Let's "White" and See, hehe
Saya merasa, kulit putih selama ini kerap dianggap membawa nilai-nilai "kebaikan" seperti bersih, suci, indah, layaknya kulit para bangsawan atau priyayi kerajaan.
Anggapan bahwa ras kulit putih lebih segala-galanya dibandingkan yang tidak (atau belum) putih itu, sepengetahuan saya, merupakan turunan ajaran Darwinisme, yang menyebut ras kulit putih adalah ras superior dan identik membawa "gen baik".
Itulah mengapa, yang bukan "putih" mungkin merasa inferior, "kalah", dan merasa diri mereka harus dipurifikasi agar setara atau sederajat dengan mereka yang putih alami.
Ide purifikasi inilah yang menghantui benak banyak masyarakat Indonesia, terutama perempuan. Mengapa perempuan, latar belakangnya tentu masalah identifikasi dan stereotipifikasi bahwa perempuan haruslah memiliki paras yang elok dan tidak boleh berkulit gelap.
Ini bisa dilihat dari banyaknya iklan produk kosmetik pemutih yang menggunakan perempuan sebagai model sekaligus sasaran produk mereka. Perempuan kini diseragamkan untuk menganut ideologi darwinisme, dengan mengedepankan jargon "Lets White and See!"
Jargon ini menekankan penting dan hebatnya memiliki kulit putih. Dengan memiliki kulit putih, maka kesempatan dipercaya akan datang lebih banyak dibandingkan mereka yang berkulit gelap. Maka iklan produk pemutih berujar, "Hai perempuan Indonesia yang berkulit sawo matang! Pakailah produk kami, maka kamu akan percaya diri karena semua perhatian orang akan tertuju padamu!".
Interpelasi atau panggilan inilah yang tiba-tiba menimbulkan ketakutan di benak perempuan Indonesia apabila tidak mengikuti ideologi darwinisme. Ada perasaan minder, inferior, malu, bahkan "kotor", jika kulitnya tampak lebih gelap dibandingkan perempuan berkulit putih.
Banyak perempuan, yang beberapa saya kenal, akhirnya mejadi terobsesi pada ke"putih"an. Menjadi putih adalah menjadi beradab, dan menjadi modern, serta menjadi "kebarat-baratan". Barat menjadi simbol modernitas, lengkap dengan atribut positif yang melekat. Sedangkan Timur diidentifikasi dekat dengan- seperti sebutan Edward Said- orientalisme, yang identik dengan keterbelakangan, jauh dari peradaban, serta primitif.
Internalisasi ide bahwa putih itu baik disebabkan oleh persuasi yang amat gencar dari berbagai produk pemutih, dan diperkuat oleh televisi yang mendewakan dan sering menampilkan aktor ataupun aktris berwajah campuran (indo), sehingga kita pun makin sensitif dengan "keputihan".
Sensitivitas ini tidak terbatas pada karakter-karakter atau hal-hal yang bersifat fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, bibir, warna rambut, postur tubuh, dan sejenisnya, namun justru terletak pada nilai-nilai yang tidak tampak (invisible norms).
Dalam buku Pesona Barat yang saya baca saat skripsi dulu, Vissia Yunianto memaparkan bagaimana awal mula terjadinya dekonstruksi warna kulit di Indonesia khususnya, mulai dari asumsi yang mengatakan bahwa kulit indah adalah kulit bangsawan keraton yang kuning langsat, hingga pengaruh global yang menekankan bahwa kulit putih adalah segalanya.
Vissia berpendapat, bahwa terjadinya dekonstruksi itu disebabkan oleh perasaan inferior yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bekas jajahan Barat, yang masih ada hingga kini. Perasaan rendah diri ini disebut dengan mentalitas inlander.
Mentalitas inlander ini adalah segala pemikiran, konsep, dan perasaan rendah diri- termasuk mengikuti dan mengadopsi nilai-nilai Barat- yang dihidupi oleh orang Indonesia terhadap apapun yang ada sangkut pautnya dengan bangsa lain dan menganggap apapun yang melekat pada bangsa lain tersebut lebih superior dibanding dengan yang melekat pada bangsa sendiri.
Yah, soal keterpesonaan sebagian perempuan Indonesia terhadap kulit putih memang mencengangkan. Teman saya dari Aussie, Bec Perkins, juga pernah tanya kenapa artis-artis Indonesia putihnya "berlebihan" (pinjam kalimat Raditya Dika). Terakhir saya tahu, Bec bahkan menjadikan hal ini sebagai bahan tesisnya :)
Anggapan bahwa ras kulit putih lebih segala-galanya dibandingkan yang tidak (atau belum) putih itu, sepengetahuan saya, merupakan turunan ajaran Darwinisme, yang menyebut ras kulit putih adalah ras superior dan identik membawa "gen baik".
Itulah mengapa, yang bukan "putih" mungkin merasa inferior, "kalah", dan merasa diri mereka harus dipurifikasi agar setara atau sederajat dengan mereka yang putih alami.
Ide purifikasi inilah yang menghantui benak banyak masyarakat Indonesia, terutama perempuan. Mengapa perempuan, latar belakangnya tentu masalah identifikasi dan stereotipifikasi bahwa perempuan haruslah memiliki paras yang elok dan tidak boleh berkulit gelap.
Ini bisa dilihat dari banyaknya iklan produk kosmetik pemutih yang menggunakan perempuan sebagai model sekaligus sasaran produk mereka. Perempuan kini diseragamkan untuk menganut ideologi darwinisme, dengan mengedepankan jargon "Lets White and See!"
Jargon ini menekankan penting dan hebatnya memiliki kulit putih. Dengan memiliki kulit putih, maka kesempatan dipercaya akan datang lebih banyak dibandingkan mereka yang berkulit gelap. Maka iklan produk pemutih berujar, "Hai perempuan Indonesia yang berkulit sawo matang! Pakailah produk kami, maka kamu akan percaya diri karena semua perhatian orang akan tertuju padamu!".
Interpelasi atau panggilan inilah yang tiba-tiba menimbulkan ketakutan di benak perempuan Indonesia apabila tidak mengikuti ideologi darwinisme. Ada perasaan minder, inferior, malu, bahkan "kotor", jika kulitnya tampak lebih gelap dibandingkan perempuan berkulit putih.
Banyak perempuan, yang beberapa saya kenal, akhirnya mejadi terobsesi pada ke"putih"an. Menjadi putih adalah menjadi beradab, dan menjadi modern, serta menjadi "kebarat-baratan". Barat menjadi simbol modernitas, lengkap dengan atribut positif yang melekat. Sedangkan Timur diidentifikasi dekat dengan- seperti sebutan Edward Said- orientalisme, yang identik dengan keterbelakangan, jauh dari peradaban, serta primitif.
Internalisasi ide bahwa putih itu baik disebabkan oleh persuasi yang amat gencar dari berbagai produk pemutih, dan diperkuat oleh televisi yang mendewakan dan sering menampilkan aktor ataupun aktris berwajah campuran (indo), sehingga kita pun makin sensitif dengan "keputihan".
Sensitivitas ini tidak terbatas pada karakter-karakter atau hal-hal yang bersifat fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, bibir, warna rambut, postur tubuh, dan sejenisnya, namun justru terletak pada nilai-nilai yang tidak tampak (invisible norms).
Dalam buku Pesona Barat yang saya baca saat skripsi dulu, Vissia Yunianto memaparkan bagaimana awal mula terjadinya dekonstruksi warna kulit di Indonesia khususnya, mulai dari asumsi yang mengatakan bahwa kulit indah adalah kulit bangsawan keraton yang kuning langsat, hingga pengaruh global yang menekankan bahwa kulit putih adalah segalanya.
Vissia berpendapat, bahwa terjadinya dekonstruksi itu disebabkan oleh perasaan inferior yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bekas jajahan Barat, yang masih ada hingga kini. Perasaan rendah diri ini disebut dengan mentalitas inlander.
Mentalitas inlander ini adalah segala pemikiran, konsep, dan perasaan rendah diri- termasuk mengikuti dan mengadopsi nilai-nilai Barat- yang dihidupi oleh orang Indonesia terhadap apapun yang ada sangkut pautnya dengan bangsa lain dan menganggap apapun yang melekat pada bangsa lain tersebut lebih superior dibanding dengan yang melekat pada bangsa sendiri.
Yah, soal keterpesonaan sebagian perempuan Indonesia terhadap kulit putih memang mencengangkan. Teman saya dari Aussie, Bec Perkins, juga pernah tanya kenapa artis-artis Indonesia putihnya "berlebihan" (pinjam kalimat Raditya Dika). Terakhir saya tahu, Bec bahkan menjadikan hal ini sebagai bahan tesisnya :)
Jadi ingat, satu-satunya orang yang pernah muji warna kulit coklatku adalah orang kulit putih.
ReplyDeleteGood job, Vit :)
I just bought a white shoes.
ReplyDeleteFor the first time.
yups..yg menang miss universe jg jarang yg kulit putih..haha..
ReplyDelete#lagi iseng baca2 isi blognya vitri, bahasa awamnya blogwalk ya?haha..
Aq juga lihat2 punya Ina ah.. hohoho.. *geser pantat*
ReplyDelete