Amazing Spider-Man: Kala Si Superhero Mengenal Galau
Mari kembali ke zaman Peter Parker (Andrew Garfield) masih duduk di bangku sekolah. Ia cemerlang di kelas, doyan algoritma, jadi korban bullying, dan naksir cewek pintar cantik bernama Gwen Stacy (Emma Stone), putri seorang polisi. Layaknya pemuda belasan tahun, Peter diceritakan mudah galau, dan sangat meledak-ledak. Pops!
Tentu, Peter kita yang baru ini agak berbeda dengan yang disuguhkan Tobey Maguire dalam tiga film Spider-Man garapan Sam Raimi. Peter versi Tobey lebih kalem, cupu, kutubuku, tampak tidak percaya diri, dan punya kekuatan super saat sudah kuliah dan bekerja sebagai tukang antar pizza dan fotografer Daily Bugle. Pacar pertama si Spidey jadul juga bukan Gwen, melainkan Mary Jane.
Adapun versi Marc Webb (500 Days of Summer, one of my favorite romantic movies), Peter punya kepribadian lebih komplek. Ia diceritakan tak punya kawan banyak dan sensitif, karena punya masa lalu yang kelam. Saat dia kecil, karena suatu hal ayah dan ibunya menitipkan dia pada Paman Ben dan Bibi May. Tak lama setelahnya, media mewartakan kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat.
Masa lalu orang tua Peter (yang disajikan penuh drama dan misteri bak Harry Potter and The Sorcerer's Stone) jadi pengantar remaja itu untuk bertemu ilmuwan dr. Curt Curtis (Rhys Ifans). Ilmuwan itulah yang kelak berubah menjadi monster kadal raksasa laksana Godzilla, dan hobi bikin rusuh di penjuru New York. Tugas Peter, yang tersengat laba-laba genetik di laboratorium dr. Curtis, adalah menghentikan si kadal berbuat onar.
Yah dari situ saja bisa ditarik kesimpulan resep Webb tak jauh beda dengan Raimi. Bedanya, versi Raimi si monster adalah Green Goblin yang dibekali senjata canggih, alih-alih reptil berlendir. Entah karena Webb tak pernah bikin film action, pertarungan antara Spider-Man dan Lizard sama sekali tidak seru. Jauh jika dibandingkan adu strategi dan fisik Spidey versi Tobey dengan Green Goblin.
Bahkan loncat-loncatannya Spidey dari gedung ke gedung, tidak memantik decak kagum. Mungkin karena penonton sudah jenuh, atau memang teknik timnya Webb kurang dahsyat. Terlalu biasa lah, menurut saya. Adegan yang lebih cantik dibanding versi lamanya adalah proses Peter tersengat laba-laba, dan scene dia kayang dengan satu tangan di tepian atap gedung pencakar langit. Cool!
Kelebihan Amazing Spider-Man (karena dipegang Webb) adalah dramanya yang mantap. Yes, saya suka banget Spidey baru ini karena menonjolkan psikologi tokoh-tokohnya dengan lebih mendalam. Yah memang kesannya lebih rumit. Tapi hal itu jadi kekuatan tersendiri film berdurasi lebih dari dua jam ini. Adegan-adegan simpel yang dipamerkan Webb, bisa menghasilkan efek "Ohhh.." bagi saya (enggak tahu ya, bagi orang lain, hahaha..).
Misalnya nih, adegan Peter loncat-loncat dengan tampang malu setelah diajak Gwen makan malam di rumahnya, adegan Peter melemparkan jaring ke pantat Gwen demi memberi tahu identitasnya, adegan Peter mengamati Gwen dari atas dalam sebuah pemakaman, serta momen Gwen hujan-hujan datang ke rumah Peter untuk mempertanyakan alasan Peter tiba-tiba menjauhinya. Semua itu disuguhkan Webb secara artistik, romantis, dan emosional.
Chemistry Andrew Garfield (Social Network, Never Let Me Go), dan Emma Stone (The Help, Crazy Stupid Love) bisa dibilang oke. Emma menurut saya bisa membawakan karakter Gwen dengan baik dan pas. Sedangkan Andrew, alhamdulillah yah, biasa membuat saya sejenak melupakan Tobey. Dia bisa mengenalkan saya dengan Spidey dan Peter Parker baru yang gaul, tengil, labil, dan songong. Atau seperti kata generasi sekarang: it's complicated.
Saya kasih nilai film ini tujuh dari sepuluh. Enggak menyesal sih nonton Amazing Spider-Man. Walau Amazing Spider-Man lebih megah, tapi entah kenapa saya lebih suka Spidey lama yang sederhana. Lebih klasik. Selamat menonton :)
Kyaaaa...!! Andrew Garfield...'s butt!! Ahahaha.
ReplyDeleteAishhhh.. Masih aja dari kemarin pake hashtag #MasAndrew -___-
Delete