Kim Ji Young, Patriarki, dan Feminisme di Drama Korea

foto diambil dari IDN Times

Apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan lajang usia 30-an, yang seperti kebanyakan lainnya, akan menikah, melahirkan, dan seperti yang sudah-sudah, terperosok dalam rutinitas domestiknya? Itu yang dibilang bos perempuan, saat Kim Ji Young (diperankan Jung Yu Mi) bertanya mengapa bukan dia yang dipilih masuk ke kelompok perencanaan kota. Sebab, katanya, JI Young adalah seorang perempuan. Karena si bos tahu pada akhirnya Ji Young, sebrilian apapun, tak bakal bisa berfokus pada karirnya setelah berkeluarga.

Karakter bos perempuan dalam film Kim Ji Young, Born 1982 itu mungkin tak asing buat kita. Apalagi kemudian ia berkata, bahwa sebagai perempuan, ia sudah mengorbankan anak dan keluarganya demi bisa ada di jenjang karir yang sekarang. Bos perempuan itu hebat dan maskulin, superior di rapat-rapat kantornya yang berisi kumpulan lelaki nan seksis, tapi di satu sisi ia masih merasa bersalah. Merasa bahwa bagi perempuan, urusan karir adalah transaksional. Ada harga kultural yang harus kita bayar bila ingin habis-habisan di sektor kerja komersil. Tentu, di ruang domestik sulit untuk menyebut menyapu, mengepel, dan lainnya itu adalah kerja walau sama-sama berpeluh dan membikin stres. Karena semua itu gratisan. Atas nama pengorbanan dan ketulusan yang entah apakah ada sirat kesadaran palsu di dalamnya.

Film Kim Ji Young, Born 1982, diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis Cho Nam Joo dan terbit 2016. Setelah terbit, novel ini ditonjok habis-habisan oleh sebagian warga Korea Selatan karena jalan ceritanya yang sarat isu feminisme, hal yang dianggap tabu di negara itu. Rencananya novel ini akan terbit juga di Indonesia dan sekarang sedang masuk proses penerjemahan oleh Gramedia. Menulis novel itu disebut Cho tak menyulitkannya karena ia yang mantan penulis naskah di salah satu stasiun televisi Korea Selatan, merasa hidup Ji Young tak jauh beda darinya.

Sedikit Kim Ji Young juga mirip saya. Sedikit lainnya mungkin mirip kalian para Ibu: baik yang memikul beban ganda di rumah dan di kantor, ibu rumah tangga, maupun yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk kerjaan ketimbang urusan privat. Kita berbagi kesedihan yang sama. Kita ada dalam ruang yang sama dengan Kim Ji Young saat bersinggungan dengan patriarki. Walau, ini tak untuk dibanggakan, kondisi di Korea Selatan tampaknya jauh lebih menyedihkan ketimbang di Indonesia. Di Korea Selatan, misalnya, pekerja perempuan hanya mendapat gaji 63 persen dari yang diterima pekerja lelaki untuk posisi yang sama. The Economist pun menyebut Korea Selatan sebagai negara maju dengan peringkat terburuk dalam hal perlakuan ke pekerja perempuannya.


Kim Ji Young, Born 1982, adalah film subversif yang memakai pendekatan kilas balik yang membuat kita membuntuti Ji Young, ibu dari satu balita, sejak ia belia. Kamera mengikuti Ji Young sangat dekat, bahkan mungkin tak sampai 10 sentimeter. Membuat kita mendengar napas Ji Young yang lelah dengan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, bersirobok dengan tatapan matanya yang ruyup, tubuhnya yang tak henti bergerak menyusuri ruang-ruang rumahnya: teras untuk menjemur pakaian, dapur, ruang keluarga tempatnya melipat pakaian. Dan jika pun Ji Young keluar dari rumahnya, itu untuk menjemput anaknya di tempat penitipan, atau berkunjung ke rumah mertuanya. Yang sedihnya, di sana pun, ia kembali bersamuh dengan tugas-tugas domestik seperti mencuci piring dan memasak. Adegan-adegan yang “Asia banget” sehingga membuat Kim Ji Young, Born 1982 lebih dekat dengan kita dibanding Tully (2018), film soal depresi ibu rumah tangga yang dibintangi Charlize Theron.

Nah, banyak orang menganggap Ji Young beruntung karena bersuamikan Jung Dae Hyun, lelaki yang menyadari ada yang tak beres dari istrinya. Bisa dibilang, lelaki yang paham ketimpangan relasi gender, langka di dunia apalagi di Indonesia dan Korea. Karenanya sosok Dae Hyun pada awalnya ibarat utopia. Ia tak hanya ganteng (wahai para perempuan dan lelaki, bersiaplah terperangah melihat keseksian Gong Yoo di sini). Namun juga berinisiatif mendatangi psikiater karena mencemaskan istrinya mengalami depresi post-partum. Ji Young, setiap di puncak kelelahannya, berubah menjadi figur lain yang (diam-diam) ia rekam gesturnya. Ia kadang menjadi ibunya, kadang juga menjadi neneknya, yang keduanya, juga mengalami represi berbasis gender dalam bentuk yang berbeda.

Apa itu depresi post-partum? Sejumlah literatur menyebut sindrom ini kadang dialami oleh ibu pascamelahirkan. Gejalanya, sebagian di antaranya, pernah saya alami. Walau entah apakah saya betul-betul mengalami depresi itu karena tak memverifikasinya langsung ke psikiater (seperti Ji Young, saya juga sempat keder pada tarif berobat jiwa ini). Yakni merasa cepat lelah, mudah tersinggung dan marah, sering menangis dan gelisah tanpa alasan, suasana hati jungkir balik, susah tidur, malas bersosialisasi (ah ini sejak dulu sih), putus asa, dan ini puncaknya, terpikir untuk bunuh diri. Kalau tak salah, Ji Young bilang pada psikiaternya. “Kadang datang pada saya, perasaan semacam terperangkap...”

Terperangkap. Mungkin itu diksi yang samar tapi tepat untuk menggambarkan kondisi sebagian ibu rumah tangga. Sosok Dae Hyun boleh saja merepresentasikan lelaki feminis yang mau turun tangan mencuci piring dan memandikan anak. Tapi lihatlah, ia sesungguhnya sempat teramat sulit lepas dari belenggu patriarki. Dae Hyun tetap merasa dilematis ketika berhadapan dengan kemungkinan istrinya bekerja di kantor sementara ia menjadi bapak rumah tangga. Ia adalah bagian dari sistem yang begitu erat mencengkeram kita. Hukuman untuk lelaki feminis pun berat: karirnya biasanya melambat bila ia mengambil cuti melahirkan.


Kondisi-kondisi itu yang membuat para feminis di Negeri Ginseng makin lantang bersuara. Seperti yang dilakukan Cho Nam Joo lewat novel, tetapi juga lewat drama korea (drakor), yang bisa dibilang salah satu produk andalan industri hiburan Korea Selatan. Selama ini drakor lekat dengan stereotip yang mengesalkan: tontonan cewek-cewek melankolis, ceritanya menye-menye dan klise, pun aktor serta aktrisnya, hanya berisi mereka yang modal tampang plastik hasil operasi dan tak bisa berakting. Padahal tak semua begitu. Sama halnya kita tak bisa memukul rata bahwa semua film horor Indonesia jelek dan memuakkan.

Setelah hiatus sepuluh tahun, saya tahun ini mulai menonton lagi drama korea. Beberapa judul tak bisa dipungkiri masih melanggengkan stereotip di atas, tapi ternyata banyak juga ternyata yang membawa misi feminisme. Memang tak serta-merta drakor dengan tokoh-tokoh cisbiner itu kencang melawan patriarki. Tetapi jika kita perhatikan, apa yang tersaji sekarang sudah jauh lebih maju ketimbang sedekade lalu. Resep lelaki tampan dan perempuan cakep tentu masih dipakai. Cuma tengoklah judul-judul ini: Second 20’s, Search: WWW, dan Because This Is My First Life.

Cerita Second 20’s (2015) yang sepanjang 16 episode mungkin akrab dengan kita. Tetap relevan walau sudah dirilis empat tahun lalu karena ide ceritanya yang kuat dan di dunia nyata masih terjadi hingga kini. Syahdan Ha No Ra, perempuan 38 tahun, memutuskan kuliah setelah sang suami ingin menceraikannya karena merasa tak selevel intelektual dengannya. Sementara sang suami adalah calon profesor di sebuah kampus, Ha No Ra adalah ibu rumah tangga yang waktunya habis untuk mengurus rumah dan putranya. Yang membikin darah mendidih, Ha No Ra dulunya tak kuliah karena dia menikah umur 19, selulusnya SMA. Eh kok setelah itu si suami minta bercerai dengan alasan intelektualitas. Mana ternyata si suami berselingkuh dengan sesama dosen! Kan brengsek.

Second 20s
Drakor ini menarik karena subtil mengkritisi keputusan perempuan untuk berada di ruang domestik alih-alih kuliah atau bekerja. Ha No Ra remaja digambarkan mengempiskan hasratnya untuk berkarir dan menjadi penari, karena ia mengalah pada suaminya, Kim Woo Chul. Ia tunduk pada pembagian peran yang digariskan sang suami ketika menikah: sementara Woo Chul sekolah setinggi-tingginya, Ha No Ra tak pernah punya kesempatan yang sama. Ia terjerembab pada rutinitas ibu rumah tangga, dan selama bertahun-tahun nrimo karena merasa itulah tugas dan kewajibannya. Ketika pada akhirnya kuliah di usia 38 tahun, Ha No Ra menyadari bahwa sebelumnya ia berada dalam bentuk hubungan yang salah dengan suaminya. Ia lalu memilih untuk melawan penindasan yang bertahun-tahun menderanya, dan bercerai dari suaminya yang bajingan. Ha No Ra, menjelang 40 tahun, merdeka dan menjadi dirinya sendiri.

Sementara dalam Because This Is My First Life (2017), ada kalimat Yoon Ji Ho (tokoh utama) di episode 1 yang bikin saya langsung yakin ini bukan drakor biasa: “Di usia 9 tahun aku mempelajari bahwa sebelum meniup lilin kita harus membuat keinginan dulu. Namun, di rumah patriarkal kami, seorang anak perempuan tidak akan punya kesempatan untuk membuat keinginan.” Warga Korea Selatan, di tengah pelukan kemajuan zaman dan modernitas, tetaplah menganggap anak lelaki sebagai simbol harapan dan keberuntungan. Mau sehebat dan sepintar apapun anak perempuan, seperti halnya Ji Ho, ia baru dianggap berharga jika sudah menikah, dan melahirkan anak yang sukur-sukur lelaki.

Drakor ini menyajikan problematika ketimpangan gender secara beragam. Ada Ji Ho yang mandiri tapi langkahnya terantuk keluarganya yang konservatif. Ada juga Ho Rang, sahabat Ji Ho, yang cita-citanya sejak kecil seperti Shizuka-nya Nobita: menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Ada juga Woo Soo Ji, perempuan fierce and fearless yang ogah menikah. Selama kebutuhan seksnya bisa terpenuhi, untuk apa kawin? Itu menurut Soo Ji yang sehari-hari menjadi objek pelecehan seksual di kantornya. Gurauan-gurauan cabul yang sama sekali tak lucu itu awalnya ditelan Soo Ji dengan pahit, sampai akhirnya ia eneg dan memuntahkan amukan ke para perundung.

Search: WWW
Yang paling baru adalah Search: WWW. Awalnya saya nonton ini karena tokoh lelakinya kinyis-kinyis. Tapi ternyata latar ceritanya sedikit mirip dengan kerjaan saya, karena mengambil setting di dua portal mesin pencari: Barro dan Unicon. Yang menarik, tiga tokoh utamanya adalah perempuan perkasa yang sangat superior. Salah satunya Bae Ta Mi yang mendedikasikan hidupnya untuk kata kunci di internet dan ambisinya menjadikan Barro sebagai portal terbesar di Korea Selatan. Tokoh ini menarik karena merepresentasikan sosok perempuan kota besar masa kini yang malas berkomitmen. Dialog-dialog di drakor ini banyak mengutip isu feminisme. Termasuk ketika Ta Mi memilih nyaman dengan status single-nya dan larut berkarir. Si Bae Ta Mi ini mah kalau di Indonesia, sudah kena ghibah tetangga dan teman kantor.

Mungkin masih ada drakor lain yang juga mengusung isu feminisme, dengan jalan cerita tak kalah menariknya dari judul di atas. Pastinya menonton drama-drama itu membuat kegelisahan kita bertambah. Sekaligus berharap suatu ketika sutradara Indonesia membuat produk profeminisme yang tak kalah mengusiknya.

Comments

Popular Posts