Wisata Pangandaran, Day 3: Green Canyon turns into Brown

Yak, namanya juga usaha. Meski kemarin Green Canyon tutup, plus hujannya awet banget dari sore sampai malam, kami tetap optimis bisa main ke sana. Ya iyalah, apalagi main course kami di Pangandaran kan Green Canyon.

So, kebiasaan saya molor selepas shubuh nggak berlaku Minggu pagi itu. Sekitar jam 06.00, saya pun SMS Kang Dede, salah satu guide di Green Canyon. Saya tanya padanya apakah hari itu Green Canyon sudah bisa beroperasi dan dipakai body rafting.

Kang Dede nggak memberi kami jawaban tegas. Katanya, dia masih berkoordinasi dengan karang taruna setempat, sebelum menyimpulkan sungai layak dan aman dipakai bermain. Sambil menunggu, saya pun memutuskan keluar penginapan dan berjalan-jalan pagi ke pantai, yang berada persis di depan Mugibis.

Suasana pagi itu mengingatkan saya akan Pantai Patong di Phuket. Mataharinya tidak terik, angin berhembus kencang, plus seliweran orang berolahraga pagi di sepanjang bibir pantai. Sendirian, saya pun menyusuri pantai sambil sesekali peregangan. Sepatu crocs pink saya tanggalkan, demi bisa merasakan pasir pantai menyusup di jejari kaki.

Pantai Barat Pangandaran mungkin disukai karena punya ombak yang bagus untuk olahraga air seperti surfing dan berenang. Tapi untuk jalan-jalan pagi, pantai ini terlalu ramai dan berombak. Beda dengan Pantai Patong yang masih sepi hingga pukul 08.00 pagi, sehingga enak untuk galau. Hehehe :D

Setengah jam penggalauan di pantai, saya balik ke penginapan. Teman-teman ternyata sudah pada bangun *ya iyalaaaah. Mereka lalu meminta saya untuk menelepon Kang Dede, untuk memastikan apakah Green Canyon sudah beroperasi kembali. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebelum saya telepon, Kang Dede SMS. Dia bilang, Green Canyon mungkin dibuka.

Yippie!! Setelah packing, kami pun segera meluncur ke ke Green Canyon. Sayang, sampai di sana Green Canyon masih sepi. Kami pun curiga, Kang Dede tadi memberikan harapan palsu. Ternyataaaa..... betul. Hiks. Green Canyon masih belum aman betul untuk dipakai body rafting.

Kata Kang Dede saat kami temui di TKP, sebenarnya bisa aja kalau kami nekat untuk body rafting. “Nggak apa-apa sih. Tapi kalau kalian mau, kalian yang pertama berangkat,” kata dia. What?? Jadi.. jadi kami ini semacam perobaan? Hah? Oke cukup lebainya.

Karena tak ingin menyerahkan nyawa pada Green Canyon plus takut kena macet di perjalanan, kami memutuskan mundur teratur. Tapi dasar kami-nya labil, lihat gerbang bertuliskan Green Canyon itu kami langsung tergoda. “Kayaknya kalau perahu-an doang, tanpa body rafting, aman deh..” kata Mas Radi.

Dan yak, kami pun akhirnya memutuskan untuk mencoba. Hahahaha.. Membayar Rp 75 ribu per perahu (satu perahu muat lima orang), kami pun berangkat juga. Saya sendiri sempat kena musibah karena terpeleset di bibir sungai, dan kecebur ke dalam. Nggak bisa berenang sama sekali, saya pun akhirnya hanya pasrah pada pertolongan abang perahu, Ririn, dan Yogi.

Jangan ditanya sakitnya seperti apa. Karena jatuh di sungai berkedalaman 2-15 meter itu sangat tidak menyenangkan (ya iyalaaah..). Yang menjengkelkan adalah Febriyan dan Dika, yang sama sekali nggak ada niat menolong saya, dan malah asyik memotret dan merekam proses saya kecebur. Kelihatan deh, mana yang beneran temen mana yang enggak. Grrrhhh

Fyi, sampai sekarang rasanya masih horor kalau ingat kejadian jatuh saat itu. Setelah pulang dari Pangandaran, saya bahkan masih beberapa kali mimpi jatuh. Dan itu sangat mengganggu. Makanya saya kesel banget saat Dika dan Febriyan mengumbar cerita itu di warung ibuk di kantor. *dendam*


Kembali ke laptop. Kemarin itu, Green Canyon nggak bisa disebut ‘green’ sebenarnya. Soalnya airnya jauuuuh dari kesan hijau. Warnanya sangat coklat, dan 11-12 dengan Sungai Mekong di Indocina itu. Tapi itu tidak mengurangi antusiasme saya untuk melihat seperti apa sih tebing-tebing Cukang Taneuh yang tersohor itu.

Ternyata benar. Saat perahu mendekati TKP, saya langsung amazed. Tebing-tebingnya gagah sekaligus cantik. Yang bikin tambah keren adalah sinar matahari yang hanya menyusup sedikit, sehingga kesan angkuh dan misteriusnya tebing semakin terasa. Saya pun membayangkan, kalau air di bawah pas hijau, pasti pemandangannya tambah menyenangkan.



Setelah satu jam-an lebih berperahu, kami pun memutuskan pulang ke Jakarta. Ternyata macet benar mendera kita. Perjalanan yang bisa ditempuh 8 jam, molor hingga 10,5 jam. Its okay, karena akhirnya kami jadi juga kabur 3 hari ke Pangandaran, dan bisa bersenang-senang di sana. Great :D

Comments

  1. Aslkm teteh...bolehkah tulisanya saya publish ulang di mypangandaran.com?

    ReplyDelete

Post a Comment