Percaya pada Orang Gila
Siang tadi saya mendapat cerita menarik dari Jayadi, teman saya di Tempo. Jadi besok Mas Jay akan pulang ke Garut untuk melamar Tina, calon istrinya. Naluri ke-kepo-an saya kemudian membuat saya tanya-tanya ke ke Mas Jay, sudah berapa lama mereka pacaran, dan di mana keduanya berkenalan.
Jawaban Mas Jay membuat saya nyaris jatuh pingsan. Ternyata Mas Jay baru bertemu kembali dengan Tina (kawan SMA-nya dulu) Februari tahun ini. Dan pada Maret, tanpa tedheng aling-aling Mas Jay minta Tina bilang ke ayahnya bahwa Mas Jay akan datang melamar. Ya Tuhanku.. itu mah kisah cinta kilat ala selebritis Hollywood yang begitu mudahnya memutuskan menikah meski baru kenal seminggu.
Pertanyaan yang langsung sliweran di kepala saya adalah, “Kok Tina mau aja sih kawin sama orang gila kayak kamu, Mas? Kalau saya ada di posisi Tina, saya pasti mikirnya Mas Jay lagi kesurupan dan disuruh sama roh di dalam tubuh untuk ngelamar siapa pun yang kebetulan ada di dekatnya.”
Bukannya marah, Mas Jay malah membenarkan pertanyaan saya. Dia mengaku juga bingung kenapa Tina mau menerima lamarannya itu (tuh kan.. kayaknya pas ngelamar itu Mas Jay bener lagi kesurupan deh...).
Saya jadi ingat film-film romantis macam You’ve Got Mail, Sleepless In Seattle, While You Were Sleeping, etc, yang tokoh ceweknya juga dengan mudahnya menerima lamaran cowok yang baru dikenal. Jadi sebenarnya wajar nggak sih mengambil keputusan soal pernikahan secepat itu?
Selesai ngobrol dengan Jayadi, saya mulai telepon-telepon narsum sesuai arahan bos di kantor. Mulai lah itu para polisi Bima, Nusa Tenggara Barat, saya telponin. Lalu Nudirman Munir, dan pengacara Prita Mulyasari, Pak Slamet, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, EE Mangindaan. Nggak semua narsum yang tertera di atas mudah ditelepon. Beberapa di antaranya bahkan sama sekali nggak menjawab SMS saya.
Saya mulanya kesal. Kesabaran saya benar-benar diuji karena para narasumber itu bahkan sampai mematikan teleponnya hanya karena nggak mau diwawancara. Tapi saya jadi kepikiran, seandainya jadi mereka, apakah saya akan mau menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal? Apa susahnya sih SMS atau telepon mengaku dari Koran Tempo?
Kalau diingat-ingat, narsum yang sukar ditelepon itu bahkan mungkin suka SMS duluan ke teman-teman saya. Mungkin itu karena faktor kedekatan, dan sudah lama kenal. Bukankah tak kenal maka tak sayang?
Mungkin kalau saya mau sedikit berusaha, saya bisa belajar untuk mendekati narasumber yang susah ditelepon itu. Dengan begitu suatu saat setelah mengenal saya, dia akan mulai terbuka dan mau saya telepon kapan pun. Serta tak lagi curiga saya orang gila dan maniak yang iseng telepon pejabat.
Sebuah kepercayaan, saya yakin, memang butuh proses. Sangat naif kalau kita begitu mudah menaruh percaya pada seseorang atau sesuatu, jika kita belum mengenalnya dengan baik. Namun pendapat saya bisa saja salah. Karena di mana pun, perkecualian selalu ada. Lihatlah Tina, yang meniadakan semua curiga dan menerima Jayadi berdasar kata hatinya...
Jawaban Mas Jay membuat saya nyaris jatuh pingsan. Ternyata Mas Jay baru bertemu kembali dengan Tina (kawan SMA-nya dulu) Februari tahun ini. Dan pada Maret, tanpa tedheng aling-aling Mas Jay minta Tina bilang ke ayahnya bahwa Mas Jay akan datang melamar. Ya Tuhanku.. itu mah kisah cinta kilat ala selebritis Hollywood yang begitu mudahnya memutuskan menikah meski baru kenal seminggu.
Pertanyaan yang langsung sliweran di kepala saya adalah, “Kok Tina mau aja sih kawin sama orang gila kayak kamu, Mas? Kalau saya ada di posisi Tina, saya pasti mikirnya Mas Jay lagi kesurupan dan disuruh sama roh di dalam tubuh untuk ngelamar siapa pun yang kebetulan ada di dekatnya.”
Bukannya marah, Mas Jay malah membenarkan pertanyaan saya. Dia mengaku juga bingung kenapa Tina mau menerima lamarannya itu (tuh kan.. kayaknya pas ngelamar itu Mas Jay bener lagi kesurupan deh...).
Saya jadi ingat film-film romantis macam You’ve Got Mail, Sleepless In Seattle, While You Were Sleeping, etc, yang tokoh ceweknya juga dengan mudahnya menerima lamaran cowok yang baru dikenal. Jadi sebenarnya wajar nggak sih mengambil keputusan soal pernikahan secepat itu?
Selesai ngobrol dengan Jayadi, saya mulai telepon-telepon narsum sesuai arahan bos di kantor. Mulai lah itu para polisi Bima, Nusa Tenggara Barat, saya telponin. Lalu Nudirman Munir, dan pengacara Prita Mulyasari, Pak Slamet, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, EE Mangindaan. Nggak semua narsum yang tertera di atas mudah ditelepon. Beberapa di antaranya bahkan sama sekali nggak menjawab SMS saya.
Saya mulanya kesal. Kesabaran saya benar-benar diuji karena para narasumber itu bahkan sampai mematikan teleponnya hanya karena nggak mau diwawancara. Tapi saya jadi kepikiran, seandainya jadi mereka, apakah saya akan mau menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal? Apa susahnya sih SMS atau telepon mengaku dari Koran Tempo?
Kalau diingat-ingat, narsum yang sukar ditelepon itu bahkan mungkin suka SMS duluan ke teman-teman saya. Mungkin itu karena faktor kedekatan, dan sudah lama kenal. Bukankah tak kenal maka tak sayang?
Mungkin kalau saya mau sedikit berusaha, saya bisa belajar untuk mendekati narasumber yang susah ditelepon itu. Dengan begitu suatu saat setelah mengenal saya, dia akan mulai terbuka dan mau saya telepon kapan pun. Serta tak lagi curiga saya orang gila dan maniak yang iseng telepon pejabat.
Sebuah kepercayaan, saya yakin, memang butuh proses. Sangat naif kalau kita begitu mudah menaruh percaya pada seseorang atau sesuatu, jika kita belum mengenalnya dengan baik. Namun pendapat saya bisa saja salah. Karena di mana pun, perkecualian selalu ada. Lihatlah Tina, yang meniadakan semua curiga dan menerima Jayadi berdasar kata hatinya...
Comments
Post a Comment