Rezeki Tak Ke Mana
Kalau makan ayam goreng tepung, bagian mana yang kamu suka? Saya suka bagian kulitnya karena renyah. Nglawuhi kalau kata orang Jawa. Apalagi kalau makannya selagi panas dan dicocol saus pedas. Slurppp..
Suatu siang, saya makan bareng Sinta Sintiawati. Umurnya masih 12 tahun. Dia anak pemulung di daerah Bintara, Bekasi Barat. Saya makan sama dia bukan karena saya filantropi, tapi karena sedang liputan di sekolah Sinta yang juga diisi anak-anak pemulung wilayah itu.
Kembali ke ayam. Singkat cerita, saya siang itu hanya menyantap bagian kulit ayam saja. Sinta melakukan hal yang sama. Saya pun bilang padanya, bahwa ternyata kebiasaan kami sama: cuma suka motekin kulit si ayam goreng aja.
Setelah si ayam "telanjang", saya tutup bungkus makanan itu, dan bertanya pada Sinta, di mana saya bisa membuangnya. Sinta bilang, nanti biar saja dia yang membuang kardus saya. Saya menurut. Sampai akhirnya saya iseng dari jauh mengamati di mana dia membuang kardus makanan saya.
Ternyata kardus itu tak sampai ke tong sampah. Kardus makanan saya -yang tinggal ayam tanpa kulit itu- disimpan Sinta. Beberapa kawannya yang melihat itu, sepertinya iri. "Sin buat aku aja, dong.." kata si A. "Buat aku aja, Sinta.." ujar si B. Yap, kardus bekas makanan saya jadi rebutan :(
Saya akhirnya mendekati mereka. "Lho Sin, kardusnya enggak jadi kamu buang?" tanya saya. Sinta menggeleng. "Buat adik saya di rumah, Kak.. Dia suka ayam kayak gini..". Ia menjawab, dengan nada agak takut, seolah ketahuan melakukan hal jahat.
Saya lalu melongok menengok kardus makanan Sinta. Ternyata isinya sama: ayam tanpa kulit. Setelah saya tanya, Sinta akhirnya menjelaskan bahwa ia meniru cara memakan saya agar ayamnya bisa dibagi ke orang tua dan adiknya di rumah.
Dengar jawabannya, saya jadi enggak enak sendiri. Apalagi setelah itu Sinta bilang, kalau ayam bekas saya adalah rezeki adiknya. Ya ampun, semacam keselek aja saya. Gimana bisa anak itu punya definisi rezeki yang... yah, di luar pemikiran saya.
Saya jadi kepikiran. Apa mungkin kita selama ini terlalu berlebihan menakar rezeki? Sampai akhirnya berpikir bahwa rezeki adalah mendapat dan punya banyak duit. Bahwa rezeki adalah ditraktir makan enak dan ngebir gratis (meeeen, bir gratis itu rezeki kan ya?).
Padahal sebenarnya, masih bisa duduk sambil ngopi dan ngetik ini juga merupakan rezeki. Dikelilingi orang baik dan menyenangkan pun adalah rezeki. Yassalam, saya sok alim dan sok kece banget dah kesambet nulis beginian. Wakakakakaka..
Salam rezeki :))
Suatu siang, saya makan bareng Sinta Sintiawati. Umurnya masih 12 tahun. Dia anak pemulung di daerah Bintara, Bekasi Barat. Saya makan sama dia bukan karena saya filantropi, tapi karena sedang liputan di sekolah Sinta yang juga diisi anak-anak pemulung wilayah itu.
Kembali ke ayam. Singkat cerita, saya siang itu hanya menyantap bagian kulit ayam saja. Sinta melakukan hal yang sama. Saya pun bilang padanya, bahwa ternyata kebiasaan kami sama: cuma suka motekin kulit si ayam goreng aja.
Setelah si ayam "telanjang", saya tutup bungkus makanan itu, dan bertanya pada Sinta, di mana saya bisa membuangnya. Sinta bilang, nanti biar saja dia yang membuang kardus saya. Saya menurut. Sampai akhirnya saya iseng dari jauh mengamati di mana dia membuang kardus makanan saya.
Ternyata kardus itu tak sampai ke tong sampah. Kardus makanan saya -yang tinggal ayam tanpa kulit itu- disimpan Sinta. Beberapa kawannya yang melihat itu, sepertinya iri. "Sin buat aku aja, dong.." kata si A. "Buat aku aja, Sinta.." ujar si B. Yap, kardus bekas makanan saya jadi rebutan :(
Saya akhirnya mendekati mereka. "Lho Sin, kardusnya enggak jadi kamu buang?" tanya saya. Sinta menggeleng. "Buat adik saya di rumah, Kak.. Dia suka ayam kayak gini..". Ia menjawab, dengan nada agak takut, seolah ketahuan melakukan hal jahat.
Saya lalu melongok menengok kardus makanan Sinta. Ternyata isinya sama: ayam tanpa kulit. Setelah saya tanya, Sinta akhirnya menjelaskan bahwa ia meniru cara memakan saya agar ayamnya bisa dibagi ke orang tua dan adiknya di rumah.
Dengar jawabannya, saya jadi enggak enak sendiri. Apalagi setelah itu Sinta bilang, kalau ayam bekas saya adalah rezeki adiknya. Ya ampun, semacam keselek aja saya. Gimana bisa anak itu punya definisi rezeki yang... yah, di luar pemikiran saya.
Saya jadi kepikiran. Apa mungkin kita selama ini terlalu berlebihan menakar rezeki? Sampai akhirnya berpikir bahwa rezeki adalah mendapat dan punya banyak duit. Bahwa rezeki adalah ditraktir makan enak dan ngebir gratis (meeeen, bir gratis itu rezeki kan ya?).
Padahal sebenarnya, masih bisa duduk sambil ngopi dan ngetik ini juga merupakan rezeki. Dikelilingi orang baik dan menyenangkan pun adalah rezeki. Yassalam, saya sok alim dan sok kece banget dah kesambet nulis beginian. Wakakakakaka..
Salam rezeki :))
Comments
Post a Comment