Review Panacea Resto & Lounge: "Obat Mujarab" Berlimpah Rempah
Restoran Panacea yang terletak di lantai dasar Menara DEA, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, tampak biasa saja jika dilihat sekilas. Dari luar, bentuknya tak jauh beda dengan restoran di gedung perkantoran lainnya. Tak ada ornamen menarik yang dilekatkan si empunya Panacea pada sisi depan restoran tersebut untuk sekadar memantik perhatian.
Yang cukup menyegarkan mata adalah bagian teras restoran yang berbatasan dengan kolam renang. Di tepi kolam itu terdapat sederet meja-kursi dan payung pelindung panas, yang seperempatnya saja terisi pengunjung Panacea. Panas Rabu sore lalu memang sedikit keterlaluan. Saya dan seorang kawan pun akhirnya batal kongkow di tepi kolam, dan memilih berteduh di dalam ruangan.
Sebuah sofa warna coklat pastel nan manis di pojok ruangan, kami pilih jadi tempat bersandar. Lagu jazz mengalun sayup-sayup. Di sofa samping kami, duduk lima orang yang perhatiannya terbetot pada sebuah laptop mungil di tengah meja mereka. Pemandangan serupa saya lihat di kursi kayu coklat di seberang, sekitar empat meter dari tempat kami duduk.
Membawa senyum manis dan menu restoran, seorang pramusaji Panacea berseragam coklat muda, datang menghampiri saya. Padanya saya bertanya, mengapa suara lagu di ruangan ini tidak sedikit diperkeras, agar tak terkesan terlalu senyap. Namun katanya, memang demikian aturan tak tertulis yang berlaku di Panacea. "Kebanyakan orang datang ke sini sekalian meeting atau kerja. Kalau volume musiknya diperkeras, kasihan mereka tak bisa konsentrasi."
Panas yang pongah hari itu membuat kami meminta pramusaji Panacea menyajikan terlebih dulu minuman khas restoran tersebut. Kami tak mengelak saat ditawari dua minuman andalan, Green Tea Panacea dan Caramel Coffee Panacea. Untuk cemilan, Cheese Nachos yang saya pilih, sembari menunggu menu utama, Argentinian Steak dan Sop Buntut Bakar Balado, kelar diracik Chef Dedi Suhendi.
Pantaslah Green Tea Panacea dibanggakan sebagai jagoan. Tekstur Green Tea Panacea tidak terlalu kental, sehingga tak terasa "berat" di mulut. Tingkat kemanisan olahan daun Camillia Sinsensis ini pun pas, dibanding minuman sejenis di restoran lain yang cenderung ramah gula. Sayangnya, harapan mendapat kesegaran yang sama, tidak dipenuhi Caramel Coffee Panacea. Tak ada hal istimewa dari minuman ekstrak biji kopi Belawan tersebut yang membuatnya layak dikalungi medali favorit di Panacea.
Sekitar sepuluh menit sejak dipesan, Cheese Nachos terhidang di meja kami. Tampilan cemilan khas Meksiko itu membuat mata riang. Oleh Chef Dedi, tortilla berbentuk segitiga diguyur keju Black Jack dan Red Jack yang sudah dingin ketika disajikan. Daging asap yang dipotong persegi kecil-kecil, berceceran di selanya.
Rasa Cheese Nachos ternyata secantik namanya. Tortilla yang diimpor dari Amerika Serikat itu renyah, meski terlalu tebal untuk kategori nachos. Nah, yang spesial, Cheese Nachos di Panacea disajikan dengan saus khusus nan mudah membuat lidah jatuh cinta. Menurut supervisor Panacea, Ismaryono, bahan utama saus adalah tomato concasse, tomat cincang yang biasa disandingkan dengan masakan Perancis dan bruschetta Italia. Tomato concasse itu dipadukan dengan irisan tipis cabai merah dan rawit, saus sambal, dan bubuk lada.
Saus yang sama juga dipasangkan dengan Argentinian Steak, yang pada daftar menu tertulis NZ (New Zealand) Tenderloin Steak. Meski mahal, menu ini ternyata tak mengecewakan para karnivor. Tampilannya sederhana namun memikat. Steak dipresentasikan di atas talenan kayu berbentuk kotak, bersama mangkok dan kentang goreng yang gendut. Rasanya? Tidak pasaran, menurut saya.
Disebut Argentinian, karena cara memasaknya menggunakan metode serupa di negara Amerika Latin tersebut. Daging tebal yang diimpor Panacea dari Selandia Baru itu dimasak dalam dua tahap. Pertama, daging terlebih dulu dilaburi bumbu khusus sebelum dipanggang sebentar. Setelahnya, daging kembali dilumuri bumbu rempah-rempah lalu kembali dipanggang.
Argentinian Steak yang dimasak medium rare tersaji dalam kondisi kering. Bumbu rempah lokal yang ditaburkan di atasnya membuat langit-langit mulut membara. Dagingnya pun lembut dan tanpa lemak, sehingga kita tak perlu susah payah mempekerjakan pisau untuk mengirisnya. Dipadu dengan saus tomato concasse, rasa Argentinian Steak jadi susah dilupakan.
Menu lainnya, Sop Buntut Bakar Balado, juga tak kalah dahsyat, tampilan maupun rasanya. Oleh Chef Dedi, buntut sapi direbus dengan bumbu rempah cukup lama, agar dagingnya empuk. Setelahnya, buntut sapi diolesi sambal balado superpedas yang berlimpah, lalu dibakar. Saat disajikan, tiga potong buntut sapi disatukan dalam satu piring bulat besar dengan nasi, sedangkan kuah disuguhkan terpisah.
Jika menikmati dagingnya saja, Sop Buntut Bakar Balado terasa kurang mantap. Baru setelah diguyur kuah, saya mendapat jawaban mengapa menu ini diklaim Ismaryono dicintai para pengunjung setia Panacea. Daging bakarnya empuk dan tidak gosong, sedangkan kuahnya sangat menghangatkan tenggorokan. Menyantap menu ini saat gerimis, atau sedang tak enak badan, sepertinya nikmat.
Ruangan Panacea, kata dari Bahasa Spanyol yang berarti obat mujarab, memang kurang cocok untuk tempat Anda “berlari” dari kepenatan. Namun bagi pecinta kuliner, restoran berkapasitas seratus orang yang buka pukul 07.00-22.00 WIB ini patut disinggahi: menu-menunya adalah obat mujarab yang menggiring senyum para pencicipnya.
*Sudah dimuat di Koran Tempo Minggu
Yang cukup menyegarkan mata adalah bagian teras restoran yang berbatasan dengan kolam renang. Di tepi kolam itu terdapat sederet meja-kursi dan payung pelindung panas, yang seperempatnya saja terisi pengunjung Panacea. Panas Rabu sore lalu memang sedikit keterlaluan. Saya dan seorang kawan pun akhirnya batal kongkow di tepi kolam, dan memilih berteduh di dalam ruangan.
Sebuah sofa warna coklat pastel nan manis di pojok ruangan, kami pilih jadi tempat bersandar. Lagu jazz mengalun sayup-sayup. Di sofa samping kami, duduk lima orang yang perhatiannya terbetot pada sebuah laptop mungil di tengah meja mereka. Pemandangan serupa saya lihat di kursi kayu coklat di seberang, sekitar empat meter dari tempat kami duduk.
Membawa senyum manis dan menu restoran, seorang pramusaji Panacea berseragam coklat muda, datang menghampiri saya. Padanya saya bertanya, mengapa suara lagu di ruangan ini tidak sedikit diperkeras, agar tak terkesan terlalu senyap. Namun katanya, memang demikian aturan tak tertulis yang berlaku di Panacea. "Kebanyakan orang datang ke sini sekalian meeting atau kerja. Kalau volume musiknya diperkeras, kasihan mereka tak bisa konsentrasi."
Panas yang pongah hari itu membuat kami meminta pramusaji Panacea menyajikan terlebih dulu minuman khas restoran tersebut. Kami tak mengelak saat ditawari dua minuman andalan, Green Tea Panacea dan Caramel Coffee Panacea. Untuk cemilan, Cheese Nachos yang saya pilih, sembari menunggu menu utama, Argentinian Steak dan Sop Buntut Bakar Balado, kelar diracik Chef Dedi Suhendi.
Pantaslah Green Tea Panacea dibanggakan sebagai jagoan. Tekstur Green Tea Panacea tidak terlalu kental, sehingga tak terasa "berat" di mulut. Tingkat kemanisan olahan daun Camillia Sinsensis ini pun pas, dibanding minuman sejenis di restoran lain yang cenderung ramah gula. Sayangnya, harapan mendapat kesegaran yang sama, tidak dipenuhi Caramel Coffee Panacea. Tak ada hal istimewa dari minuman ekstrak biji kopi Belawan tersebut yang membuatnya layak dikalungi medali favorit di Panacea.
Sekitar sepuluh menit sejak dipesan, Cheese Nachos terhidang di meja kami. Tampilan cemilan khas Meksiko itu membuat mata riang. Oleh Chef Dedi, tortilla berbentuk segitiga diguyur keju Black Jack dan Red Jack yang sudah dingin ketika disajikan. Daging asap yang dipotong persegi kecil-kecil, berceceran di selanya.
Cheese Nachos |
Saus yang sama juga dipasangkan dengan Argentinian Steak, yang pada daftar menu tertulis NZ (New Zealand) Tenderloin Steak. Meski mahal, menu ini ternyata tak mengecewakan para karnivor. Tampilannya sederhana namun memikat. Steak dipresentasikan di atas talenan kayu berbentuk kotak, bersama mangkok dan kentang goreng yang gendut. Rasanya? Tidak pasaran, menurut saya.
Disebut Argentinian, karena cara memasaknya menggunakan metode serupa di negara Amerika Latin tersebut. Daging tebal yang diimpor Panacea dari Selandia Baru itu dimasak dalam dua tahap. Pertama, daging terlebih dulu dilaburi bumbu khusus sebelum dipanggang sebentar. Setelahnya, daging kembali dilumuri bumbu rempah-rempah lalu kembali dipanggang.
Argentinian Steak yang dimasak medium rare tersaji dalam kondisi kering. Bumbu rempah lokal yang ditaburkan di atasnya membuat langit-langit mulut membara. Dagingnya pun lembut dan tanpa lemak, sehingga kita tak perlu susah payah mempekerjakan pisau untuk mengirisnya. Dipadu dengan saus tomato concasse, rasa Argentinian Steak jadi susah dilupakan.
Menu lainnya, Sop Buntut Bakar Balado, juga tak kalah dahsyat, tampilan maupun rasanya. Oleh Chef Dedi, buntut sapi direbus dengan bumbu rempah cukup lama, agar dagingnya empuk. Setelahnya, buntut sapi diolesi sambal balado superpedas yang berlimpah, lalu dibakar. Saat disajikan, tiga potong buntut sapi disatukan dalam satu piring bulat besar dengan nasi, sedangkan kuah disuguhkan terpisah.
Sop Buntut Bakar Balado |
Ruangan Panacea, kata dari Bahasa Spanyol yang berarti obat mujarab, memang kurang cocok untuk tempat Anda “berlari” dari kepenatan. Namun bagi pecinta kuliner, restoran berkapasitas seratus orang yang buka pukul 07.00-22.00 WIB ini patut disinggahi: menu-menunya adalah obat mujarab yang menggiring senyum para pencicipnya.
*Sudah dimuat di Koran Tempo Minggu
Comments
Post a Comment