Nyesek

Mungkin saya impulsif (semoga engga seperti Krisdayanti dan Aurel yang berantem di Instagram) karena memutuskan membuka laman ini ketika ah apa ya, saya sedih. Entah apa yang terjadi, saya hanya terlalu sakit dan nyesek melihat apa yang terjadi dan berubah pada diri seorang sahabat saya.

Saya kenal dia sejak SMA kelas 1, ketika kami masih remaja belasan tahun yang memilih baca komik, buku, dan novel-novel tebal dibanding nongkrong gaul atau pun nonton AADC berkali-kali. Ketika kami belum tau apa itu berharap pada orang yang dicintai (kalo pun pacaran ya buat keren-kerenan aja lah ya), berjuang untuk orang tersebut, apalagi jatuh karena perasaan itu.

disclaimer: buat yang merasa ini terlalu melankolik, please go away. *buka pintu*

Dia adalah salah satu sahabat saya yang paling cerdas. Ah ya, ngobrol apa saja dengan dia semacam nyambung walau kadang penuh intrik yang ujung-ujungnya nggak nyambung (maksudnya malah nyangkut ke mana-mana gitu) hehe.. Dia manis dan kalem dan mukanya "anak baik-baik" banget, enggak seperti saya yang kemampleng.

Sampai akhirnya kami masuk di kampus yang berbeda. Sahabat saya ini bertemu dengan seorang lelaki yang begitu menginginkan dia, sayang padanya, dan yah, pada akhirnya sahabat saya pun sayang padanya. Sayang mungkin, bukan jatuh cinta. Saya tau dari matanya yang semacam dapet tiket jalan-jalan ke Ladakh 20 hari gratis, alias bahagia luar biasa.

Tapi tatapan mata itu tak selamanya begitu. Ada momen sampai akhirnya, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan kejadian demi kejadian, sahabat saya berubah. Ya, dia masih sepintar dan semenarik dulu, tentu. Tapi banyak hal terjadi dalam kehidupannya dan sang pacar -sekarang mereka sudah suami-istri- yang membuat binar bahagia yang dulu ada, sekarang entah di mana.

Ya, memang masih ada kalanya dia tertawa dan sinting seperti biasanya. Dengan banyolannya yang kadang "bok-plis-deh-kejiwaanmu-lho" itu. Dengan ide gilanya dalam make up dan pakaian dan kerjaan yang kadang cuma bisa bikin kami sahabat-sahabatnya geleng-geleng kepala. Tapi, tatapan matanya tak lagi seperti dulu.

Ada momen dia menjadi orang yang sangat pemarah dan tegaan, tapi ada kalanya juga dia jadi begitu permisif untuk dilukai. Entahlah, semacam dia diam saja ketika ada orang datang padanya membawa clurit dan bambu runcing *kok malah jadi Tjoet Nyak Dien* dan itu seperti siklus yang berulang. Dia yang marah, terluka, sedih, kecewa, mencoba bangkit, lalu jatuh, bangkit, marah lagi, terluka lagi, sedih lagi, kecewa lagi..

Sampai akhirnya beberapa waktu lalu mendapati dia yang sama sekali tanpa make up, kuyu, mata bengkak bekas menangis semalaman, senyum dipaksain, dan suara menahan emosi saat menceritakan lelaki yang disayanginya. Entah kesabaran apa lagi yang dia punya untuk bertahan dalam siklus itu..

Saya dan kawan-kawan lain cuma pengin sahabat saya itu bahagia. Saya tahu bahagia itu utopis, tapi biar saja. Saya mungkin tau bahagia seperti apa yang dia mau. Dan saya akan berdoa untuk itu. Tuhan, saya mau sahabat saya bahagia, ya..



Comments

  1. DIbaca pada suatu senja ditingkahi tadarusan.. Sendiri di Jakarta.. *brb peluk abang Gojek*
    Bawa aku kemana Bahagia beradaaaa...
    (btw Jalan Kebahagiaan ada di daerah Glodok) :D

    ReplyDelete

Post a Comment