Memilih Diam

Beberapa waktu lalu saya dan teman-teman wartawan bertanya pada jaksa bernama Zet Tadung Allo soal alasan pihaknya menuntut 20 tahun penjara terdakwa kasus suap, hakim Syarifuddin. Padahal Syarif bisa dibilang tidak berperan aktif dalam suap. Menurut Pak Zet, memang benar Syarif pasif dan diam saja dalam proses suap. Tapi, kata Pak Zet, "Diam pun adalah sikap. Pasif pun adalah sikap.."

Saya dan sahabat saya, Icha kompas.com, sempat rempong membahas soal itu. Apaan sih Pak Zet ribet banget ngomongnya. Kenapa harus ada istilah "aktif secara pasif" segala, coba? Tapi setelah debat nggak jelas sama Icha, saya perlahan ngeh juga apa yang dimaksud Pak Zet.

Simpelnya begini. Kamu sedang berada di jalan raya. Lalu kamu lihat ada kecelakaan motor vs pejalan kaki. Kamu memilih untuk tidak menolong si pejalan kaki, karena sedang buru-buru kerja. Nah, sikap kamu itulah yang disebut "aktif secara pasif".. Kamu MEMILIH untuk tidak berbuat apa-apa.. Sikap diammu itu adalah sikap aktif secara pasif..

Back to the topic. Ada hal yang yaaah, menurut saya cukup besar, terjadi belakangan. Saya malas cerita detail, tapi intinya saya sepertinya sedang diperingatkan Tuhan dengan cara yang agak sadistik. Hahaha.. Saya sedang diminta introspeksi, bersabar, sekaligus ikhtiar. Mungkin Tuhan kesal juga dengan saya yang akhir-akhir ini makin slengekan :'(

Sabtu lalu sebenarnya sempurna buat saya, sampai akhirnya ada kabar yang agak mengagetkan. Saya nggak bisa mengklasifikasi apakah itu kabar buruk atau tidak. Tapi setelah mendengar kabar soal laki yang selama ini sedang dekat dengan saya, saya mendadak saja lemas.

Marah? Iya! Jengkel? Iya, lah! Gondok? Sangat! Sedih? Mmm.. Iya nggak ya..

Saya marah, jengkel, gondok, karena tahu kabar itu dari orang lain. Helooo.. Weren't you have my phone number? Nggak punya pulsa? Lha mbok ya BBM.. Gratis kan, ya.. >,<

Jengkel, itu yang saya rasakan pertama kali. Sampai akhirnya saya sadar, kemarin baruuu aja dia BBM something yang, yah, gitu deh.. Dan dengan adanya kabar ini, saya jadi merasa semua yang dia bilang cuma omong kosong. Dear God, saya masih nggak percaya curhat sefrontal ini di blog. Hehehe..

Setelah curhat ke Novi sore itu, malamnya saya ketemuan sama Aan di 7-11 Sahardjo. Aan awalnya ketawa dengar cerita saya (Grrrrrh..). Tapi dia cuma ngasih solusi simpel. "Hapus aja kontak BBM-nya.. Ayo, berani ga?" tantang Aan. Saya nggak berpikir lama. Dan.. Yak, saya hapus kontak BBM-nya! :DDD

Berhasilkah saya meredam marah? Enggak juga ternyata. Hihihi.. Saya pulang masih dengan kepala panas. Saya akhirnya cerita ke Uci dan Dika. Kesimpulannya sama lah.. Sebaiknya saya move on dan cari yang baru. Tapi, kata Dika, semua ini juga salah saya.

Iyaaaa kata Dika saya salah, coba. Itu karena saya orangnya too vague, alias terlalu semiotis. Hmmm.. Masa sih, masa sih?? Setelah saya pikir-pikir, kok enggak ya. "Kamu nggak sadar kalau kamu sebenarnya gitu," gitulah kata Dika dalam Bahasa Indonesia. "Ini buat pelajaran. Lain kali jangan gitu."

Dari sejumlah teman yang BBM, saya paling suka kalimat ini: "Lupain aja. Dia nggak layak buat kamu karena dia nggak mau memperjuangkan kamu.." Aaaah betul sekalii.. (Kalimat pas buat saya yang lagi egois). Tapi itulah kalimat yang benar-benar mengiang di kepala saya. Hohoho

Well saya akui, saya memang kerap cuek ke dia. Tapi itu juga bukan tanpa alasan. Saya bukan orang yang bisa semudah itu bilang iya. Saya butuh diyakinkan. Saya butuh diluluhkan. Seperti saat dirayu sales asuransi dan akhirnya saya takluk, seperti saat dibujuk mengurangi barang warna pink, dan akhirnya saya bersedia.

Keputusan dia memilih yang lain adalah sikap.
Diam saya pun juga sikap.

Comments

Popular Posts