Cinta yang Tepat


Minggu pagi lalu saya bareng Novi dan Valen menghadiri misa sakramen pernikahan Wita di sebuah gereja Katolik di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Detik demi detik semula tampak menegangkan. Om Madyudi dan tante -ortu Wita- dan keluarga besan saling menyimpan senyum. Apalagi muka Wita dan Mas Nanang. Beuhh, macam orang mau dikawinin paksa aja.

Sampai tiba waktu Romo melumerkan kekakuan dengan bertanya pada Mas Nanang dan Wita, soal masa lalu keduanya. Oh Lord yang benar saja, batin saya, walau sebenarnya kepo juga sih. Hahahaha.. Mas Nanang dengan mantapnya menyebut Wita sebagai cinta pertamanya. "Saya jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu di klub tenis kampus."

Sedangkan sahabat saya? Ah tentu tidak. Wita, dengan gelagapan dan nada canggung, bilang Mas Nanang bukan cinta pertamanya. “Bukan yang pertama, hehe.. Tapi dia orang yang paling tepat buat saya..”.

*saya macem keselek dengar jawaban itu*

Jemaat gereja pun ger-geran. Romo yang baik itu lalu menengahi saltingnya Wita dengan berucap: "Tapi kini kalian dipersatukan Tuhan, setelah melewati ujian-Nya dengan penuh kesabaran."


Ya, kesabaran, kata Romo. Kesabaran yang tak pernah kenal titik. Kesabaran yang mesti langgeng karena kita, dan tentunya pasangan kita, berubah dan "tumbuh". Kesabaran yang disertai keikhlasan, untuk saling mengingatkan dan memperbaiki kekurangan. Kesabaran dalam mencintai dan berjalan beriringan.

Saya jadi ingat banyak percakapan dengan Wita dan kawan lainnya. Dari situ saya belajar, bahwa kesabaran bukan hal yang satu hari jadi. Bukan sekadar janji atau cuit di Twitter yang bakal terhapus oleh ingatan atau pun "sundul gan". Bukan sekadar keharusan dalam sembilan tahun lebih pacaran (Gila lu Wit, ngalahin lagu Sewindu-nya Tulus).

Tapi itu sebuah proses, yang tumbuh seiring kesadaran untuk saling mengalah. Mengalah yang bukan karena terpaksa atau ditaklukkan, tapi karena kasih. "Karena cinta yang sejati memang perlu waktu dan kesabaran," kata Romo.

Kesabaran memang tak melulu berbuah manis. Bisa jadi apa yang selama ini kita sabar-sabarkan ternyata berujung menyakitkan. Tapi ya apa mau dikata. Kadang dari situlah kita tahu, apakah sesuatu atau seseorang yang kita sabar-sabarkan itu adalah orang yang tepat buat kita. Atau, justru tidak tepat.

Saya tahu bukan hal yang mudah bagi Wita maupun Mas Nanang sampai pada akhirnya menikah setelah ada di zona pacaran nyaman. Ingat banget lah saya bagaimana tahun lalu Wita melulu masih ngeledekin saya dengan Tri (ya gimana ya saya dulu emang musuhin calon suami saya itu), dan dengan pedenya bilang baru akan menikah setelah saya.

Tapi Tuhan tak sabar ingin menyatukan mereka. Dan pada akhirnya, 9 Agustus 2015, Wita pun "melanggar" rencananya. Selamat menikah, Wita. Selamat melepaskan jabatan duta kesuwen pacaran, ya. Selamat menikah, Mas Nanang. Yang sabar-sabar ya, sama Wita :p

kebaktian midodareni pada malam sebelum akad nikah
dempet-dempet yang nikah biar ketularan. Eakkkk

Comments

  1. The right love is a sweet word I've ever heares.. you are next, sist ^.^

    ReplyDelete
  2. The right love is a sweet word I've ever heares.. you are next, sist ^.^

    ReplyDelete
    Replies
    1. aaaaah kamu juga mbakkk pasti deh akan dapet yang paling emesh *pelukkk* tahun depan semoga bs lihat kamu sakramen misa di gereja pengapon itu yah sissy

      Delete
  3. Makasih jeng ... emang romo ngomong gitu ya. Kok aku lupa vits sumpah hahahaha ...btw di poto selpih lipstik kamuh paling tebel sist -__-"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku ketik cepet bok di hape hahahaha.. keren dah romonya. Lipstik eike itu pinjeman dari Nopih saay :*

      Delete
  4. Giliran nama aku masuk di blog kamu dengan keterangan aku sedang nangis-nangis kejer pas sidang liputan Abu Bakar Baasyir.. hiks hiks hiks hiks hiks..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Muahahahah abisnyaaa km bisa2nya mewek gt mbaaa.. Mana dulu banyol bgt liputan sidang cerai n naruh recorder d meja hakim. LOL

      Delete

Post a Comment