Di Bangku Malam Itu

Kita pernah menangis karena cemas yang sama. Apakah nanti, di bangku ini, kita akan selalu merawat cinta yang berangkat senja. Karena mungkin saja, seperti kemarau yang datang suka-suka, "Cintamu pun bisa pergi kapan saja."

Ah. Kamu mungkin lupa. Hujan itu, pun, akan terus kembali pada kita, rumahnya. Apakah kamu masih digerogoti cemas yang sama, jika kubilang aku tak akan ke mana-mana?

Baramu permisi sebentar. Saat kamu terus bicara soal cita-citamu, dan akhirnya bibirmu tertidur di pangkuku. Redup itu, menyimpan kenangan akan wajah-wajah kita yang belum memikirkan rumah yang layak untuk anak-anak kita nanti. Atau sekadar menyumpahi harga cabai yang terus naik, sehingga kupaksa kamu menandaskan sambal yang malu-malu.

Sudahlah, lelap saja kamu. Sampai tanak, biar aku leluasa mengecupmu. Pelan-pelan kuambil sepotong malam, dan menjadikannya selimut di tubuhmu. Dan aku mengecupmu, lagi, dalam dingin yang melipat doa-doa. Cinta kita harus dirayakan, meski ada kalanya sederhana.

entahlah ini saya gambar apa

Comments