Tentang Dipsy, Adik Lelaki Saya

Saya biasa memanggilnya Dipsy, si teletubbies berwarna hijau. Jangan tanya kenapa saya memutuskan memilih Dipsy sebagai panggilan sayang untuknya. Ya pokoknya gitu lah. Sementara dia, biasa memanggil saya Po, teletubbies merah yang gendut.

Seingat saya, Dipsy lahir tanggal Maret 1990, tiga tahun di bawah saya. Dia kurus, kulitnya putih, pipinya chubby, rambutnya agak berantakan, dan berkacamata. Untuk ukuran cowok, mukanya tergolong imut. Yah, sesuailah dengan umurnya yang masih `kecil` itu. Dia adik kelas saya di Komunikasi FISIP Undip. Bedanya, saya di program Reguler, sedangkan dia Ekstensi.

Tapi saya kenal dia bukan di dalam kampus, namun di lembaga pers mahasiswa Manunggal. Saat itu, 2008, saya menjadi Pemimpin Redaksi, sementara dia magang di koran. Saking banyaknya yang magang saat itu, saya tidak mengenal siapa saja orang-orangnya. Bahkan pada awalnya saya tidak mengenal Dipsy. Tahu namanya saja enggak.

Sampai suatu malam, kami berkenalan. Saat itu kami di Manunggal sedang menggarap edisi khusus Penerimaan Mahasiswa Baru, which is kami terbit setiap hari dari Senin sampai Rabu. Saya yang malam itu menulis, mengedit, sekaligus melayout halaman, mulai kacau. Pusing lah pokoknya.

Saat itulah dia ada di samping saya, membantu sebisanya, menghibur semampunya. Saya nggak nyangka dia orang yang sangat menyenangkan, gila, lucu, konyol, dan supercerdas. Mungkin ini yang disebut chemistry. Walau baru kenal malam itu, kami sudah langsung dekat. Saya tertarik padanya. Bukan sebagai gebetan, tapi sebagai adik.

Ya, saya memang enggak punya adik cowok. Padahal sejak dulu, saya sangat memimpikan punya seorang adik lelaki yang saya sayangi dan sayang sama saya. Well, saya sayang banget sama kedua adek kandung saya yang bawel, Sofie dan Alya. Tapi tetap saja, jauh di lubuk hati, saya sebenarnya juga berharap punya adik lelaki.

Dan semua impian saya yang membuncah tentang adik lelaki, seperti terjawab dengan kehadiran Dipsy. Datangnya dia itu seperti anugerah dari langit. Katakan itu kebetulan atau apa, tapi SEMUA yang saya impikan dari seorang adik lelaki, ada di Dipsy. Isengnya, bandelnya, ngeselinnya, noraknya, perhatiannya.. Ya, saya pun mulai menyayanginya.

Jangan bayangkan dia sosok penurut atau alim yang mau saya suruh-suruh. Sama sekali tidak. Dipsy sangat jauh dari karakter itu. Dia nakal, menyebalkan, menjengkelkan, tapi sangat penyayang. Malam kami kenalan saja dia sudah berani meledek dan mencela saya habis-habisan. Tapi setelahnya, dia antarkan saya subuh-subuh cari percetakan, dan mengantarkan saya pulang ke rumah.

Setelah itu kami makin intens berkomunikasi. Entah bertemu di Manunggal, ataupun lewat SMS. Pokoknya dari pagi sampai pagi lagi, kami bisa lah SMS-an. Yang diobrolin ada aja. Mulai soal ceweknya, soal cowok yang sedang dekat dengan saya, soal agama, soal persma, sampai soal yang enggak pentiiiiiiiing banget. Saya lagi ngapain dia tahu. Begitu juga sebaliknya.

Kami pun jadi tak terpisahkan. Jangan tanya seberapa besar rasa sayang saya ke Dipsy saat itu. Pokoknya saya merasa hidup saya sempurna karena punya adik cowok yang selama ini saya impikan. Dia pun menganggap saya sebagai kakak perempuan yang dia sayang dan jaga benar-benar. We were in love as a bro n sist. Cuma bahagia yang saya rasakan saat itu.

Dipsy pernah bilang, kalau dia belum pernah menyayangi seorang perempuan sebagai kakak, seperti dia menyayangi saya. Dan dia pun minta saya tidak meninggalkan dan melupakannya, meski suatu hari nanti kami menghadapi masalah, ataupun terpisahkan oleh jarak.

Sampai suatu hari, dia mengaku putus dari ceweknya dan jadian dengan cewek lain. Saya seperti disambar petir. Entah kenapa saya merasa sangat marah dia memilih perempuan itu untuk dipacari. Kenapa bukan perempuan lain sih? Kenapa dia tidak memberitahu saya apa-apa, dan baru mengakuinya belakangan?

Entah setan mana yang membisiki saya, saya pun jadi teramat benci pada pacar barunya. Saya merasa dia merebut adik baru saya. Saya merasa marah, karena tidak dilibatkan sama sekali dalam hubungannya. Saya merasa takut dia tinggalkan. Saya takut dia tidak lagi merasa perlu memiliki saya sebagai kakak.

Saya pun akhirnya berulah. Saya marah besar padanya, dan mulai bersikap kekanak-kanakan. Mungkin sikap saya keterlaluan menyakiti Dipsy, sampai akhirnya dia pun menangis. Dia mohon saya memaafkan dia. ”Terima kasih sudah membuat dadaku sesak,” itu kalimat dia malam itu. Singkat, tapi sangat menampar saya.

Orang yang sedang gelap hati memang susah mempan dengan bujukan apapun. Saya sebenarnya sadar Dipsy enggak salah, dan sayalah yang sebenarnya terlalu posesif sebagai kakak. Tapi saya pun nggak bisa menutupi ketakutan saya yang nggak rasional, yang membayangi saya tentang kondisi hari tanpa Dipsy.

Yes, saya memang lebay saat itu. Malu sekali kalau ingat. Bahkan SMS minta maafnya Dipsy yang dia kirim tiap malam, enggak pernah saya tanggapi baik. Saya cuma bisa nangis, saat malam itu dia mengirim sebuah SMS setelah kami tidak bertegur sapa berhari-hari. ”Hatiku perih tiap lihat fotomu. Aq selalu inget km saat nendangin aq, nyumpahin aq, smp ingetin aq utk sholat. Aq ga sanggup kehilangan Po,” itu SMS dia yang saya ingat.

Jahatnya saya, saya tidak tanggapi semua itu. Saya acuh. Benar-benar memutus kontak dengannya, baik saat di persma ataupun lewat SMS. Sampai akhirnya saya lulus dan wisuda, dia tidak datang dan menyelamati saya. Dia nggak tahu, kalau sebenarnya saya sangat berharap dia ada melihat kebahagiaan saya. Bahwa sebenarnya saya ingin dia jadi bagian keluarga saya.

Sampai akhirnya saya diterima di Tempo dan pindah ke Jakarta, kami benar-benar putus kontak. Saya masih mencari tahu soal dia diam-diam, lewat teman-teman saya yang masih berkomunikasi dengannya. Atau sekadar menanyakan kabarnya lewat adik saya Sofie, yang juga aktif di Manunggal.

Dari mulut oranglah saya tahu dia sekarang sudah berkembang. Dia bukan lagi anak kecil ingusan --dia benar-benar suka ingusan-- yang nakal. Saya dengar dari mulut orang-orang, Dipsy sudah jadi Pemimpin Umum di Manunggal, sesuai dengan apa yang saya gadang-gadang dulu. Dan kini dia sedang menjelang kelulusannya. Saya dengar, dia juga sedang magang sebagai reporter di Bisnis Indonesia.

Mungkin ego saya yang terlalu tinggi atau memang dia sudah tak lagi mengingat saya sebagai kakak. Kami masih saja tak berkomunikasi dengan baik. Padahal saya sangat ingin kembali menjadi bagian harinya, mendengar cerita-ceritanya, menertawakannya, menghiburnya, membanggakannya, ataupun sekadar mengiriminya pesan selamat tidur.

Hahaha, tapi saya tahu dia sudah baik-baik saja sekarang, tanpa harus ada saya. Iya kan, Dip? Anyway Dipsy, I do really miss you..

Comments