Koruptor dan Efek Psikologis Rakyat

Gubernur Syamsul Arifin - korupsi 8,9 miliar tapi cuma dihukum 2,5 tahun

Entah apa yang ada di benak para koruptor itu kala mendapat kebebasannya. Karena yang ada di benak tiap rakyat tentu sama. Kecewa. Dan kekecewaan itu terlampau pahit dan hampir selalu terbendung oleh tembok-tembok peraturan dan pemisahan kelas antara yang berkuasa dan yang dikuasai, serta antara yang menindas dan yang tertindas.

Tak ada yang dapat diperbuat rakyat selain derita psikis yang terus menerus. Bagaimana tidak, jika harapan rakyat agar para koruptor itu diganjar hukuman yang pantas, hampir selalu dipatahkan oleh vonis bersih dari pengadilan- entah bagaimana sistematika penilaian hukum atas bersih-tidaknya para koruptor itu.

Lagi-lagi, rakyat dibiarkan bertanya-tanya. Ada apa di balik semua kebebasan yang nyata-nyata berulang pada kesalahan yang sama, pada pihak yang sama. Ketika rakyat terus dibiarkan menonton parodi bebasnya koruptor, saat itulah keadilan di negeri kita menjadi penuh selubung. Di mana kedaulatan jika ada kejanggalan-kejanggalan peristiwa yang menyimpang dari kehendak rakyat?

Para koruptor itu juga bukan orang bodoh. Yang tak tahu bahwa perbuatan mereka menyalahi hukum dan merugikan pihak lain berskala besar, yaitu rakyat. Seolah, suka atau tidak suka, rakyat dipaksa untuk menerima bebasnya mereka sebagai salah satu drama kehidupan yang happy ending. Mereka mengondisikan hukum hanya sebagai alat pembayaran, dengan mereka adalah para protagonis yang terjebak keadaan.

Di sinilah terlihat ada ketimpangan dalam keadilan sosial. Di mana lagi terdapat hukum yang adil dan tak memihak? Di manakah rakyat harus mengadu jika nyaris tak  ada tempat untuk memperjuangkan hak dan keadilan yang bisa mereka percayai?

Kemurah-hatian hukum membuktikan itu semua. Bahwa hukum negeri ini tak mampu lagi dihadapkan pada masalah loyalitas dan tanggung jawab moral pada publik. Berbagai kasus yang terjadi seperti hanya numpang lewat. Padahal itu membekas sebagai tekanan psikologis yang amat kuat pada rakyat. Jika dibiarkan terus seperti ini, akan dibawa ke mana segala kesakithatian rakyat?

Pada akhirnya, cepat atau lambat, bangsa ini akan mengalami kejatuhan. Karena tak ada lagi “rakyat yang percaya pada pemerintah” dan “pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab moral pada publik”. Bahayanya, ada pada integritas bangsa. Sebab, sedikit celah akan digunakan rakyat untuk menggulingkan penguasa, akibat letupan-letupan kesenjangan sosial yang makin tak terkendali. Sementara rakyat menginginkan keadilan hukum, para koruptor itu juga masih akan terus berpetak-umpet mencuri uang rakyat sembari menghilangkan jejak.

Walau pemerintah berusaha tampil menenangkan hati rakyat dengan pembentukan KPK, namun itu tak cukup untuk menyembuhkan luka hati rakyat. Karena hingga kini pun, badan itu belum mampu memberikan penyelesaian-penyelesaian yang dinantikan publik. Memang membutuhkan waktu yang tak sesaat. Namun jika terus bekerja dalam diam, tentu akan membuat keresahan publik makin menjadi.

Tetapi memang sulit, meraih kembali kepercayaan rakyat yang telah terkikis, tanpa adanya bukti nyata hukum telah ditegakkan di negeri ini. Bahwa ada jaminan hukum: para koruptor itu akan menerima ganjaran sepahit derita psikologis rakyat.

Comments