Review Everest: Naik Gunung, Bagi yang Mampu #bukanRukunIslam
Ketika menonton Everest pekan lalu, saya seolah menghayati susah payahnya para pendaki dalam menggapai puncak tertinggi di dunia itu. Wkwkwk. Gimana enggak, kaki saya sedang lempoh alias kram gara-gara cidera usai lari sore harinya. Walhasil, saya menaiki tangga bioskop Hollywood dengan dipapah si pacar, macem nenek-nenek yang udah kesusahan jalan *cry*
Pun saat menonton, kaki saya sempat nyeri banget dan enggak mau digerakin lurus. Duuuh untung banget deh bioskop gelap jadi pada enggak tau kalo saya meringis kesakitan
Seperti trailernya, Everest mempesona. Enggak mengecewakan dari apa yang saya bayangkan. Dari segi sinematografi ciamik banget lah. Kita diajak turut mendaki Everest, tegang, dan bahkan kedinginan akut (entah deh tapi saya bener-bener merasa sedang ada di sana dan diterpa badai *maklum makhluk visual*). Soal akting, abaikan lah kali ini.
Yang membuat saya -juga penonton lain pastinya- terkesan sekali adalah bagaimana film yang diangkat dari kisah nyata ini seolah TIDAK mengajak kita mendaki secara emosional maupun sekadar mengagumi keanggunan Everest. Melainkan jadi lebih bijaksana dan rendah hati dalam memperlakukan alam, atau lebih spesifiknya lagi, gunung.
Scott Fischer |
Kendati meninggal dalam pendakian yang sama, bisa dibilang cara mereka meninggal berbeda-beda. Rob meninggal karena "terjebak" di dekat puncak Everest. Tak ada yang bisa (dan mau) menolong Rob ketika itu, karena cuaca sedang amat buruk. Padahal, ini yang tragis, Rob terjebak di sana lantaran menolong Doug memenuhi hasratnya menyentuh puncak Everest.
Tragisnya lagi, pendaki yang menolong Rob juga meninggal karena hipotermia dan akhirnya tergelincir. Ada juga Scott yang meninggal karena kelelahan akut. Adapun Yasuko meninggal lantaran kedinginan dan membeku, sementara bekal oksigen sudah habis. Ah, sedih pokoknya :((
Adalah dua pendaki selamat, yakni Jon Krakauer yang mengisahkan ulang perjalanannya dalam buku Into Thin Air, dan Anatoli Boukreev lewat The Climb. Dua pendaki itu tentu punya versi masing-masing yang tertuang di buku mereka. Namun oleh dua sutradara, kedua buku itu sama-sama dijadikan referensi, kok.
Saya tak hendak membandingkannya dengan film 5 cm *ya keles* karena jomplang. Tapi dengan pengalaman saya sendiri (lebih jomplang lagi, ye.. Hakhak). Saya baru sekali mendaki gunung, yakni pada 2013 lalu. Rombongan ke Gunung Gede ketika itu adalah saya, si pacar, Alfiyah, Mpri, Mas Amir yang bukan bapak saya, Dika, dan Angga.
Alasan saya naik gunung adalah karena penasaran. Iya itu saja sudah gimana gitu alasannya. Sedangkan si pacar entah gimana malah "kabur" dari acara kantor di Kepulauan Seribu dan ikut ke Gede. Ya udah lah ya, saya sih belakangan malah bersyukur doi ikut karena pada akhirnya saya amat sangat merepotkannya sekali *bodo amat boros diksi*
Naik gunung itu teman, percayalah, sama sekali tidak mudah. Sungguh. Jangan berangkat mendaki dengan asumsi bahwa kita akan pergi piknik dan lihat pemandangan indah di kanan-kiri. No. Jangan pula berangkat dengan harapan tinggi bahwa semua dan alam akan berkonspirasi membantumu mencapai puncak.
Buat yang belum pernah dan ingin naik gunung, ini saran saya. Lebih baik kita berangkat dengan kerendahhatian, dan saya akui, saya sedikit (ah mungkin juga banyak) sombong ketika itu. Persiapkan fisik dan mentalmu sebaik mungkin, pun kendati gunung yang kita daki tak setinggi Everest.
Kenapa saya bilang gini, karena kaki saya kram di gunung. Ya, dan itu membuat saya kesulitan jalan, yang ujung-ujungnya membuat waktu pendakian jadi molor. Saya sudah setengah mati berusaha tetap berjalan, mengabaikan nyeri yang luar biasa menyiksanya, karena emoh makin merepotkan teman serombongan yang sudah begitu baik hati dan sabar membantu saya. Tapi nyatanya, yah, saya tetap merepotkan semuanya. Semuanya.
Gunung Gede |
Seperti dibilang Anatoli, pada akhirnya gununglah yang akan menang. Itu betul, karena di gunung, kita akan menjadi bukan siapa-siapa. Kita hanya seupil pendatang yang kadang tidak tahu diri menghormati si tuan rumah..
Everest, lewat adegan-adegannya yang mencekat saking tegangnya, bisa membuat kita belajar banyak. Tidak semata soal kebijaksanaan dalam pendakian gunung, tapi juga mengajarkan kita agar mengukur kemampuan, dan (ada kalanya) tidak memaksakan ego kita untuk mencapai hal yang sekiranya memberatkan.
Seperti halnya saya yang sore pekan lalu memaksa lari minimal 11 putaran lapangan sepak bola seperti sebelumnya. Di tengah lari putaran ke-8, kaki saya cidera dan salah gerak. Tapi saya memaksakan diri lari, lari, dan lari, yang akhirnya, malah membuat cideranya tambah berat. Padahal coba, kalau saya enggak menuruti ego, mungkin cidera kaki tak akan separah itu.
Tapi ya begitu lah, kadang memang kita penginnya berusaha dan berjuang sampai akhir. Sampai akhirnya tenaga kita habis, dan kita tak sanggup lagi berlari, walau kita masih bisa tersenyum. Seperti halnya para pendaki Everest tersebut. Karena paling tidak, kita puas karena sudah berusaha sekuat mungkin. Dan apapun hasilnya, kita tau itu adalah hasil optimal dari apa yang sudah kita perjuangkan sampai akhir.
Termasuk soal cinta? Iya mungkin (Semoga seorang teman tau yang saya maksud). Semangat!!
muka Pak Dika.. Masya Allah... wkwkwk |
11 puteran?*%$ lagi diet biar kebayanya pas ya kakaaak.... -___-'
ReplyDeleteiiih kamu hahahaha... kapan yuk beb berenang sama Nopih. Di tempat yang banyak bulenya aja, siapa tau ada yang nyangkut sama si Kitink wakakaka
Delete