Bandung We Loved: Kuliner Ajib, Braga yang Nyentrik, dan Baju-Baju Cantik
Yippiiiie! Senang banget akhirnya bisa ke Bandung lagi, setelah hampir setahun nggak menginjakkan kaki di kota ini. Awalnya saya, Nindy, dan Chachan, berencana ke kota ini untuk shopping. Tapi karena menjelang hari H kondisi keuangan tak mendukung, kami pun berangkat yang penting berangkat aja. Hehehe..
Sabtu pagi, 10 Maret 2012, kami kumpul di pool travel Baraya, dekat Pancoran. Saya dan Chachan keluar kos jam 06.00, sementara Nindy yang berangkat dari Salemba, malah udah sampai di TKP. Begitu ketemu di pool, kami udah cengar-cengir nggak jelas, saking senangnya mau main. Padahal Bandung doang ya.. Heee..
Btw, kami membayar Rp 53 ribu per orang untuk Baraya. Jauh lebih murah dibanding travel lain. Mobil Baraya kami berangkat pukul 07.15, telat sedikit dari jadwal. Tapi karena hepi, kami nggak peduli aja. Hampir dua jam perjalanan, diselingi istirahat sebentar di rest area, kami sampai di Dipati Ukur jam 09.15.
Bubur ayam Jalaparang di kawasan kampus Unpad pun jadi pilihan sarapan kami. Rasa bubur ayam Jalaparang gurih pisan. Mungkin lauk dikit aja sudah cukup buat teman makan, karena rasa buburnya sendiri sudah enak banget. Untuk sarapan ini, kami keluar duit Rp 11 ribu.
Penginapan murah
Setelah makan, kami ke pool Baraya untuk membayar tiket pulang (Rp 53 ribu), dan naik taksi ke Hotel Riau (Rp 5 ribu per orang). Ternyata hotel di Jalan RE Martadinata itu sekarang mahaaaal. Harganya untuk bertiga Rp 475 ribu per malam. Mungkin karena hotel itu baru kelar direnovasi, biar nggak spooky. Padahal dulu kami 'cuma' bayar Rp 200 ribu semalam.
Sempat bengong di pinggir jalan, kami pun googling dengan keyword 'hotel murah Bandung'. Dari laman pertama yang disuguhkan Google, kami menemukan nukilan deskripsi menarik: 'penginapan murah Rp 60 ribu semalam. Fasilitas kipas angin, TV, kamar mandi dalam'. Wowww! Murahnyooo.. Hihihi
Setelah tanya bapak penjual makanan di pinggir jalan yang baik hati, kami disarankan naik angkot sekali dari Riau, jurusan Riung-Dago, dan berhenti di Gang Soma. Btw, kesan kami bertiga terhadap penduduk Bandung adalah, mereka ramah dan baik hati :) beneran deh.. Mereka akan dengan senang hati membantumu saat butuh pertolongan. Really nice..
Perjalanan sekitar 15 menit, kami sampai juga di Gang Soma. Merunut penjelasan yang tertera di internet, sampailah kami di penginapan murah hore itu. Wohohoho.. Ternyata oke juga lah penginapan ini. Fair enough dengan harga semurah itu. Bahkan terasa murah banget karena kamarnya cukup bersih dengan kasur king size. Karena kami bertiga, kami kena tarif Rp 30 ribu per orangnya.
Kalau kamu tertarik, mungkin bisa buka situs: http://paksoma.blogspot.com. Blog tentang penginapan kami ini sangat komprehensif menjelaskan semuanya. Mulai dari sarana transportasi ke penginapan, tarif per malam, dan foto penginapannya. Oke banget deh.. Gang Soma juga nggak jauh kan, dari kota..
Museum Konperensi Asia Afrika
Setelah beberes sebentar, Sabtu siang kami keluar penginapan menuju Braga. Kami naik mikrolet sampai perempatan dekat Soma (Rp 1000) lanjut naik Damri AC (Rp 3 ribu) sampai Jalan Asia Afrika. Kami benar-benar amazed begitu sampai kawasan kota tua Bandung ini. Kereeeen.. Hehehe
Karena lapar banget, kami putuskan untuk cari makan dulu sebelum foto-foto. Beruntungnya kami, karena kesasar, kami justru nemu tempat makan antik bernama Warung Kopi Purnama. Selidik punya selidik, ternyata Purnama adalah kafe tertua di Bandung. Udah ada sejak tahun 1932, cuy! Hehehe..
Kesan pertama saat makan di Purnama adalah, tempat ini sangat oldskul. Tempatnya kuno abis, dan orang-orang yang makan di sana pun kebanyakan oma-opa, hehe.. Hal itu masih ditunjang pilihan makanan dan rasanya yang 'rumahan' banget..
Saya siang itu milih menu tahu telur (Rp 20 ribu) dan kopi susu panas (Rp. 10 ribu). Rasa tahu telornya lumayan. Yang enak banget itu adalah kopi susunya yang nendang abis. Saat di mulut, kamu berasa sedang minum susu rasa kopi. Tapi saat minumannya sudah lewat kerongkongan, yang tersisa di lidah justru rasa kopinya. Recommended!
Setelah dari Purnama, kami lanjut menyusuri Jalan Asia Afrika, sambil foto-foto. Daerah ini sangat sangat sangat menyenangkan dan asyik dipakai jalan kaki sambil ngobrol. Mungkin itu juga didukung cuaca Bandung sore itu yang mendung dan sejuk.
Kami sempat foto-foto agak lama di Gedung Merdeka, yang kalau nggak salah dipakai syutingnya film Cintapuccino. Dudulnya, kami sama-sama lupa gedung ini dipakai buat apa, sampai-sampai dinamain Gedung Merdeka, dan punya banyak tiang bendera di depannya. Sempat curiga sih, gedung ini dipakai konferensi internasional gitu.. Tapi apa ya.. *tunggu jawabannya beberapa saat lagi*
Lagi-lagi ketidaksengajaan membuat perjalanan kami jadi tambah menyenangkan. Bermula dari nggak sengaja duduk di teras bangunan yang ada tulisannya Museum Konperensi Asia Afrika (yes, konperensi! Bukan konferensi.. Hihihi). Sumpah ya, kami nggak tahu museum itu buka. Karena pintu masuknya tertutup, dan nggak ada penunjuk yang memberi sinyal museum di dalamnya buka. Hehehe..
Iseng, kami pun membuka pintu bangunan tua itu. Dan.. Wohohoho.. Ternyata ada museum superluas di dalamnya! Berasa masuk ke dunia lain gitu, deh.. *lebay*. Museum ini punya dekorasi mirip Museum Bank Indonesia di Jakarta Utara, dan War Remnant Museum di Ho Chi Minh City. Tampilannya modern dan enak dilihat.
Saya memang sejak kecil suka banget sama yang namanya museum. Jadi begitu ada di dalam Museum Asia Afrika, saya langsung semangat '45! Di dalam museum itu, kami akhirnya tahu kalau Gedung Merdeka itu jadi saksi Konferensi Asia-Afrika yang dihelat di Bandung.
Beruntung jalan sama Nindy yang lulusan HI. Dia beberapa kali menjelaskan ke saya dan Chachan soal naik-turun diplomasi Indonesia sejak masa Adam Nalik, Ali Alatas, sampai Marty Natalegawa. Yaaah walau Nindy sempat jadi HI murtad karena foto konyol di dekat Jawaharhal Nehru -__-
Tersesat memang enak, ya. Saya benar-benar merasa senang masuk ke Museum Asia-Afrika. Rasanya seperti dilempar ke masa lalu, saat Indonesia masih punya peran dalam kawat diplomasi multilateral. Sekarang sih emang masih punya peran, tapi saya rasa tak sebesar dulu. Entah apa karena Mr.Marty yang lebih suka pakai soft diplomacy.
The Sexy Braga
Rampung di museum, kami lanjut foto-foto sebentar di pengkolan Jalan Asia Afrika. Dari pengkolan, kami iseng aja memutuskan untuk belok kiri. Lagi-lagi kami beruntung, karena ternyata pilihan belok kiri membawa kami masuk ke daerah Braga yang keren sangat. Hohoho..
Jalanan Braga dipakai untuk syuting video klipnya Gil (masih ingat Gil, kaaaan? Penyanyi asal Jerman yang rambutnya gondrong itu? Hehe..) yang judulnya "Say What You Want". Saya lupa-lupa ingat klipnya sih.. Tapi kayaknya keren dan antik banget gitu video klipnya. Modelnya, kata Nindy, si Astrid Tiar.
Kami sangat beruntung karena cuaca hari itu mendung terus. Selain nggak panas, langit yang mendung juga bikin tampilan foto terlihat oke. Hehehe.. Soalnya selama di Braga, setiap sudut terlihat menarik, manis, dan oke untuk difoto. Loveable lah, area itu. Kayaknya seru banget kalau pacaran di sana.
Yang membuat Braga keren adalah arsitektur kota tuanya, jalanannya yang nyeni, pepohonan di kanan-kiri, kafe-kafe cantik dan komikal, serta lapak lukisan warna-warni di tepian jalannya. Menyusuri area Braga seperti dibuat untuk berpikir hal-hal yang menyenangkan dan romantis.. :)
Di Braga, kami sempat duduk-duduk sebentar di citywalknya untuk istirahat sekaligus ngobrol. Baru setelah itu, kami lanjut jalan ke arah utara, untuk mencari taksi ke arah Gedung Sate. Taksi Gemah Ripah (GR) yang ditunggu nggak kunjung datang. Mau nggak mau, kami pun naik taksi Putera yang tak berargo. Dari Braga sampai Gedung Sate, si sopir taksi mematok tarif Rp 20 ribu ;'(
Gedung Sate sore hari lumayan oke. Di sana, kami makan siomay (Rp 8 ribu) yang rasanya sumpah nggak enak banget. Lain kali ke Bandung, saya kayaknya harus ekstra hati-hati jika memutuskan untuk beli siomay. Mendingan siomay Jakarta yang Rp 5 ribu sepiring, deh..
Kami masih asyik ngobrol sambil duduk di trotoar depan Gedung Sate, sampai akhirnya ada bau mistis yang tiba-tiba lewat. Yes, entah dari mana datangnya, bau menyan yang sangat kuat tiba-tiba sliweran. Saya tanya ke Nindy dan Chachan, ternyata mereka juga mencium bau yang sama. Merinding disko, kami pun akhirnya memutuskan ngacir dari tempat itu. Huhuhu..
Nasi Kalong
Jalan kaki sekitar lima belas menit dari Gedung Sate, kami sampai di daerah Riau. Karena warung tenda "Nasi Kalong" yang kami incar baru buka agak malam, kami pun mampir dulu ke The Summit, salah satu factory outlet di daerah itu. Chachan --entah gimana-- beli dress yang persis plek dengan yang saya beli setahun lalu! Ya Tuhan, dari ribuan jenis baju yang ada, kenapa yak selera kami bisa sama gitu.. Wakakaka :D
Kelar dari situ, kami naik angkot sekali (Rp 2 ribu) jurusan Margohayu-Ledeng warna biru ke Nasi Kalong. Fyi, saya dan Nindy kangen banget makan di sana, karena pernah punya kesan positif makan di warung yang berlokasi di Jalan R.E. Martadinata 191 itu. Selain oseng buncisnya yummy banget, harga di sana juga tergolong bersahabat.
Seperti biasa, Nasi Kalong rame pisan. Tapi karena udah telanjur mupeng, kami pun bela-belain antre. Kali ini, saya pilih menu nasi merah, udang goreng tepung, lumpia, bistik telur puyuh, oseng buncis, dan aqua botol. Tahun lalu, dengan menu yang mirip, saya hanya bayar Rp 22 ribu. Dan tahun ini, entah kenapa, harganya membengkak jadi Rp 32 ribu.
Saya dan Nindy pun langsung bergosip kesel di meja makan. Memang sih, rasanya masih enak.. Tapi kenapa harganya jadi mahal begini yah? "BBM belum naik aja harganya udah naik begini. Gimana kalau nanti BBM udah dinaikin.." kata Nindy.
Kami cuma 30 menitan di sana. Selesai makan, kami memutuskan langsung balik ke penginapan karena perut saya tiba-tiba mules. Wehehehe.. Di mikrolet (Rp 2 ribu), saya benar-benar dibuat nggak nyaman karena perut berulah.. Hiks.. But overall, hari itu benar-benar menyenangkan. Good places, good friends, good photoshots, good drinks, and good talks ;)
Belanja-belanji
Minggunya kami bangun kesiangan semua. Hahahaha.. Bahkan Chachan yang kebiasa bangun pagi, bisa-bisanya tidur pulas kayak kena sirep. Alhasil, rencana pagi berangkat ke Paris van Java gagal. Kami akhirnya sarapan dengan mie telur kornet dan kopi (Rp 10 ribu) yang dipesan ke pemilik penginapan, dan baru mandi jam 10.00 WIB, huehehehe..
Naik angkot sekali jurusan Margahayu-Ledeng (Rp 3 ribu), kami sampai di area Riau. FO Sahara (kini berubah nama menjadi Rich&Famous) jadi tujuan pertama, menyusul kemudian The Secret dan The Summit. Dari sekian banyak FO, tiga itu jadi pilihan karena menurut kami tiga itulah yang paling oke.
Karena sudah lapar sangat, kami memutuskan makan di kedai samping The Summit. Siang itu saya pesan bakso aneka rasa (Rp 13 ribu) yang rasanya supermantap, dan es kopi Sundanese (Rp 6 ribu) yang rasa pahitnya not bad. Sebenarnya pengin makan es krim goreng di belakang Rich&Famous, tapi kata satpam, resto di situ baru buka petang hari. Hiks hiks..
Jam 15.30, kami cabut ke Dipati Ukur naik mikrolet jurusan Riung-Dago (Rp 2 ribu) dari samping The Summit. Jarak Riau-Dipati Ukur ternyata cukup dekat. Sekitar jam 15.45, kami udah sampai di pool Baraya. Malas menunggu di pool, saya akhirnya mengajak Chachan dan Nindy duduk dulu di mana gitu. Warung Afriyani (waaa.. Namanya mirip si sopir Xenia maut!) jadi pilihan.
Di sana, saya dan Chachan beli jus stroberi (Rp 5 ribu), dan Nindy memilih hot cappuccino. Sambil minum, kami nuntasin foto-foto alay nggak jelas, sambil --lagi-lagi-- ngobrolin laki dan our love stories yang lagi kacau abis. Hehehe..
Well, dua hari di Bandung, kami memang nggak bosan-bosannya membicarakan topik yang sama. Tapi entah kenapa, suasana Bandung yang sejuk dan menyenangkan bisa membuat kami tertawa lepas lagi, dan melihat masalah dari sudut pandang berbeda, yang tentunya lebih positif.
Saya jadi yakin, kalau apapun yang terjadi, seburuk apapun itu, pasti ada makna yang membuat kita lebih dewasa. Tinggal bagaimana kita memilih menyikapinya. Apakah dengan memusuhi dunia, atau dengan tertawa dan menerimanya dengan lapang dada :)
Sabtu pagi, 10 Maret 2012, kami kumpul di pool travel Baraya, dekat Pancoran. Saya dan Chachan keluar kos jam 06.00, sementara Nindy yang berangkat dari Salemba, malah udah sampai di TKP. Begitu ketemu di pool, kami udah cengar-cengir nggak jelas, saking senangnya mau main. Padahal Bandung doang ya.. Heee..
Btw, kami membayar Rp 53 ribu per orang untuk Baraya. Jauh lebih murah dibanding travel lain. Mobil Baraya kami berangkat pukul 07.15, telat sedikit dari jadwal. Tapi karena hepi, kami nggak peduli aja. Hampir dua jam perjalanan, diselingi istirahat sebentar di rest area, kami sampai di Dipati Ukur jam 09.15.
Bubur ayam Jalaparang di kawasan kampus Unpad pun jadi pilihan sarapan kami. Rasa bubur ayam Jalaparang gurih pisan. Mungkin lauk dikit aja sudah cukup buat teman makan, karena rasa buburnya sendiri sudah enak banget. Untuk sarapan ini, kami keluar duit Rp 11 ribu.
Penginapan murah
Dipati Ukur -- by Vitri |
Setelah makan, kami ke pool Baraya untuk membayar tiket pulang (Rp 53 ribu), dan naik taksi ke Hotel Riau (Rp 5 ribu per orang). Ternyata hotel di Jalan RE Martadinata itu sekarang mahaaaal. Harganya untuk bertiga Rp 475 ribu per malam. Mungkin karena hotel itu baru kelar direnovasi, biar nggak spooky. Padahal dulu kami 'cuma' bayar Rp 200 ribu semalam.
Sempat bengong di pinggir jalan, kami pun googling dengan keyword 'hotel murah Bandung'. Dari laman pertama yang disuguhkan Google, kami menemukan nukilan deskripsi menarik: 'penginapan murah Rp 60 ribu semalam. Fasilitas kipas angin, TV, kamar mandi dalam'. Wowww! Murahnyooo.. Hihihi
Setelah tanya bapak penjual makanan di pinggir jalan yang baik hati, kami disarankan naik angkot sekali dari Riau, jurusan Riung-Dago, dan berhenti di Gang Soma. Btw, kesan kami bertiga terhadap penduduk Bandung adalah, mereka ramah dan baik hati :) beneran deh.. Mereka akan dengan senang hati membantumu saat butuh pertolongan. Really nice..
Perjalanan sekitar 15 menit, kami sampai juga di Gang Soma. Merunut penjelasan yang tertera di internet, sampailah kami di penginapan murah hore itu. Wohohoho.. Ternyata oke juga lah penginapan ini. Fair enough dengan harga semurah itu. Bahkan terasa murah banget karena kamarnya cukup bersih dengan kasur king size. Karena kami bertiga, kami kena tarif Rp 30 ribu per orangnya.
Kalau kamu tertarik, mungkin bisa buka situs: http://paksoma.blogspot.com. Blog tentang penginapan kami ini sangat komprehensif menjelaskan semuanya. Mulai dari sarana transportasi ke penginapan, tarif per malam, dan foto penginapannya. Oke banget deh.. Gang Soma juga nggak jauh kan, dari kota..
Museum Konperensi Asia Afrika
Setelah beberes sebentar, Sabtu siang kami keluar penginapan menuju Braga. Kami naik mikrolet sampai perempatan dekat Soma (Rp 1000) lanjut naik Damri AC (Rp 3 ribu) sampai Jalan Asia Afrika. Kami benar-benar amazed begitu sampai kawasan kota tua Bandung ini. Kereeeen.. Hehehe
Jalan Asia Afrika, Bandung -- by Vitri |
Karena lapar banget, kami putuskan untuk cari makan dulu sebelum foto-foto. Beruntungnya kami, karena kesasar, kami justru nemu tempat makan antik bernama Warung Kopi Purnama. Selidik punya selidik, ternyata Purnama adalah kafe tertua di Bandung. Udah ada sejak tahun 1932, cuy! Hehehe..
Kesan pertama saat makan di Purnama adalah, tempat ini sangat oldskul. Tempatnya kuno abis, dan orang-orang yang makan di sana pun kebanyakan oma-opa, hehe.. Hal itu masih ditunjang pilihan makanan dan rasanya yang 'rumahan' banget..
Saya siang itu milih menu tahu telur (Rp 20 ribu) dan kopi susu panas (Rp. 10 ribu). Rasa tahu telornya lumayan. Yang enak banget itu adalah kopi susunya yang nendang abis. Saat di mulut, kamu berasa sedang minum susu rasa kopi. Tapi saat minumannya sudah lewat kerongkongan, yang tersisa di lidah justru rasa kopinya. Recommended!
Jalan Alkatiri -- by Vitri |
Kopi aroma ala Purnama -- by Vitri |
Good place, good food -- by Vitri |
Setelah dari Purnama, kami lanjut menyusuri Jalan Asia Afrika, sambil foto-foto. Daerah ini sangat sangat sangat menyenangkan dan asyik dipakai jalan kaki sambil ngobrol. Mungkin itu juga didukung cuaca Bandung sore itu yang mendung dan sejuk.
Kami sempat foto-foto agak lama di Gedung Merdeka, yang kalau nggak salah dipakai syutingnya film Cintapuccino. Dudulnya, kami sama-sama lupa gedung ini dipakai buat apa, sampai-sampai dinamain Gedung Merdeka, dan punya banyak tiang bendera di depannya. Sempat curiga sih, gedung ini dipakai konferensi internasional gitu.. Tapi apa ya.. *tunggu jawabannya beberapa saat lagi*
alay, yuk! -- by Vitri |
Lagi-lagi ketidaksengajaan membuat perjalanan kami jadi tambah menyenangkan. Bermula dari nggak sengaja duduk di teras bangunan yang ada tulisannya Museum Konperensi Asia Afrika (yes, konperensi! Bukan konferensi.. Hihihi). Sumpah ya, kami nggak tahu museum itu buka. Karena pintu masuknya tertutup, dan nggak ada penunjuk yang memberi sinyal museum di dalamnya buka. Hehehe..
Iseng, kami pun membuka pintu bangunan tua itu. Dan.. Wohohoho.. Ternyata ada museum superluas di dalamnya! Berasa masuk ke dunia lain gitu, deh.. *lebay*. Museum ini punya dekorasi mirip Museum Bank Indonesia di Jakarta Utara, dan War Remnant Museum di Ho Chi Minh City. Tampilannya modern dan enak dilihat.
Saya memang sejak kecil suka banget sama yang namanya museum. Jadi begitu ada di dalam Museum Asia Afrika, saya langsung semangat '45! Di dalam museum itu, kami akhirnya tahu kalau Gedung Merdeka itu jadi saksi Konferensi Asia-Afrika yang dihelat di Bandung.
Beruntung jalan sama Nindy yang lulusan HI. Dia beberapa kali menjelaskan ke saya dan Chachan soal naik-turun diplomasi Indonesia sejak masa Adam Nalik, Ali Alatas, sampai Marty Natalegawa. Yaaah walau Nindy sempat jadi HI murtad karena foto konyol di dekat Jawaharhal Nehru -__-
Tersesat memang enak, ya. Saya benar-benar merasa senang masuk ke Museum Asia-Afrika. Rasanya seperti dilempar ke masa lalu, saat Indonesia masih punya peran dalam kawat diplomasi multilateral. Sekarang sih emang masih punya peran, tapi saya rasa tak sebesar dulu. Entah apa karena Mr.Marty yang lebih suka pakai soft diplomacy.
The Sexy Braga
Rampung di museum, kami lanjut foto-foto sebentar di pengkolan Jalan Asia Afrika. Dari pengkolan, kami iseng aja memutuskan untuk belok kiri. Lagi-lagi kami beruntung, karena ternyata pilihan belok kiri membawa kami masuk ke daerah Braga yang keren sangat. Hohoho..
Jalanan Braga dipakai untuk syuting video klipnya Gil (masih ingat Gil, kaaaan? Penyanyi asal Jerman yang rambutnya gondrong itu? Hehe..) yang judulnya "Say What You Want". Saya lupa-lupa ingat klipnya sih.. Tapi kayaknya keren dan antik banget gitu video klipnya. Modelnya, kata Nindy, si Astrid Tiar.
Kami sangat beruntung karena cuaca hari itu mendung terus. Selain nggak panas, langit yang mendung juga bikin tampilan foto terlihat oke. Hehehe.. Soalnya selama di Braga, setiap sudut terlihat menarik, manis, dan oke untuk difoto. Loveable lah, area itu. Kayaknya seru banget kalau pacaran di sana.
Yang membuat Braga keren adalah arsitektur kota tuanya, jalanannya yang nyeni, pepohonan di kanan-kiri, kafe-kafe cantik dan komikal, serta lapak lukisan warna-warni di tepian jalannya. Menyusuri area Braga seperti dibuat untuk berpikir hal-hal yang menyenangkan dan romantis.. :)
Di Braga, kami sempat duduk-duduk sebentar di citywalknya untuk istirahat sekaligus ngobrol. Baru setelah itu, kami lanjut jalan ke arah utara, untuk mencari taksi ke arah Gedung Sate. Taksi Gemah Ripah (GR) yang ditunggu nggak kunjung datang. Mau nggak mau, kami pun naik taksi Putera yang tak berargo. Dari Braga sampai Gedung Sate, si sopir taksi mematok tarif Rp 20 ribu ;'(
Gedung Sate -- by Vitri |
Gedung Sate sore hari lumayan oke. Di sana, kami makan siomay (Rp 8 ribu) yang rasanya sumpah nggak enak banget. Lain kali ke Bandung, saya kayaknya harus ekstra hati-hati jika memutuskan untuk beli siomay. Mendingan siomay Jakarta yang Rp 5 ribu sepiring, deh..
Kami masih asyik ngobrol sambil duduk di trotoar depan Gedung Sate, sampai akhirnya ada bau mistis yang tiba-tiba lewat. Yes, entah dari mana datangnya, bau menyan yang sangat kuat tiba-tiba sliweran. Saya tanya ke Nindy dan Chachan, ternyata mereka juga mencium bau yang sama. Merinding disko, kami pun akhirnya memutuskan ngacir dari tempat itu. Huhuhu..
Nasi Kalong
Jalan kaki sekitar lima belas menit dari Gedung Sate, kami sampai di daerah Riau. Karena warung tenda "Nasi Kalong" yang kami incar baru buka agak malam, kami pun mampir dulu ke The Summit, salah satu factory outlet di daerah itu. Chachan --entah gimana-- beli dress yang persis plek dengan yang saya beli setahun lalu! Ya Tuhan, dari ribuan jenis baju yang ada, kenapa yak selera kami bisa sama gitu.. Wakakaka :D
Kelar dari situ, kami naik angkot sekali (Rp 2 ribu) jurusan Margohayu-Ledeng warna biru ke Nasi Kalong. Fyi, saya dan Nindy kangen banget makan di sana, karena pernah punya kesan positif makan di warung yang berlokasi di Jalan R.E. Martadinata 191 itu. Selain oseng buncisnya yummy banget, harga di sana juga tergolong bersahabat.
Seperti biasa, Nasi Kalong rame pisan. Tapi karena udah telanjur mupeng, kami pun bela-belain antre. Kali ini, saya pilih menu nasi merah, udang goreng tepung, lumpia, bistik telur puyuh, oseng buncis, dan aqua botol. Tahun lalu, dengan menu yang mirip, saya hanya bayar Rp 22 ribu. Dan tahun ini, entah kenapa, harganya membengkak jadi Rp 32 ribu.
Nasi Kalong -- by Vitri |
Saya dan Nindy pun langsung bergosip kesel di meja makan. Memang sih, rasanya masih enak.. Tapi kenapa harganya jadi mahal begini yah? "BBM belum naik aja harganya udah naik begini. Gimana kalau nanti BBM udah dinaikin.." kata Nindy.
Kami cuma 30 menitan di sana. Selesai makan, kami memutuskan langsung balik ke penginapan karena perut saya tiba-tiba mules. Wehehehe.. Di mikrolet (Rp 2 ribu), saya benar-benar dibuat nggak nyaman karena perut berulah.. Hiks.. But overall, hari itu benar-benar menyenangkan. Good places, good friends, good photoshots, good drinks, and good talks ;)
Belanja-belanji
Minggunya kami bangun kesiangan semua. Hahahaha.. Bahkan Chachan yang kebiasa bangun pagi, bisa-bisanya tidur pulas kayak kena sirep. Alhasil, rencana pagi berangkat ke Paris van Java gagal. Kami akhirnya sarapan dengan mie telur kornet dan kopi (Rp 10 ribu) yang dipesan ke pemilik penginapan, dan baru mandi jam 10.00 WIB, huehehehe..
Naik angkot sekali jurusan Margahayu-Ledeng (Rp 3 ribu), kami sampai di area Riau. FO Sahara (kini berubah nama menjadi Rich&Famous) jadi tujuan pertama, menyusul kemudian The Secret dan The Summit. Dari sekian banyak FO, tiga itu jadi pilihan karena menurut kami tiga itulah yang paling oke.
Karena sudah lapar sangat, kami memutuskan makan di kedai samping The Summit. Siang itu saya pesan bakso aneka rasa (Rp 13 ribu) yang rasanya supermantap, dan es kopi Sundanese (Rp 6 ribu) yang rasa pahitnya not bad. Sebenarnya pengin makan es krim goreng di belakang Rich&Famous, tapi kata satpam, resto di situ baru buka petang hari. Hiks hiks..
Jam 15.30, kami cabut ke Dipati Ukur naik mikrolet jurusan Riung-Dago (Rp 2 ribu) dari samping The Summit. Jarak Riau-Dipati Ukur ternyata cukup dekat. Sekitar jam 15.45, kami udah sampai di pool Baraya. Malas menunggu di pool, saya akhirnya mengajak Chachan dan Nindy duduk dulu di mana gitu. Warung Afriyani (waaa.. Namanya mirip si sopir Xenia maut!) jadi pilihan.
Di sana, saya dan Chachan beli jus stroberi (Rp 5 ribu), dan Nindy memilih hot cappuccino. Sambil minum, kami nuntasin foto-foto alay nggak jelas, sambil --lagi-lagi-- ngobrolin laki dan our love stories yang lagi kacau abis. Hehehe..
Well, dua hari di Bandung, kami memang nggak bosan-bosannya membicarakan topik yang sama. Tapi entah kenapa, suasana Bandung yang sejuk dan menyenangkan bisa membuat kami tertawa lepas lagi, dan melihat masalah dari sudut pandang berbeda, yang tentunya lebih positif.
Saya jadi yakin, kalau apapun yang terjadi, seburuk apapun itu, pasti ada makna yang membuat kita lebih dewasa. Tinggal bagaimana kita memilih menyikapinya. Apakah dengan memusuhi dunia, atau dengan tertawa dan menerimanya dengan lapang dada :)
area itu. Kayaknya seru banget kalau pacaran di sana.
ReplyDeletekeliatan kalo lagi galau ya bagian itu ;D
Ya kan emang enak dibuat pacaran -___-
ReplyDeleteHahahahaha
Banyak kalimat unyu terlontar dari bibirkyu di hari itu.. Bandung emang ngangenin..
ReplyDeleteNext time haruslah itu Ciwidey atau Lembang.. Hohohoho.. Kangen kangen..
ReplyDeleteSamaaaa pengin ke sana juga trus nge-Jonas ahahahahaha..
ReplyDelete