Review Love for Sale: Kesendirian yang Bisa Membunuh



Stigma “jomblo merana” emoh diakui Richard, pria Ibukota yang hidup sendiri di usia 41 tahun. Maka alih-alih menertawakan kejombloannya, ia memilih untuk mengelabui kenyataan. Di hadapan geng cowonya yang superkurang ajar tapi menyenangkan itu, Richard mengaku sudah punya pacar, tapi tak ia pamerkan. Richard juga menolak terlihat nelangsa di media sosial. Ia jarang galau, dan malah kerap mencuit puitis di Twitter.

Haha, ini ironis. Sebab di rumahnya di Jakarta Pusat, Richard yang pengusaha percetakan ini kerap menghabiskan waktunya sendiri. Sebetulnya berdua bila kita menghitung kura-kura daratnya nan gembul, Kelun. Dengan Kelunlah Richard biasa sarapan bareng, nonton sepak bola di tivi, sampai akhirnya ketiduran di sofa.

Menjadi petaka saat seorang kawan Richard kawin. Ia jadi objek taruhan dan dipaksa membawa pacarnya ke pesta kawinan. Richard yang sok-sokan selo, nyatanya kalang-kabut juga. Ia mengontak beberapa kawan sekolahnya, tapi jarang ada yang jomblo.


Ini semacam perwujudan tuntutan masyarakat selama ini. Usia segini lo harus lulus kuliah. Trus kerja. Trus kawin. Trus beranak. Trus beranak lagi. Padahal, flowers don’t grow at the same speed, kan. Kita punya momen sendiri kapan mau kawin. Atau pun memutuskan enggak kawin. Sayangnya orang lebih sering riweh ketimbang kitanya sendiri.

Oke lanjut. Sebuah kebetulan membawa Richard ke aplikasi Love.Inc. Di aplikasi jasa cinta online itu, Richard tak hanya bisa menyewa jasa perempuan untuk dibawa ke kondangan. Tapi juga bisa memilih tampang perempuan sesuai seleranya. Lumayan lah ya, ketimbang mesti berurusan sama perasaan orang ahahaha *Vitri kumat

Di sinilah konflik bermula. Richard bertemu dengan Arini, perempuan Jawa Timur supermanis yang loveable, selera kebanyakan cowo banget. Cakep, seksi, seru, lembut, suka sepak bola, enggak drama, jago masak, dan pintar. Tak heran kalau Richard akhirnya jatuh cinta juga.

Yang menarik, ada perubahan emosi dalam diri Richard setelah dia mulai membuka hati buat Arini. Ia menjadi sosok yang hangat, menyenangkan, dan tak mudah ngamuk ke pegawainya. Richard yang dulunya hanya mengerti urusan kerjaan, kini mulai ngeblend dengan bawahannya. Dan ada perubahan Richard dari yang semula menganggap Jakarta Selatan itu jauh –yowlo gemes gak sih- menjadi doyan eksplorasi tempat.

Maka betul, cinta bisa mengubah seseorang. For good, and bad. Saya yang semula kesal pada sosok Richard pun perlahan mulai simpati, dan bersorak atas perubahan positifnya. Padahal asli, sebelumnya saya sebal melihat Richard jomblo yang meneguhkan stigma bahwa orang yang tak punya pasangan itu kejam dan jutek. Richard semacam monster sensitif yang enggak rela melihat orang lain bahagia.


Tapi saat saya tengah terlena, Richard harus dihadapkan fakta. Arini pergi. Masa kontraknya habis. NAH LO. Jadi ingat ye kan kalau Jeng Arini yang supersempurna ini ada masa berlakunya juga. Kayak paket internet provider. Pas habis ya bye. Sayangnya, Richard tidak bisa “isi ulang”. Aplikasi Love.Inc ternyata ikut hilang bersama Arini. Duh..

Hati saya ikut mencelos setelah Jeng Arini pergi. Ih mbaknya kamu ke manaa… Mbok ya siapin tulisan di kertas gitu kayak di sinetron-sinetron, sebelum pergi. Tapi ya, Love for Sale memilih tidak seperti itu. Tentunya. Film ini sejak awal sudah bilang ke kita, kalau emoh bergelut dengan drama bak sinetron Anugerah Cinta.

Kita pun dibawa meratapi (lagi) kesendirian Richard, yang kembali harus kelon dengan Kelun saja. Kita juga diajak merenungi kosongnya hati Richard, yang semula “penuh” oleh Arini. Ini secara simbolik juga mewujud pada scene-scene ruang rumah Richard yang dulunya riuh tawa Arini, tapi kini sepi.

Asli saya menangis di ujung film. Tapi bukan pada kepergian Arini yang begitu misterius dan pengin bikin bilang “Mbak, kamu jahat!”. Melainkan karena kepergian Arini menyisakan Richard yang baru. Yang berpikir positif, baik pada banyak orang (adegan Richard kasih barang-barang ke pegawainya itu bikin saya mbrebes mili sumpaaah), dan memutuskan untuk melihat dunia yang lebih luas.

Akting Gading Martin beneran bagus banget di sini. Saya sama sekali enggak demen dia, buka IG nya pun hanya buat lihat Gempita, anaknya nan semanis lemon tea. Tapi film ini menunjukkan Gading ternyata aktor yang keren, dan mungkin pantas buat peran yang mendalam lagi. Walau yaaa agak gimana juga mesti lihat Gading cuma pakai singlet n celana dalam, belahan bokongnya kelihatan, dan anunya nyembul. Ya wis lah ya, mungkin segitu jorsenya si Richard ini haha.

Chemistrynya dengan pemeran Arini (Della Dartyan), juga dapet banget. Suka deh dengan kemampuan sutradara Andibachtiar Yusuf buat ngompakin keduanya. In the end, saya juga berterima kasih ke Andi karena bisa bikin film yang temponya pas. Baik itu ketika lambat banget (kayak hidupnya Richard yang so boring), cepat dan menyenangkan (saat Arini masuk), dan kembali lambat (ketika Arini pergi).


Film yang punya banyak kemiripan dengan Her ini juga tak seperti drama cinta kebanyakan. Ada menye-menyenya, tapi wajar. Love for Sale mengajari kita juga akan banyak hal. Banyaaaak sekali. Tapi tanpa menggurui.

Bahwa saat mencintai, kita memang mesti mengambil risiko. Jika pun nantinya kita jatuh, dan tidak mendapat hasil sesuai harapan, tak apa-apa. Kitalah yang mesti ikhlas, menerima bahwa orang yang kita sayangi bisa pergi kapan saja.

Toh cinta mungkin ada di tempat yang kadang tidak kita “lihat”. Di teman-teman kerja, para sahabat, keluarga, panti jompo, atau bahkan di hewan peliharaan kita. Bukan hanya romansa, berguling-guling manja di bawah bed cover saat subuh tiba.  

Comments