MU Haters
Semalam saya “dihabisi” teman-teman via BBM lantaran Chelsea sempat unggul 3-0 atas MU. Memang skor itu sangat pantas membuat mereka --terutama penggemar Chelsea-- merasa di atas angin dan puas meledek Red Devils. Tapi tetap saja saya nggak rela MU kalah telak seperti itu, hehehehe
Usai istirahat turun minum, skor berubah 3-1. Baiklah, gol Rooney hanya lewat titik penalti. Tapi apa dong masalahnya? Gol tetap gol, kan? Kondisi sedikit berubah saat wasit kembali memberi penalti kepada MU, dan dieksekusi dengan baik oleh Rooney. Adapun Hernandez, mengubur pesta Chelsea dengan menyamakan skor 3-3.
So, jadilah itu BBM-BBM yang semula bilang turut berduka, ataupun agak menghina MU, beralih drastis jadi ucapan nggak terima, maupun selamat. Saya pun balas semuanya dengan becanda, walau sebenarnya saya pengin kecup mereka satu-satu saking senangnya. Hehehe
Beberapa kali memang seperti itu. Saya diejek habis-habisan oleh teman-teman yang menasbihkan dirinya sebagai MU haters. Mereka hobi banget ngomong yang jelek-jelekin MU, seolah-olah dengan begitu tim yang mereka dukung akan menang di seluruh pertandingan.
Mungkin beberapa kali saya juga secara nggak sadar menghina tim lain. Apalagi tim-tim yang nggak saya suka macam Chelsea maupun Real Madrid. Itu karena saya merasa mereka adalah “bukan saya”, lawan dari ego saya, dan orang yang mencoba mengusik afiliasi saya.
Ketika kita sudah memutuskan untuk berafiliasi dengan sesuatu --apapun itu-- secara alamiah memang kita berdiri di dalam kotak dukungannya. Kita memilihnya, karena itu yang kita pandang “lebih kita” dan lebih baik dibanding lainnya. Nah masalahnya, kenapa ujung-ujungnya afiliasi kita terhadap suatu hal membuat kita defensif terhadap kubu yang lain?
Sembari mendukung MU, saya mengganti channel ke RCTI, yang sedang menayangkan Sang Pencerah. Teman saya kemudian BBM gini dengan nada becanda: “Cah NU kok nonton Sang Pencerah. Musyrik mengko,” kata dia.
Oke memang si teman itu cuma bermaksud guyon. Saya pun nggak menganggap itu serius. Tapi, tanpa bermaksud menyamakan MU dengan NU, tapi terkadang afiliasi saya dengan keduanya membuat orang lain memandang saya bukan kelompoknya.
Saya sih prinsipnya lakum diinukum waliyadin aja. Elo-elo, gue-gue. Saya tidak merasa sudah bisa sedemikian toleran, tapi saya juga merasa risih jika ada orang yang masih menganggap perbedaan adalah sebuah masalah. Perbedaan itu bukan untuk dipaksakan berjalan ke arah yang sama.
Btw, buat MU haters yang selama ini saya serang balik, maaf lahir batin yaaa.. Minal aidin wal faizin. Hihihi *beer*
Usai istirahat turun minum, skor berubah 3-1. Baiklah, gol Rooney hanya lewat titik penalti. Tapi apa dong masalahnya? Gol tetap gol, kan? Kondisi sedikit berubah saat wasit kembali memberi penalti kepada MU, dan dieksekusi dengan baik oleh Rooney. Adapun Hernandez, mengubur pesta Chelsea dengan menyamakan skor 3-3.
So, jadilah itu BBM-BBM yang semula bilang turut berduka, ataupun agak menghina MU, beralih drastis jadi ucapan nggak terima, maupun selamat. Saya pun balas semuanya dengan becanda, walau sebenarnya saya pengin kecup mereka satu-satu saking senangnya. Hehehe
Beberapa kali memang seperti itu. Saya diejek habis-habisan oleh teman-teman yang menasbihkan dirinya sebagai MU haters. Mereka hobi banget ngomong yang jelek-jelekin MU, seolah-olah dengan begitu tim yang mereka dukung akan menang di seluruh pertandingan.
Mungkin beberapa kali saya juga secara nggak sadar menghina tim lain. Apalagi tim-tim yang nggak saya suka macam Chelsea maupun Real Madrid. Itu karena saya merasa mereka adalah “bukan saya”, lawan dari ego saya, dan orang yang mencoba mengusik afiliasi saya.
Ketika kita sudah memutuskan untuk berafiliasi dengan sesuatu --apapun itu-- secara alamiah memang kita berdiri di dalam kotak dukungannya. Kita memilihnya, karena itu yang kita pandang “lebih kita” dan lebih baik dibanding lainnya. Nah masalahnya, kenapa ujung-ujungnya afiliasi kita terhadap suatu hal membuat kita defensif terhadap kubu yang lain?
Sembari mendukung MU, saya mengganti channel ke RCTI, yang sedang menayangkan Sang Pencerah. Teman saya kemudian BBM gini dengan nada becanda: “Cah NU kok nonton Sang Pencerah. Musyrik mengko,” kata dia.
Oke memang si teman itu cuma bermaksud guyon. Saya pun nggak menganggap itu serius. Tapi, tanpa bermaksud menyamakan MU dengan NU, tapi terkadang afiliasi saya dengan keduanya membuat orang lain memandang saya bukan kelompoknya.
Saya sih prinsipnya lakum diinukum waliyadin aja. Elo-elo, gue-gue. Saya tidak merasa sudah bisa sedemikian toleran, tapi saya juga merasa risih jika ada orang yang masih menganggap perbedaan adalah sebuah masalah. Perbedaan itu bukan untuk dipaksakan berjalan ke arah yang sama.
Btw, buat MU haters yang selama ini saya serang balik, maaf lahir batin yaaa.. Minal aidin wal faizin. Hihihi *beer*
Comments
Post a Comment