Review Film Posesif: Kebenaran yang Memaksa Kita Bercermin
Sudah lama saya tidak mereview film. Tapi demi Posesif, saya rela
menyempatkan waktu. Halah. Wkwk. Kan aku emak sibuk ngono, lhooo..
Bahwa banyak film Indonesia bagus tahun ini, iya. Tapi seperti yang pernah
saya cuit di Twitter, Posesif beda. Film ini membuat kita merefeksikan kembali
sebuah hubungan, diri kita, kepatutan sikap pasangan pada kita, serta –yang sebal
adalah- membuat ingat masa lalu.
Tak semua masa lalu enak diingat, apalagi ketika itu kemudian merongrong
terus setiap kita bangun dan hendak tidur. Karenanya saya bilang ke sejumlah
kawan, jangan tonton Posesif ketika kamu sedang banyak pikiran. Tunggulah nanti
ketika pikiranmu tenang, dan punya ruang untuk bicara pada diri sendiri. Ya karena
istilah kontemplasi selalu terasa berat buat saya haha.
Ah apakah filmnya semenakutkan itu? Buat saya iya. Siapa yang tidak
takut berhadapan dengan pasangan yang begitu dominan, bahkan sampai suka
menyiksa kita dengan lisan dan fisik? Siapa yang tidak takut gagal untuk bisa
menyenangkan orang tua, dan merasa tak sebegitu membanggakannya sebagai seorang
anak? Siapa yang tidak takut membayangkan anak kita menjadi submisif lantaran
memacari orang “sakit” namun sangat dicintainya?
Dan siapa yang tidak takut mendapati kemungkinan, bahwa sebenarnya, kita
adalah penjahat bagi orang-orang yang kita sayangi?
Posesif berkisah tentang sepasang kekasih Yudhis dan Lala yang satu SMA.
Yudhis yang anak baru, kecantol pada Lala si atlet loncat indah. Kehidupan Lala
yang semula teratur –dan mulus-mulus aja, mendadak seperti roller coaster. Ada masanya Lala amat bahagia karena memang Yudhis
mau melakukan semua hal buatnya. Tapi ada waktunya pula Lala dibuat ngeri.
Yudhis, bawa-bawa rasa sayang dan pengorbanan, minta Lala mengatur ulang
hidup dan cita-citanya demi dia. Tak hanya karir atlet yang kemudian Lala
korbankan, tetapi juga hubungannya dengan sang bapak. Bahkan Yudhis juga sampai
nekat melakukan banyak hal gila saking takutnya kehilangan Lala. Namun Lala tak bisa berbuat apa-apa, di bawah hegemoni Yudhis yang tersamar cinta. Yaah
entah cinta atau posesif, yang terang Yudhis mau Lala ikuti kemauannya.
Bahwa film ini creepy tanpa
kemuculan satu hantu pun, itu di luar prediksi saya. Posesif, lewat tokoh Lala
dan Yudhis, bisa membangun kesan itu. Sungguh ya, orang kayak Yudhis itu
beneran ada. Hahahaha.. dan seringnya justru mereka tidak sadar bahwa hal-hal
yang mereka lakukan itu bukan bentuk sayang. Tapi malah secara perlahan
membunuh jiwa si pasangan.
Salah satu adegan yang mencekat adalah saat Lala memutuskan tetap mau
kuliah di kampus impiannya. Yudhis yang marah mengetahui hal itu, lantas melakukan
kekerasan fisik dan melecehkan Lala secara lisan. Dia menyerang Lala dengan
pertanyaan (yang lebih mirip tuduhan) soal “itu cewek udah pernah dipakai
berapa orang”. Damn, saya nangis aja gitu pas adegan ini hahaha.. Sial bener. Yang
sebal justru malah ada lho penonton di bioskop yang ketawa. Muke looooooo
Film ini entah apa cacatnya. Saya mah menikmati semuanya. Skenarionya,
penata rias, setting tempat, dan tentu saja akting para aktornya, terutama
pemeran Lala dan bapak. Saya sayang kalian berdua!
Untung saja ending cerita film ini sesuai dengan harapan saya. Hahaha.. Paling
tidak, itu menjadi pengingat, buat kita yang sudah telanjur tua. Juga buat
dedek-dedek gemes yang menyerahkan diri dan hidupnya untuk pasangan atas nama
cinta. Dek, plis ya. Hidupi dirimu sendiri, cita-citamu, dan jangan biarkan
siapapun merusak bangunan itu walau orang itu ngaku pacarmu.
Karena kita enggak pernah tahu, sampai kapan orang itu ada di sisi kita.
Dan bisa jadi kita tak tahu, apa sesungguhnya dia betul menyayangi kita,
ataukah sekadar menjadikan kita sebagai salah
satu sekrup mimpinya. Yang bisa dia lepas kapan saja.
Awalnya sempat skeptis waktu nonton film ini di bioskop. Tapi ternyata film bagus wkwk
ReplyDelete