Review Album Tigapagi: Roekmana's Repertoire


Terbentuk pada 2006 dan sempat tak terdengar kabarnya, tahun ini trio asal Bandung, Tigapagi, akhirnya mencetak album perdana berjudul Roekmana's Repertoire. Judul album tak ada sangkut pautnya dengan putri bekas presiden Soeharto. Roekmana yang dikisahkan Sigit Pramudita (vokal, gitar, bass, kibor), Eko Sakti (gitar), dan Prima Dian Febrianto (gitar, piano, kecapi) adalah seorang yang gelisah mencari makna hidup dan memikirkan negerinya.

Karena bertutur soal perjalanan hati dan keresahan pikiran Roekmana, album disuguhkan dalam satu track sepanjang lebih dari satu jam. Track tersebut, kata Sigit, terdiri dari tiga pembabakan waktu: sore, malam, dan dinihari. "Jadi kesatuan track dalam album kami ibarat waktu yang terus berjalan, tanpa jeda," ujarnya.

Model album serupa- penutup lagu sekaligus menjadi intro- pernah digunakan Boomerang dalam Reboisasi, yang dirilis tahun lalu. Namun Sigit membantah mengekor grup musik rock asal Surabaya tersebut. Katanya, Tigapagi sekadar ingin memperkuat jalin cerita perjalanan Roekmana dengan mengemas lagu-lagunya dalam suatu kesatuan.

Dalam membuat album ini, Tigasore dibantu banyak musisi. Misalnya Firza Achmar Paloh (SORE) yang urun ide lirik dan menyumbang vokal dalam Alang-Alang, Aji Gergaji (The Milo), Ida Ayu Made Paramita Saraswati (Nadafiksi), juga Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi), dan Alvin Witarsa (violinist).

Roekmana's Repertoire yang terdiri dari 14 lagu, dibuka Alang-Alang. Lagu yang dirilis bertepatan dengan Hari Tani 24 September lalu ini berujar soal kehilangan dan perpisahan. Suara Sigit yang mendayu sendu dan parau, dipadu musik khas Pasundan, mampu menyuarakan kegetiran hati Roekmana.

Selanjutnya kita dibawa Tigapagi masuk ke dalam ruang pikir Roekmana yang penuh pertanyaan, kemarahan, juga renungan. Yang menarik, album ini sekaligus bercerita soal kelahiran (Birthday), kematian (Tangan Hampa Kaki Telanjang, Tertidur), serta kehidupan (The Way).

Menurut Sigit, ia dan kedua kawannya memang sengaja mengangkat ketiga hal itu dalam Roekmana’s Repertoire. Namun pada awalnya, album ini terilhami dari peristiwa 30 September 1965. "Lirik-liriknya memang implisit dan multiinterpretatif. Menurut kami itu lebih adil bagi pendengar. Biar saja mereka punya interpretasi masing-masing, karena kami tak ingin menyetir."

Lirik yang puitis tapi tidak cengeng, dipadu dengan musik yang menyayat dan syahdu, membuat Roekmana's Repertoire seperti mesin waktu yang membawa kita ke beberapa dekade silam. Dalam beberapa bagian, Tigapagi juga menghadirkan suasana getir yang mendalam, seperti dirasakan Roekmana yang sedang muram memikirkan negerinya.

Dikatakan Sigit, banyak hal yang mempengaruhi Tigapagi sebelum melahirkan Roekmana's Repertoire. Prima misalnya, banyak mendapat pengalaman dari profesinya sebagai guru Seni Budaya di SMP dan SMA  di Sukabumi. Ia juga seorang pecinta alam, yang banyak mendapat inspirasi saat mendaki gunung.

Sedangkan Eko yang cucu seorang sinden, adalah pendengar musik klasik dan metal sekaligus. "Kalau saya sendiri, ketemu banyak orang, mengobrol dengannya, dan biasanya mendapat cerita baru yang bisa jadi lagu. Ya katakanlah inspirasi yang kami dapat, diimpor dari Tuhan," kata Sigit.

Ihwal jenis musik Tigapagi yang cenderung folk, Sigit tak mau banyak memperdebatkan. Ia bilang, terserah jika pendengar punya persepsi berbeda-beda soal jenis musik mereka. Namun, Sigit berseloroh, pada dasarnya musik Tigapagi adalah hasil karya mereka yang saat itu tak punya duit untuk menyewa studio. 

"Bisanya gitar akustikan aja di rumah, karena sewa studio saat itu mahal. Ya jadinya musik seperti itu, yang dibilang orang folk. Kami sendiri memilih tidak mengidentikkan diri dengan genre tertentu. Bisa saja di album berikutnya musik kami berubah metal," ujarnya.

Judul: Roekmana’s Repertoire
Musisi: Tigapagi
Label: Demajors, Helat Tubruk
Rilis: September 2013

ISMA SAVITRI | sudah dimuat di @korantempo

Comments

Popular Posts