Review 'The Raid': Lebih dari Sekadar Serbuan Bersimbah Darah
Well, nyali saya yang cuma sejari kelingking untuk nonton film action penuh darah, ternyata kalah kuat dibanding keinginan untuk nonton salah satu idola saya, Iko Uwais. So, jadilah Sabtu sore ini saya nonton The Raid bareng Novi, Putri, Alien, Dian, dan Nindy, di Hollywood KC.
Bioskop sore itu penuh. Selain karena malam Minggu, mungkin karena memang banyak yang penasaran pada film garapan sutradara asal Wales, Gareth Evans itu. Saya sih sebelum hari ini, belum baca banyak review-nya. Cuma tahu kalau itu film soal markas geng begundal yang diserbu polisi, dan yang bikin music scoringnya si Mike Shinoda. Hehehe..
Saya sama sekali nggak nyangka The Raid benar-benar bersimbah darah sejak menit belasan, hingga akhir film. Btw, adegan openingnya doooong.. Manis dan 'wow' banget! It shows my darling Iko Uwais (as Rama) shalat subuh, latihan fisik (Ya Tuhan, dia telanjang dada...), dan kemudian pamit pada istrinya yang tengah hamil 7 bulan, berangkat bertugas.
Misi pun dimulai dengan sangat cantik lewat adegan mobil pasukan SWAT (still wondering why did Evans choose SWAT than Densus or something like that which more Indonesia) yang membawa pergi Rama, melaju kencang, dan diguyur hujan deras. Di dalam mobil, Jaka (Joe Taslim), membriefing Rama dkk soal tugas mahaberat yang menanti di depan mata, yakni membekuk bos mafia bernama Tama (Ray Sahetapy).
Nah, namanya juga mafia. Si Tama ini punya anak buah yang pada jago beladiri. Dua di antaranya, yang tak lain orang kepercayaannya, Andi (Donny Alamsyah) dan Mad Dog (Yayan Ruhian), nggak diragukan lagi kemampuan berkelahinya. Mereka tinggal di sebuah apartemen kumuh berlantai 30, yang jadi tempat bersembunyinya para penjahat kelas kakap. Karena satu hal, selama ini apartemen tersebut tak pernah bisa ditembus dan digerebek polisi.
Tugas tim SWAT pimpinan Kang Jaka adalah menyusup masuk ke apartemen itu, dan membekuk Tama yang tinggal di lantai teratas. Aksi yang berlangsung sejak dinihari, mulanya lancar. Satu per satu lantai sukses mereka kendalikan, seiring berhasil dibekuknya para preman yang tinggal di lantai tersebut.
Namun sial, sampai di lantai 6, aksi Rama dkk terendus. Tama pun menginstruksikan anak buahnya mengepung pasukan SWAT, dengan cara memutus sinyal komunikasi di area itu, dan memadamkan listrik sehingga tim SWAT yang tak begitu paham kondisi apartemen, mudah dilumpuhkan. Mau tak mau, aksi saling serang dan baku hantam antar dua kubu pun terjadi. Dalam gelap, konstan, dan penuh genangan darah.
Fyi, kalau kamu antifilm berdarah-darah, dan bukan penggemar Iko, Donny, ataupun Joe (maaf Ray Sahetapi nggak saya sebut. Saya sangsi ada ibu-ibu yang bela-belain nonton The Raid demi doi), mending pikir ulang untuk menonton film ini. Asli, The Raid penuh adegan sadis nan membuat perut mual sejak awal hingga akhir film.
Film ini nggak sekadar mempertontonkan adegan peluru menembus kulit tubuh, dan mencipratkan berliter-liter darah. Ooooh, lebih dari itu, saudara. The Raid memperlihatkan kamu bagaimana pisau, belati, samurai, bahkan palu, begitu sakti menjadi alat pencabut nyawa. Saya sampai berbisik ke Nindy, "Ini harusnya judul filmnya '1001 Cara Menebas Nyawa Manusia', Ndy..."
Yang saya kagumi dari duet Evans dan Iko Uwais adalah bagaimana The Raid bisa menjaga ketegangan dan tensi penonton sejak awal hingga akhir film. Itu bukan persoalan mudah, lho. Atau mungkin karena saya enggak ada film pembanding ya? Hihihi.. (Saya antifilm bersimbah darah, dan hanya kuat nonton Kill Bill di seperempat awal film).
Saking tegang dan mualnya lihat darah menguar terus-terusan, saya sampai grogi di kursi. Beberapa kali saya membetulkan posisi duduk, pegang bebe, dan menutup mata dengan juntaian kerudung, lantaran tak kuat melihat Kang Iko beraksi. Jangan tanya berapa kali saya mengumpat di bioskop, karena saya terus melakukan itu setiap ada kepala ditebas, punggung ditusuk, dan dada dibacok (Bahasa saya sadiiiiiiiis! Huhuhu..)..
Dan yah, saya adalah anomali. Penonton lain justru beberapa kali tepuk tangan tiap Kang Iko alias Rama pamer kemampuan silatnya. Hehe.. Kayaknya mereka melihat sosok Rama sebagai pahlawan yang sakti bak superhero (ya iyalaaaah, diberondong peluru dan diserang dari segala penjuru doi tetap sehat walafiat!). Saya tepuk tangan juga sih, tapi buat kegantengannya, hihihi..
Ada beberapa catatan saya dari The Raid. Dari segi musik, well, The Raid mampu menyuguhkan "orkestra" yang mumpuni. Pas, tidak kurang, dan tidak berlebihan. Asyik, deh. Adapun setting tempat dan makeup artisnya juga mantap banget. Bisa dapet banget feelnya sebagai markas para kriminal. Makeup artistnya juga jago bikin efek muka bopeng karena bacokan *yucks
Akting paling lezat dihidangkan oleh Om Ray Sahetapy. Dia semacam sudah ditakdirkan untuk mengisi peran sebagai bos para begundal yang bengis, dingin, dan sangat percaya diri. Kebrengsekan seorang Tama dibingkai lewat adegan pria itu menghabisi nyawa satu per satu manusia yang diseret di ruangannya.
Aktor lain --sorry to say-- bermain biasa saja. Mungkin karena porsi main wataknya juga nggak sebesar Ray, ya.. Iko Uwais bahkan tampil standar, meski koreografi yang dia rancang untuk The Raid sangat sangat sangat dahsyat dan memang layak mencuri perhatian para juri festival film di luar negeri. Aktingnya kalah dibandingkan Joe Taslim, atlet judo yang belum punya pengalaman akting sebelum ini.
Untuk adegan favorit, saya suka saat Rama alias Iko mesti menghadapi keroyokan geng preman di salah satu koridor apartemen, sementara dia sedang membopong salah satu anggota SWAT yang terluka. Buset dah, adegan ini sukses bikin saya deg-degan setengah mati. Apalagi geng preman itu bawa senjata tajam beraneka rupa, yang disabet dengan membabi-buta ke arah Rama.
Yang agak mengganggu dari The Raid adalah ketidakjelasan sejarah geng mafianya Tama. Mungkin Evans tidak mau terjebak dengan intro yang bertele-tele bak film drama. Tapi bagi saya, itu justru jadi cacat kecil di 'tubuh sempurna' film ini. Rasanya agak mengganggu, melihat tim SWAT-nya Kang Jaka begitu bernafsu menghabisi Tama, sementara kejahatan Tama seperti apa, tidak diceritakan dengan rasional.
Tapi mungkin celah itu jadi senjata Evans untuk menjual sekuel The Raid. Apalagi ending film ini sangat menggantung, dan membuka peluang lahirnya sekuel (atau mungkin juga prekuel). Toh film pertama yang digarap Evans-Iko, Merantau, juga dibikinin sekuelnya.
Setelah menonton film ini dengan setengah mata (karena mata satunya benar-benar nggak sanggup lihat gebuk-gebukan), saya kayaknya pengin nonton lagi. Paling tidak, saat nonton untuk kedua kalinya, saya sudah insaf, nggak segitu ngilernya lihat Kang Iko (you lie, Vitri!), dan bisa menikmati aksi heroik doi secara lebih rileks. Nilainya? My kisses for you, Iko Uwais.
Bioskop sore itu penuh. Selain karena malam Minggu, mungkin karena memang banyak yang penasaran pada film garapan sutradara asal Wales, Gareth Evans itu. Saya sih sebelum hari ini, belum baca banyak review-nya. Cuma tahu kalau itu film soal markas geng begundal yang diserbu polisi, dan yang bikin music scoringnya si Mike Shinoda. Hehehe..
Saya sama sekali nggak nyangka The Raid benar-benar bersimbah darah sejak menit belasan, hingga akhir film. Btw, adegan openingnya doooong.. Manis dan 'wow' banget! It shows my darling Iko Uwais (as Rama) shalat subuh, latihan fisik (Ya Tuhan, dia telanjang dada...), dan kemudian pamit pada istrinya yang tengah hamil 7 bulan, berangkat bertugas.
Misi pun dimulai dengan sangat cantik lewat adegan mobil pasukan SWAT (still wondering why did Evans choose SWAT than Densus or something like that which more Indonesia) yang membawa pergi Rama, melaju kencang, dan diguyur hujan deras. Di dalam mobil, Jaka (Joe Taslim), membriefing Rama dkk soal tugas mahaberat yang menanti di depan mata, yakni membekuk bos mafia bernama Tama (Ray Sahetapy).
Nah, namanya juga mafia. Si Tama ini punya anak buah yang pada jago beladiri. Dua di antaranya, yang tak lain orang kepercayaannya, Andi (Donny Alamsyah) dan Mad Dog (Yayan Ruhian), nggak diragukan lagi kemampuan berkelahinya. Mereka tinggal di sebuah apartemen kumuh berlantai 30, yang jadi tempat bersembunyinya para penjahat kelas kakap. Karena satu hal, selama ini apartemen tersebut tak pernah bisa ditembus dan digerebek polisi.
Tugas tim SWAT pimpinan Kang Jaka adalah menyusup masuk ke apartemen itu, dan membekuk Tama yang tinggal di lantai teratas. Aksi yang berlangsung sejak dinihari, mulanya lancar. Satu per satu lantai sukses mereka kendalikan, seiring berhasil dibekuknya para preman yang tinggal di lantai tersebut.
Namun sial, sampai di lantai 6, aksi Rama dkk terendus. Tama pun menginstruksikan anak buahnya mengepung pasukan SWAT, dengan cara memutus sinyal komunikasi di area itu, dan memadamkan listrik sehingga tim SWAT yang tak begitu paham kondisi apartemen, mudah dilumpuhkan. Mau tak mau, aksi saling serang dan baku hantam antar dua kubu pun terjadi. Dalam gelap, konstan, dan penuh genangan darah.
Fyi, kalau kamu antifilm berdarah-darah, dan bukan penggemar Iko, Donny, ataupun Joe (maaf Ray Sahetapi nggak saya sebut. Saya sangsi ada ibu-ibu yang bela-belain nonton The Raid demi doi), mending pikir ulang untuk menonton film ini. Asli, The Raid penuh adegan sadis nan membuat perut mual sejak awal hingga akhir film.
Joe Taslim alias Jaka |
Iko Uwais alias Rama |
Film ini nggak sekadar mempertontonkan adegan peluru menembus kulit tubuh, dan mencipratkan berliter-liter darah. Ooooh, lebih dari itu, saudara. The Raid memperlihatkan kamu bagaimana pisau, belati, samurai, bahkan palu, begitu sakti menjadi alat pencabut nyawa. Saya sampai berbisik ke Nindy, "Ini harusnya judul filmnya '1001 Cara Menebas Nyawa Manusia', Ndy..."
Yang saya kagumi dari duet Evans dan Iko Uwais adalah bagaimana The Raid bisa menjaga ketegangan dan tensi penonton sejak awal hingga akhir film. Itu bukan persoalan mudah, lho. Atau mungkin karena saya enggak ada film pembanding ya? Hihihi.. (Saya antifilm bersimbah darah, dan hanya kuat nonton Kill Bill di seperempat awal film).
Saking tegang dan mualnya lihat darah menguar terus-terusan, saya sampai grogi di kursi. Beberapa kali saya membetulkan posisi duduk, pegang bebe, dan menutup mata dengan juntaian kerudung, lantaran tak kuat melihat Kang Iko beraksi. Jangan tanya berapa kali saya mengumpat di bioskop, karena saya terus melakukan itu setiap ada kepala ditebas, punggung ditusuk, dan dada dibacok (Bahasa saya sadiiiiiiiis! Huhuhu..)..
Dan yah, saya adalah anomali. Penonton lain justru beberapa kali tepuk tangan tiap Kang Iko alias Rama pamer kemampuan silatnya. Hehe.. Kayaknya mereka melihat sosok Rama sebagai pahlawan yang sakti bak superhero (ya iyalaaaah, diberondong peluru dan diserang dari segala penjuru doi tetap sehat walafiat!). Saya tepuk tangan juga sih, tapi buat kegantengannya, hihihi..
Jagoan baru saya hehehe |
Ray Sahetapy vs Peter Gruno |
Ada beberapa catatan saya dari The Raid. Dari segi musik, well, The Raid mampu menyuguhkan "orkestra" yang mumpuni. Pas, tidak kurang, dan tidak berlebihan. Asyik, deh. Adapun setting tempat dan makeup artisnya juga mantap banget. Bisa dapet banget feelnya sebagai markas para kriminal. Makeup artistnya juga jago bikin efek muka bopeng karena bacokan *yucks
Akting paling lezat dihidangkan oleh Om Ray Sahetapy. Dia semacam sudah ditakdirkan untuk mengisi peran sebagai bos para begundal yang bengis, dingin, dan sangat percaya diri. Kebrengsekan seorang Tama dibingkai lewat adegan pria itu menghabisi nyawa satu per satu manusia yang diseret di ruangannya.
Aktor lain --sorry to say-- bermain biasa saja. Mungkin karena porsi main wataknya juga nggak sebesar Ray, ya.. Iko Uwais bahkan tampil standar, meski koreografi yang dia rancang untuk The Raid sangat sangat sangat dahsyat dan memang layak mencuri perhatian para juri festival film di luar negeri. Aktingnya kalah dibandingkan Joe Taslim, atlet judo yang belum punya pengalaman akting sebelum ini.
Untuk adegan favorit, saya suka saat Rama alias Iko mesti menghadapi keroyokan geng preman di salah satu koridor apartemen, sementara dia sedang membopong salah satu anggota SWAT yang terluka. Buset dah, adegan ini sukses bikin saya deg-degan setengah mati. Apalagi geng preman itu bawa senjata tajam beraneka rupa, yang disabet dengan membabi-buta ke arah Rama.
Yang agak mengganggu dari The Raid adalah ketidakjelasan sejarah geng mafianya Tama. Mungkin Evans tidak mau terjebak dengan intro yang bertele-tele bak film drama. Tapi bagi saya, itu justru jadi cacat kecil di 'tubuh sempurna' film ini. Rasanya agak mengganggu, melihat tim SWAT-nya Kang Jaka begitu bernafsu menghabisi Tama, sementara kejahatan Tama seperti apa, tidak diceritakan dengan rasional.
Tapi mungkin celah itu jadi senjata Evans untuk menjual sekuel The Raid. Apalagi ending film ini sangat menggantung, dan membuka peluang lahirnya sekuel (atau mungkin juga prekuel). Toh film pertama yang digarap Evans-Iko, Merantau, juga dibikinin sekuelnya.
Setelah menonton film ini dengan setengah mata (karena mata satunya benar-benar nggak sanggup lihat gebuk-gebukan), saya kayaknya pengin nonton lagi. Paling tidak, saat nonton untuk kedua kalinya, saya sudah insaf, nggak segitu ngilernya lihat Kang Iko (you lie, Vitri!), dan bisa menikmati aksi heroik doi secara lebih rileks. Nilainya? My kisses for you, Iko Uwais.
Nice review. Ane sendiri baru mau nonton hari minggu :p
ReplyDeleteSetau ane, untuk soundtrack The Raid yg edar di Indo, bukan Mike Shinoda yang buat. Doi kebagian di The Raid yg edar di U.S
*CMIIW*
Woh iya, si Mike cuma ngisi The Raid yg tayang di US. Tks ralatnya. Soalnya musiknya 'dia banget', hehehe..
ReplyDeletekenapa ga pake densus? karena takut di somasi polri karena polisi di sini digambarkan sangat brutal. polri kan sangat menjaga citra di masyarakat.selain itu istilah swat lebih dimengerti audience luar negri
ReplyDeleteErrr.. Mungkin juga sih. Nama SWAT juga lebih keren. Walau kurang Indonesia *teteeep*.. Hehehe..
ReplyDeleteKamu bilang "Ya Tuhan" pas liat Iko telanjang dada, bukan pas dia sholat subuh hahahaha.
ReplyDeleteYa Tuhan.. Badannya Iko Uwaiiiis.. *sluuurp*
ReplyDeleteHahahaha