) yang jatuh di tengah jalan. Tasnya terlihat bagus, dan saya asumsikan di dalamnya berisi barang-barang yang lumayan.
Tapi ternyata si kenek metromini sedang enggak beruntung. Tas itu lebih dulu diraih oleh seseorang yang tampaknya penjual asongan. Dari dalam metromini, saya bisa melihat bagaimana mereka tampak memperebutkan tas itu, saling adu mulut, dan ekspresi wajahnya emosional.
Melihat tontonan itu, saya merinding karena ngeri. Miris rasanya melihat copet berantem dengan copet. Sudah tak ada malu lagi di antara mereka, bertengkar di tempat umum memperebutkan benda yang bukan hak mereka. Itu wajah orang kita saat inikah?
Tak cuma di jalanan. Di tempat lain yang katanya tempat orang terhormat pun kerap terjadi seperti itu. Duit yang bukan hak mereka, diperebutkan dari segala penjuru. Semua sama-sama merasa duit itu haknya. Sama-sama merasa, merebutkan duit itu adalah bagian pertarungan yang harus dimenangkan.
Sesampainya di kantor, saya telepon salah satu pengacara Muhammad Nazaruddin, Rufinus Hutauruk. Dia mengatakan, pihaknya akan segera melaporkan Yulianis ke polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu di bawah sumpah. Padahal kita tahu, Yulianis hanyalah anak buah Nazar yang selama ini sekadar jadi bidak.
Nggak tahulah apa memang sekarang sedang musim penyakit klaim dan tuduh. Kalau memang sedang musim itu, saya mau minum vitamin C yang banyak biar nggak ketularan.
Comments
Post a Comment