Soal Nikah (Lagi)
Seorang sahabat akan menikah dalam waktu dekat. Tapi dia tiba-tiba saja ragu dengan calonnya yang dianggap enggak pengertian. Kendati demikian, si sahabat tidak membatalkan pernikahannya. "Kami tahu kami sama-sama enggak punya nyali untuk batalin. Pret lah dengan cinta," kata si sahabat.
Sahabat satunya lain lagi. Dia bilang bahwa orang tidak menikah karena cinta. "Aku tipe realistis. Nikah ya nikah, bubar ya bubar. Enggak ada yang kuanggap sakral. Kalau alasan menikah karena cinta, aku udah nikah dari dulu," ujar dia yang kini sudah bersuami. "Naif sekali berpikir menikah karena cinta."
"Kalau gitu aku naif ya? Tapi, yes i am," kata saya.
Si sahabat yang sudah menikah ini tertawa. "Menikahlah selagi naif, Vit. Ayooo... I wish i did lho. Menikah selagi naif.."
Setelah ngobrol dengan mereka, saya makin sadar saya mungkin memang naif. *genjreng lagu Air dan Api sambil pake kacamata item ala David Naif* Tapi ya begitulah saya. Si sahabat, baik yang akan menikah namu ragu, dan yang sudah menikah, pasti punya pengalaman yang enggak saya tahu.
Mungkin mereka benar. Ada kalanya kita tidak sebaiknya berpikir linier. Banyak hal terjadi, banyak hal yang berkembang, tumbuh, baik dalam diri kita maupun pasangan. Mungkin saja dulu kita dan pasangan sama-sama pakai gigi 3, tapi pada akhirnya kita tancap gas dan dia melambat. Atau sebaliknya. Sampai kapan ritme beda itu akan bertahan? *jawabannya, tunggu setelah pariwara berikut ini*
Dan mungkin benar cinta saja tidak cukup. Mungkin. Karena dalam hubungan butuh lebih dari itu. Apalagi untuk pernikahan. Ada yang mesti dikorbankan, itu pasti. Entah waktu asyik membujang, kesabaran, juga tambahan pengertian.
Tapi pasti semua itu akan tidak menyusahkan karena kita menikah dengan orang yang kita cinta. Karena bukan sebuah kesia-siaan, menghabiskan sisa hidup kita untuk tumbuh dan menggila dengan orang yang kita cinta.
Haduh, iya. Saya memang masih naif :|
Sahabat satunya lain lagi. Dia bilang bahwa orang tidak menikah karena cinta. "Aku tipe realistis. Nikah ya nikah, bubar ya bubar. Enggak ada yang kuanggap sakral. Kalau alasan menikah karena cinta, aku udah nikah dari dulu," ujar dia yang kini sudah bersuami. "Naif sekali berpikir menikah karena cinta."
"Kalau gitu aku naif ya? Tapi, yes i am," kata saya.
Si sahabat yang sudah menikah ini tertawa. "Menikahlah selagi naif, Vit. Ayooo... I wish i did lho. Menikah selagi naif.."
Setelah ngobrol dengan mereka, saya makin sadar saya mungkin memang naif. *genjreng lagu Air dan Api sambil pake kacamata item ala David Naif* Tapi ya begitulah saya. Si sahabat, baik yang akan menikah namu ragu, dan yang sudah menikah, pasti punya pengalaman yang enggak saya tahu.
Mungkin mereka benar. Ada kalanya kita tidak sebaiknya berpikir linier. Banyak hal terjadi, banyak hal yang berkembang, tumbuh, baik dalam diri kita maupun pasangan. Mungkin saja dulu kita dan pasangan sama-sama pakai gigi 3, tapi pada akhirnya kita tancap gas dan dia melambat. Atau sebaliknya. Sampai kapan ritme beda itu akan bertahan? *jawabannya, tunggu setelah pariwara berikut ini*
Dan mungkin benar cinta saja tidak cukup. Mungkin. Karena dalam hubungan butuh lebih dari itu. Apalagi untuk pernikahan. Ada yang mesti dikorbankan, itu pasti. Entah waktu asyik membujang, kesabaran, juga tambahan pengertian.
Tapi pasti semua itu akan tidak menyusahkan karena kita menikah dengan orang yang kita cinta. Karena bukan sebuah kesia-siaan, menghabiskan sisa hidup kita untuk tumbuh dan menggila dengan orang yang kita cinta.
Haduh, iya. Saya memang masih naif :|
Comments
Post a Comment