Tentang Cinta, Persahabatan, dan Kelamin


Saya baru saja melongok blog sahabat saya dan menemukan tulisan (sangat) menarik soal cinta, persahabatan, dan kelamin. Tulisan itu seolah-olah rangkuman dari apa yang beberapa kali diobrolkan kawan-kawan saya di kantor, tempat liputan, maupun teman SMA dan kuliah.

Tiga hal itu memang bahasan menarik yang tak lekang waktu. Banyak yang bilang, ketiganya saling terkait. Cinta bisa berawal dari persahabatan maupun birahi. Sama seperti birahi yang bisa menyublim menjadi cinta. Ada pula hubungan pertemanan plus birahi tanpa campurtangan cinta yang kita kenal dengan istilah "friends with benefit" ataupun "no strings attached".

Komplikasi dari ketiganya bisa menghasilkan penyakit kronis yang kerap membuat galau. Sejumlah pertanyaan pun muncul, dan sering kita dapati di sekitar kita, di linimasa, maupun kita sendiri mengalaminya.

Sering sekali saya mendapati "kasus" si A jatuh cinta pada si B yang sahabatnya, si C dan si D terlibat hubungan seksual intensif tanpa keterlibatan emosional, si E yang menyayangi si F padahal si F hanya menganggapnya sebagai teman (entah teman nongkrong ataupun teman tidur).

Saya yakin, zaman nenek-kakek saya remaja dulu, hubungan tak serumit ini. Saat mereka bertemu orang baik, mereka melamar, menikah, kemudian berkeluarga. Sepertinya (saya hanya menduga ya, hehe..) jarang ada orang dulu yang galau karena kisah cintanya ribet bak Justin-Mila di Friends With Benefits.

Mungkin teknologi punya peran besar membuat kegalauan dan ketidakjelasan terfasilitasi sedemikian rupa. Sehingga, seperti teori evolusi, psikologi makhluk hidup bernama manusia pun ikut berubah, menyesuaikan diri dengan kemajuan dan kemauan lingkungannya.

Manusia yang sebelumnya merasa cukup dengan hubungan yang sederhana, mulai menuntut lebih. Hubungan tak lagi sekadar "saya suka kamu, kamu suka saya, mari menikah", namun berevolusi dalam bentuk yang lebih dinamis, tidak teraba, tidak terkontrol, sekaligus rumit. Ya rumit, seperti dikatakan situs jejaring sosial Facebook: its complicated. Atau seperti kata Noah dalam lagu Separuh Aku, "Kau terluka lagi.. Dari kisah rumit yang kau jalani.." *ngooookkk*

Seorang kenalan saya mengalami sendiri jalin cinta-persahabatan-birahi yang rumit bak dakwaan kasus pencucian uang (sori saya nggak menemukan pengibaratan yang lebih baik, hehe..). Sebut saja Tita, 26 tahun.

Tita sudah akan menikah dengan pacarnya, Robin, sampai akhirnya keduanya sama-sama jatuh suka dengan orang baru. Tita tertarik pada Beni, sedangkan Robin dekat dengan Weni. Oke, jangan pikir Tita batal nikah dengan Robin. Tidak.. Keduanya tetap pacaran, tapi juga tetap berhubungan dengan "selingkuhan" masing-masing.

"Kesalahan" Tita adalah membuka ruang terlalu luas untuk Beni yang tipe dia banget. Yang terjadi akhirnya Tita makin sayang pada Beni, dan mulai menjalin kontak fisik dengannya. Tak cuma itu, Tita pun perlahan mulai menyayangi Beni dan berharap Beni-lah yang menikahinya, bukan Robin tunangannya.

Tapi harapan Tita tak terpenuhi. Beni (yang juga punya pacar.. Well, saya bilang apa? Orang sekarang emang aneh-aneh.. Hehe..) secara implisit menyatakan mundur dari kehidupan Tita. Alasannya tak jelas. Ia mengaku pada Tita, selama ini menganggap Tita sebagai sahabat saja. Entah apakah sebenarnya ia tak siap dengan tagihan komitmen, tapi terlalu pengecut untuk menjawab dan mengakuinya.

Saya jadi ingat kalimat Samantha, di Sex and the City. "Men do this all the time. Women walk around thinking "we", and their version of "we" is "me and my dick"..". Ya, bagi lelaki, konsep "kita" bukanlah ia dengan pasangannya, tapi ia dengan penisnya.


Pertanyaan yang muncul berikutnya, mungkinkah seorang lelaki menjalani hubungan seksual dengan perempuan tanpa adanya keterikatan emosional?

Menurut saya, dan beberapa teman lelaki, jawabannya mungkin. Banyaknya lelaki yang datang ke tempat pelacuran, dan memilih pelacur yang sama beberapa kali tanpa adanya ikatan emosional, adalah buktinya. Lelaki dengan penisnya bisa saja orgasme, foreplay, french kiss, penetrasi, tanpa mesti merasa "sayang" dengan lawan mainnya.

Hal yang sama bisa terjadi pada perempuan, tapi mungkin jumlahnya tak banyak. Perempuan kebanyakan mau untuk having sex dengan lelaki karena faktor "cinta", "sayang", "nyaman", dst yang basisnya emosional dan dependensi perasaan.

Menjadi masalah adalah saat hubungan tanpa status berjalan ke arah yang berbeda bagi kedua pelakunya: si lelaki masih "tidak merasa apa-apa", sedangkan si perempuan mulai merasa kontak fisik keduanya lebih dari sekadar birahi. Dua titik ini seringnya tidak ketemu. Yang terjadi kemudian adalah hubungan tidak jelas yang cenderung merundung pikiran si perempuan.

Pada kondisi ini biasanya perempuan cenderung hilang kewarasan, dan mulai bersikap labil yang sayangnya justru membuat gerah si lelaki. Saya sama sekali tidak menyalahkan si perempuan. Karena saya pribadi merasa, perempuan dengan kompleksitas dan pengalaman seksualitasnya, tidak sesederhana itu memperlakukan dan memandang tubuhnya.

Dan ya, pilihan pada akhirnya mengerucut menjadi dua bagi si perempuan: take it or leave it. Kalau memutuskan lanjut membangun hubungan berbasis birahi, ya mesti siap dengan segala konsekuensi: galau tak ditanggung si lelaki, cemburu dipendam sendiri, rindu disimpan di dalam hati.

Opsi meninggalkan "partner seks" yang disayangi boleh jadi berimplikasi lebih positif bagi si perempuan. Karena bagi banyak perempuan, menjalin hubungan dengan lelaki yang menyayanginya akan lebih membahagiakan. Proses meninggalkan si partner seks sendiri mungkin tak mudah. Tapi itu semacam harga yang mesti dibayar untuk kondisi jiwa yang lebih sehat.

Mengutip Djenar Maesa Ayu, pada dasarnya tiap manusia adalah pengelana yang mencari pasangan jiwa. Dan pada akhirnya, pasangan raga cuma akan jadi perhentian sementara.. :)

Comments