Review: The Artist, The Descendants, Moneyball, The Girl with the Dragon Tattoo
Sepertinya agak basi ya, kalau saya menulis review film-film nominator Golden Globe dan Academy Award di atas. Tapi karena prinsipnya "scripta manent verbal volent" (spoken words blow with the wind, but what is written will remain), ya saya tulis saja lah sedikit review soal empat film dahsyat itu.
Saya menonton film karya sutradara Michel Hazanavicius ini dengan ekspektasi begitu tinggi. Gimana enggak, kalau The Artist saat itu (saya menontonnya lebih dari sebulan lalu) adalah salah satu calon film terbaik yang punya peluang besar memenangkan Oscar. Yang ada di bayangan saya, The Artist punya jalin cerita yang luar biasa dan "berbeda". Nyatanya? Tidak.
Tapi cerita yang "biasa" itu tak membuat saya menilai The Artist sebagai film yang biasa-biasa saja. Menurut saya, film ini adalah produk yang bisa dibilang sinting tapi brilian. Di saat sineas berlomba-lomba bikin film dengan teknologi secanggih mungkin dan ide cerita seunik mungkin, The Artist justru hadir dan tampil megah, dengan segala kepolosannya. Apa nggak gambling tuh, bikin film bisu dan hitam-putih di zaman sekarang?
Menurut saya, momen datangnya The Artist sangat pas. Film ini muncul saat kita agak jengah dijejali film hi-tech dan roman remaja macam No Strings Attached dan Friends with Benefits. Itulah kenapa, kehadiran film ini bisa begitu menyentuh, memukau, dan membuat kita terpesona. The Artist, dengan caranya sendiri, bisa mencuri hati kita.
Alkisah pada akhir 1920-an, karir aktor film bisu bernama George Valentin (Jean Dujardin) perlahan meredup. Publik yang sudah mulai bosan dengan film mute, mulai menaruh perhatian pada talkies (film bersuara). Itulah yang membuat Peppy Miller (Berenice Bejo), aktris pendatang baru di era talkies, mulai naik daun. Karena nasib, kedua bintang dari dua era itu pun terhubung dan saling mengisi.
Keberanian Hazanavicius mengemas ide sederhana itu dalam format film bisu yang hitam-putih, patut diapresiasi positif. Yang hebat, dia bisa membuat kita tak bosan sepanjang film berdurasi 100 menit tersebut. Mungkin benar, saat satu alat indra kita dinonaktifkan (telinga), maka indra lainnya akan bekerja lebih baik. Begitulah yang saya rasakan saat menonton The Artist.
Berenice Bejo tampil baik. Tapi bintang yang paling bersinar dalam film ini tentulah Jean Dujardin. Pria itu membuat saya berpikir dia benar-benar berasal dari era 1920-an. Selain dibekali wajah tampan nan karismatik, serta senyum maut yang khas, Dujardin juga lihai bermain mimik wajah. Dia benar-benar layak diganjar Oscar.
Hazanavicius sangat tepat memilih Bejo dan Dujardin. Chemistry keduanya sangat pas. Sebagai sutradara, Hazanavicius juga sukses mengoptimalkan kemampuan Bejo dan Dujardin untuk "berkata" lewat ekspresi, olah tubuh, ataupun gerak mata. Ya, eksekusi Hazanavicius itulah yang mampu membuat kita tak akan berhenti takjub sepanjang film.
Sebulan lalu, setelah menonton The Artist yang dramatis dan penuh adegan meletup-letup, saya lanjut menonton The Descendants. Suasana yang saya dapat sangat berbeda. Film garapan sutradara Alexander Payne ini adalah drama keluarga yang temanya serius, dan mengajak kita menaruh simpati pada si tokoh utama, Matt King (George Clooney).
Matt adalah contoh bagaimana hidup pada satu titik bisa menempatkan seseorang pada titik terburuk yang menyesakkan. Bahwa bisa saja hidup yang kita kira begitu sempurna dan berjalan baik, ternyata tak lebih dari tembok rapuh yang sewaktu-waktu bisa ambruk dan hancur. Bahwa kita tak ubahnya makhluk naif yang terkadang lupa, manusia lain punya kehendak dan bisa berubah kapan saja.
Film dibuka lewat adegan istri Matt yang tengah sekarat di ranjang rumah sakit. Menyaksikan istrinya tak berdaya, Matt luluh. Ia merasa selama ini terlalu sibuk bekerja, sampai tak menaruh perhatian pada keluarganya. Termasuk pada kedua putrinya, yang tumbuh menjadi remaja-remaja yang agak brutal, karena kurang perhatian orang tua.
Konflik dimasukkan satu per satu oleh Payne dengan begitu pas, sehingga kita tidak merasa eneg dengan berondongan masalah yang menghujam kehidupan Matt. Eksekusi yang tepat oleh Payne dalam mengadaptasi novel bikinan Kaui Kart Hemming, terasa apik diramu dengan alunan musik yang damai dan khas Hawai. Panorama Hawai yang cantik dan perawan yang ditampilkan tidak berlebihan, menjadi nilai tambah film ini.
Maka kita pun diajak menyelami kehidupan Matt King yang tragis. Kita dibuat ikut marah, saat diperlihatkan situasi Matt yang mendapati istri yang dicintainya ternyata mencintai orang lain. Saat putri-putri yang jadi alasannya kerja banting tulang selama ini, ternyata tumbuh menjadi manusia yang tak menghormatinya sebagai orang tua. Lalu apa yang akan Matt lakukan?
George Clooney tampil baik di sini. Dia bisa menunjukkan emosi yang pas sebagai bapak yang sedih melihat kedua putrinya tak menghargai dia, sebagai suami yang melihat istrinya yang sekarat ternyata sudah tak menaruh hati padanya, sebagai pria yang akhirnya memilih bangkit dan menata kembali bangunan keluarganya yang porak-poranda.
Ide cerita mungkin tak benar-benar baru. Tapi di tangan Payne, The Descendants membuat kita berpikir, siapa kita? Sudahkah kita berbuat sekuat tenaga untuk menyayangi keluarga kita? Mampukah kita memaafkan kesalahan orang yang kita sayang? Bisakah kita mengikhlaskan pengkhianatan? Matt King menunjukkan pada kita jawabannya.
Saya nonton Moneyball bukan karena film adaptasi dari buku The Art of Winning An Unfair Game (Michael Lewis) ini dikabarkan bagus. Tapi karena aktor utamanya adalah Brad Pitt, hehe.. Yap, saya nggak terlalu tertarik baseball sebenarnya. Maka saat tahu Moneyball adalah film tentang olahraga asal Amerika Serikat itu, saya nggak terlalu antusias menyaksikan produk sutradara Bennett Miller.
Dan syukurlah, Moneyball yang diangkat dari kisah nyata ini tidak melulu berkisah soal baseball. Melainkan lebih fokus menyorot perjuangan Billy Beane (Pitt), manajer klub baseball Oakland Athletics. Klub Oakland pada musim pertandingan 2000 punya catatan buruk karena kalah melulu di Major League Baseball. Berangkat dari situ, Billy mulai putar otak, dan secepatnya cari jalan keluar.
Sialnya, pemain-pemain bagus Oakland malah dijual ke klub lain oleh perusahaan. Ditambah lagi, perusahaan enggak mau keluar duit banyak untuk menambal kekosongan lini, dan memilih untuk bangkit dari keterpurukan dengan pasukan yang ada. Hal itu membuat Billy sempat uring-uringan, karena di dunia olahraga yang kapitalis saat ini, money can buy a champion.
Nasib membawa Billy pada Peter Brand (Jonah Hill), analis lulusan fakultas ekonomi di Universitas Yale. Peterlah yang kemudian mengubah pemikiran Billy soal bagaimana membentuk the dream team. Menurut Peter, ada rumus matematika yang bisa menghitung kemampuan seorang atlet, dengan cocok-tidaknya dia di sebuah posisi dalam tim, dan berapa banderol harga yang pas buat sang pemain.
Kualitas Pitt tak usah diragukan lagi, lah. Kalau istilah jawanya, dia itu "mateng wit". Kemampuan aktingnya makin matang dan prima, seiring dengan makin tua dan berpengalamannya suami Angelina Jolie itu. Pitt mampu membawakan karakter Billy Beane yang optimistik, percaya diri, dan profesional di bidangnya. Singkirkan dulu pesona ragawi Pitt, karena secara alamiah hal itu agak kita abaikan berkat aktingnya yang menawan.
Jujur saja, Moneyball sebenarnya cenderung terlalu serius, agak monoton, dan lamban. Itu membuat saya sempat mengantuk di beberapa bagian. Namun tetap saja, Moneyball bukan film yang buruk. Saya memang tidak terlalu suka film ini, tapi sebagai pecinta olahraga (nontonnya doang, ngelakuinnya enggak, hehe..), saya terhibur oleh Moneyball.
Dan formula dalam Moneyball yang heroik bangetlah yang pada akhirnya membuat saya betah mengikuti ceritanya sampai akhir. Di mana akhirnya duet Billy dan Peter bisa mengangkat Oakland dari jurang keterpurukan, dan membuat tim tersebut menang 20 kali berturut-turut di liga. Klise, tapi sangat manusiawi dan tak lekang zaman. Memang benar, nothing is impossible.
Skandinavia, jurnalis, dan kisah misteri. Tiga paduan maut yang membuat saya penasaran menonton film besutan sutradara David Fincher ini. Selain iming-iming kemolekan alam negara-negara di dataran Eropa yang konon hadir di sepanjang film, The Girl with The Dragon Tattoo (TGWTDT) juga menawarkan tokoh utama yang berprofesi sebagai jurnalis (yuhuuuu.. Gaya banget deh, saya).
Tersebutlah Mikael Blomkvist (Daniel Craig), jurnalis majalah Millenium yang sedang terbelit kasus pencemaran nama baik akibat berita yang diturunkan media tersebut. Di tengah kebingungan terhadap gugatan materi yang dijatuhkan pengadilan, Mikael mendadak berkenalan dengan Henrik Vanger (Christopher Plummer), taipan pemilik kerajaan bisnis "Vanger Industries".
Henrik meminta tolong Mikael untuk memecahkan misteri hilangnya Harriett, keponakannya yang mendadak raib sejak empat puluh tahun lalu. Imbalannya tak main-main. Henrik berjanji akan membereskan persoalan Mikael, dan akan menghadiahinya duit yang berlimpah, jika berhasil mengungkap keberadaan Harriett.
Karena kepepet, Mikael akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia pun mengajak kerjasama seorang hacker cewek bernama Lisbeth Salander (Rooney Mara). Nggak sia-sia Mikael menggaet Lisbeth untuk bahu-membahu membongkar misteri hilangnya Harriett. Berkat otak deduktifnya sebagai seorang jurnalis, plus kelihaian Lisbeth sebagai peretas, selubung yang menutupi kasus Harriett pun perlahan terkuak.
Film yang diangkat dari novel jurnalis Stieg Larsson ini benar-benar mantap. Cool! Fincher membuat keputusan jitu dengan memilih Craig sebagai Mikael, dan Mara sebagai Lisbeth. Ke-James Bond-an Craig beberapa kali muncul, tapi tidak terlalu mengganggu. Adapun Mara sangat pas dipasang sebagai Lisbeth yang nyentrik dan punya sejarah kelam.
Fincher juga bisa membuat saya mupeng karena melihat alam Skandinavia yang cantik dan "angkuh". Sinematografi film ini begitu tertata baik, ditambah tata suara yang juga keren. Sang sutradara juga sukses membuat kita asyik mengikuti petualangan Mikael-Lisbeth memecah misteri tanpa harus mengerutkan kening, karena latar belakang cerita dipaparkan dengan narasi yang enak diikuti. Two thumbs up for TGWTDT :D
THE ARTIST
Saya menonton film karya sutradara Michel Hazanavicius ini dengan ekspektasi begitu tinggi. Gimana enggak, kalau The Artist saat itu (saya menontonnya lebih dari sebulan lalu) adalah salah satu calon film terbaik yang punya peluang besar memenangkan Oscar. Yang ada di bayangan saya, The Artist punya jalin cerita yang luar biasa dan "berbeda". Nyatanya? Tidak.
Tapi cerita yang "biasa" itu tak membuat saya menilai The Artist sebagai film yang biasa-biasa saja. Menurut saya, film ini adalah produk yang bisa dibilang sinting tapi brilian. Di saat sineas berlomba-lomba bikin film dengan teknologi secanggih mungkin dan ide cerita seunik mungkin, The Artist justru hadir dan tampil megah, dengan segala kepolosannya. Apa nggak gambling tuh, bikin film bisu dan hitam-putih di zaman sekarang?
Menurut saya, momen datangnya The Artist sangat pas. Film ini muncul saat kita agak jengah dijejali film hi-tech dan roman remaja macam No Strings Attached dan Friends with Benefits. Itulah kenapa, kehadiran film ini bisa begitu menyentuh, memukau, dan membuat kita terpesona. The Artist, dengan caranya sendiri, bisa mencuri hati kita.
Alkisah pada akhir 1920-an, karir aktor film bisu bernama George Valentin (Jean Dujardin) perlahan meredup. Publik yang sudah mulai bosan dengan film mute, mulai menaruh perhatian pada talkies (film bersuara). Itulah yang membuat Peppy Miller (Berenice Bejo), aktris pendatang baru di era talkies, mulai naik daun. Karena nasib, kedua bintang dari dua era itu pun terhubung dan saling mengisi.
Keberanian Hazanavicius mengemas ide sederhana itu dalam format film bisu yang hitam-putih, patut diapresiasi positif. Yang hebat, dia bisa membuat kita tak bosan sepanjang film berdurasi 100 menit tersebut. Mungkin benar, saat satu alat indra kita dinonaktifkan (telinga), maka indra lainnya akan bekerja lebih baik. Begitulah yang saya rasakan saat menonton The Artist.
Berenice Bejo tampil baik. Tapi bintang yang paling bersinar dalam film ini tentulah Jean Dujardin. Pria itu membuat saya berpikir dia benar-benar berasal dari era 1920-an. Selain dibekali wajah tampan nan karismatik, serta senyum maut yang khas, Dujardin juga lihai bermain mimik wajah. Dia benar-benar layak diganjar Oscar.
Hazanavicius sangat tepat memilih Bejo dan Dujardin. Chemistry keduanya sangat pas. Sebagai sutradara, Hazanavicius juga sukses mengoptimalkan kemampuan Bejo dan Dujardin untuk "berkata" lewat ekspresi, olah tubuh, ataupun gerak mata. Ya, eksekusi Hazanavicius itulah yang mampu membuat kita tak akan berhenti takjub sepanjang film.
THE DESCENDANTS
Sebulan lalu, setelah menonton The Artist yang dramatis dan penuh adegan meletup-letup, saya lanjut menonton The Descendants. Suasana yang saya dapat sangat berbeda. Film garapan sutradara Alexander Payne ini adalah drama keluarga yang temanya serius, dan mengajak kita menaruh simpati pada si tokoh utama, Matt King (George Clooney).
Matt adalah contoh bagaimana hidup pada satu titik bisa menempatkan seseorang pada titik terburuk yang menyesakkan. Bahwa bisa saja hidup yang kita kira begitu sempurna dan berjalan baik, ternyata tak lebih dari tembok rapuh yang sewaktu-waktu bisa ambruk dan hancur. Bahwa kita tak ubahnya makhluk naif yang terkadang lupa, manusia lain punya kehendak dan bisa berubah kapan saja.
Film dibuka lewat adegan istri Matt yang tengah sekarat di ranjang rumah sakit. Menyaksikan istrinya tak berdaya, Matt luluh. Ia merasa selama ini terlalu sibuk bekerja, sampai tak menaruh perhatian pada keluarganya. Termasuk pada kedua putrinya, yang tumbuh menjadi remaja-remaja yang agak brutal, karena kurang perhatian orang tua.
Konflik dimasukkan satu per satu oleh Payne dengan begitu pas, sehingga kita tidak merasa eneg dengan berondongan masalah yang menghujam kehidupan Matt. Eksekusi yang tepat oleh Payne dalam mengadaptasi novel bikinan Kaui Kart Hemming, terasa apik diramu dengan alunan musik yang damai dan khas Hawai. Panorama Hawai yang cantik dan perawan yang ditampilkan tidak berlebihan, menjadi nilai tambah film ini.
Maka kita pun diajak menyelami kehidupan Matt King yang tragis. Kita dibuat ikut marah, saat diperlihatkan situasi Matt yang mendapati istri yang dicintainya ternyata mencintai orang lain. Saat putri-putri yang jadi alasannya kerja banting tulang selama ini, ternyata tumbuh menjadi manusia yang tak menghormatinya sebagai orang tua. Lalu apa yang akan Matt lakukan?
George Clooney tampil baik di sini. Dia bisa menunjukkan emosi yang pas sebagai bapak yang sedih melihat kedua putrinya tak menghargai dia, sebagai suami yang melihat istrinya yang sekarat ternyata sudah tak menaruh hati padanya, sebagai pria yang akhirnya memilih bangkit dan menata kembali bangunan keluarganya yang porak-poranda.
Ide cerita mungkin tak benar-benar baru. Tapi di tangan Payne, The Descendants membuat kita berpikir, siapa kita? Sudahkah kita berbuat sekuat tenaga untuk menyayangi keluarga kita? Mampukah kita memaafkan kesalahan orang yang kita sayang? Bisakah kita mengikhlaskan pengkhianatan? Matt King menunjukkan pada kita jawabannya.
MONEYBALL
Saya nonton Moneyball bukan karena film adaptasi dari buku The Art of Winning An Unfair Game (Michael Lewis) ini dikabarkan bagus. Tapi karena aktor utamanya adalah Brad Pitt, hehe.. Yap, saya nggak terlalu tertarik baseball sebenarnya. Maka saat tahu Moneyball adalah film tentang olahraga asal Amerika Serikat itu, saya nggak terlalu antusias menyaksikan produk sutradara Bennett Miller.
Dan syukurlah, Moneyball yang diangkat dari kisah nyata ini tidak melulu berkisah soal baseball. Melainkan lebih fokus menyorot perjuangan Billy Beane (Pitt), manajer klub baseball Oakland Athletics. Klub Oakland pada musim pertandingan 2000 punya catatan buruk karena kalah melulu di Major League Baseball. Berangkat dari situ, Billy mulai putar otak, dan secepatnya cari jalan keluar.
Sialnya, pemain-pemain bagus Oakland malah dijual ke klub lain oleh perusahaan. Ditambah lagi, perusahaan enggak mau keluar duit banyak untuk menambal kekosongan lini, dan memilih untuk bangkit dari keterpurukan dengan pasukan yang ada. Hal itu membuat Billy sempat uring-uringan, karena di dunia olahraga yang kapitalis saat ini, money can buy a champion.
Nasib membawa Billy pada Peter Brand (Jonah Hill), analis lulusan fakultas ekonomi di Universitas Yale. Peterlah yang kemudian mengubah pemikiran Billy soal bagaimana membentuk the dream team. Menurut Peter, ada rumus matematika yang bisa menghitung kemampuan seorang atlet, dengan cocok-tidaknya dia di sebuah posisi dalam tim, dan berapa banderol harga yang pas buat sang pemain.
Kualitas Pitt tak usah diragukan lagi, lah. Kalau istilah jawanya, dia itu "mateng wit". Kemampuan aktingnya makin matang dan prima, seiring dengan makin tua dan berpengalamannya suami Angelina Jolie itu. Pitt mampu membawakan karakter Billy Beane yang optimistik, percaya diri, dan profesional di bidangnya. Singkirkan dulu pesona ragawi Pitt, karena secara alamiah hal itu agak kita abaikan berkat aktingnya yang menawan.
Jujur saja, Moneyball sebenarnya cenderung terlalu serius, agak monoton, dan lamban. Itu membuat saya sempat mengantuk di beberapa bagian. Namun tetap saja, Moneyball bukan film yang buruk. Saya memang tidak terlalu suka film ini, tapi sebagai pecinta olahraga (nontonnya doang, ngelakuinnya enggak, hehe..), saya terhibur oleh Moneyball.
Dan formula dalam Moneyball yang heroik bangetlah yang pada akhirnya membuat saya betah mengikuti ceritanya sampai akhir. Di mana akhirnya duet Billy dan Peter bisa mengangkat Oakland dari jurang keterpurukan, dan membuat tim tersebut menang 20 kali berturut-turut di liga. Klise, tapi sangat manusiawi dan tak lekang zaman. Memang benar, nothing is impossible.
THE GIRL WITH THE DRAGON TATTOO
Skandinavia, jurnalis, dan kisah misteri. Tiga paduan maut yang membuat saya penasaran menonton film besutan sutradara David Fincher ini. Selain iming-iming kemolekan alam negara-negara di dataran Eropa yang konon hadir di sepanjang film, The Girl with The Dragon Tattoo (TGWTDT) juga menawarkan tokoh utama yang berprofesi sebagai jurnalis (yuhuuuu.. Gaya banget deh, saya).
Tersebutlah Mikael Blomkvist (Daniel Craig), jurnalis majalah Millenium yang sedang terbelit kasus pencemaran nama baik akibat berita yang diturunkan media tersebut. Di tengah kebingungan terhadap gugatan materi yang dijatuhkan pengadilan, Mikael mendadak berkenalan dengan Henrik Vanger (Christopher Plummer), taipan pemilik kerajaan bisnis "Vanger Industries".
Henrik meminta tolong Mikael untuk memecahkan misteri hilangnya Harriett, keponakannya yang mendadak raib sejak empat puluh tahun lalu. Imbalannya tak main-main. Henrik berjanji akan membereskan persoalan Mikael, dan akan menghadiahinya duit yang berlimpah, jika berhasil mengungkap keberadaan Harriett.
Karena kepepet, Mikael akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia pun mengajak kerjasama seorang hacker cewek bernama Lisbeth Salander (Rooney Mara). Nggak sia-sia Mikael menggaet Lisbeth untuk bahu-membahu membongkar misteri hilangnya Harriett. Berkat otak deduktifnya sebagai seorang jurnalis, plus kelihaian Lisbeth sebagai peretas, selubung yang menutupi kasus Harriett pun perlahan terkuak.
Film yang diangkat dari novel jurnalis Stieg Larsson ini benar-benar mantap. Cool! Fincher membuat keputusan jitu dengan memilih Craig sebagai Mikael, dan Mara sebagai Lisbeth. Ke-James Bond-an Craig beberapa kali muncul, tapi tidak terlalu mengganggu. Adapun Mara sangat pas dipasang sebagai Lisbeth yang nyentrik dan punya sejarah kelam.
Fincher juga bisa membuat saya mupeng karena melihat alam Skandinavia yang cantik dan "angkuh". Sinematografi film ini begitu tertata baik, ditambah tata suara yang juga keren. Sang sutradara juga sukses membuat kita asyik mengikuti petualangan Mikael-Lisbeth memecah misteri tanpa harus mengerutkan kening, karena latar belakang cerita dipaparkan dengan narasi yang enak diikuti. Two thumbs up for TGWTDT :D
Comments
Post a Comment