Review Sang Kiai
Tebu Ireng, 1942. Ekspansi Jepang ke Indonesia menjalar ke pondok pesanten pimpinan Kiai Haji Hasyim Asy'ari di Jombang, Jawa Timur. Mereka yang datang dari belahan timur Asia semula dianggap sebagai Saudara Tua. Namun perlahan, kemuraman mendera rumah-rumah penduduk. Jepang mulai meraja, mengerdilkan prasangka baik warga yang sempat ada.
Ketegangan bermula saat Hasyim Asyari dituduh menentang Jepang. Ia pun dibekuk para tentara Nippon, dan dibawa ke markas mereka, tak jauh dari pesantren. Kepergiannya memantik tangis para murid. Sedangkan putra Sang Kiai, Wahid Hasyim, hanya bisa mencelos. Ia tak gemetar menantang gertakan para tentara Nippon yang memberondong rumahnya sore itu. Namun langkahnya karam. Ia diminta sang ayah agar tetap tenang.
Karena memilih maghriban dulu (iya iya, ini memang pencitraan. Lagian filmnya mulai jam 17.45, nanggung banget euy..), saya telat masuk ke bioskop sore itu. So, saat saya duduk dan nonton, layar sudah menampilkan adegan Jepang membawa pergi Hasyim Asy'ari. The good point is, tampilan vintage film ini langsung membawa saya ke puluhan tahun lalu.
First, i would like to say thank to Wahid Hasyim's glasses. Kacamata bapaknya Gus Dur (diperankan oleh Agus Kuncoro) yang besar dan bergagang emas itu sooo oldies. Benda itulah yang membuat saya berpikir film ini zaman dulu sekali. Walah yah, ada kalanya gaya Wahid Hasyim jadi mirip David Naif.
Kisah bergulir pada kondisi Pesantren Tebu Ireng pasca-peninggalan Hasyim Asyari. Di pesantren itu, para putra Hasyim, Gus (panggilan untuk anak kiai) Wahid, Gus Karim, Gus Yusuf, berkonsolidasi demi membebaskan sang ayah. Sedangkan tiga santri Tebu Ireng, Harun (Adipati Dolken), Kamid (Royhan Hidayat), dan Abdi (Ernest Samudera) menggalang semangat konco-konconya untuk berpadu melawan Jepang.
Saya merasa kurang adil jika membandingkan materi film ini dengan Sang Pencerah, yang berkisah soal KH Akhmad Dahlan. Namun secara kualitas dan sinematografi, Sang Kiai saya rasa belajar dari kekurangan film-film histori pendahulunya. Dibandingkan dengan karya Hanung Bramantyo, bikinan Rako Prijanto ini bisa dibilang lebih "halus".
Rako lumayan bisa menggiring kita ke masa lampau. Sayang, dia tampaknya kehabisan cara untuk bertutur lewat gambar, karena beberapa kali dia mencoba menjelaskan peristiwa lewat tulisan. Well, memang sih itu membuat kita lebih paham "ini siapa", "sedang terjadi apa", dan "Oh oke ini begitu toh". Tapi di sisi lain itu menjadi kegagalan Rako bercerita tanpa harus lewat kata.
Saya juga merasa kurang sreg dengan pilihan Rako memberi porsi lebih untuk sosok Harun. Yah memang Adipati tampan. Tapi tampang kebuleannya sungguh janggal ada di tengah para santri Tebu Ireng. Saya tidak bermaksud rasis, tapi kalau Rako sudi memilih aktor lain, rasanya bakal lebih keren.
Tapi ya bagaimana pun ini film. Rako butuh orang semacam Adipati untuk membuat remaja-remaja yang tak suka film sejarah, mau membeli tiket Sang Kiai. Walau (maaf saya kebanyakan protes) Adipati terlalu poker face, ya. Errrrh, sejak awal hingga akhir film, kening doi bekerut terus. Tegang sih tegang Mas, ngadepin Jepang. Tapi mbok ya jangan begitu terus mimiknya.
Sosok Harun memang diperlukan untuk menghadirkan dramatisasi. Tapi menurut saya, porsi untuknya terlalu besar. Apalagi dia sekadar sosok rekaan. Akan lebih "termaafkan" jika layar Sang Kiai, (jika tak ingin melulu menyorot Hasyim Asyarie), bercerita lebih banyak soal putra-putranya, yang di film ini hanya ditampilkan sekelebatan, kecuali Wahid Hasyim.
Adipati Dolken as Harun |
Adegan demi adegan di film ini sendiri cukup dramatis. Ada satu adegan yang begitu mencekat. Yakni saat Hasyim Asyari yang tengah ditawan Jepang, disiksa agar mau tunduk menyembah Dewa Matahari. Kekejian Jepang ditampilkan Rako lewat suara istighfar Hasyim Asyari yang kesakitan karena tangannya dirajam. Suara itu diperdengarkan lewat pengeras suara, sehingga menyayat hati ratusan santri Tebu Ireng yang tengah berkumpul di luar pagar markas Jepang. Haduh, adegan ini benar-benar membuat panas-dingin..
Banyak kalimat-kalimat dalam film ini yang quotable, setidaknya bagi saya. Yang pertama adalah kalimat Kiai Hasyim, "Jihad paling berat adalah jihad melawan nafsu dalam diri". Kedua, adalah perkataan Kiai Hasyim pada Hamzah (Dimas Aditya), orang Indonesia yang bekerja untuk Jepang. "Apakah kamu merasa sebagai seorang muslim, sedangkan saat mendengar panggilan itu (azan) kamu tidak terketuk?"
Menurut saya, Hamzah adalah karakter cupu dan galau yang dihadirkan Rako untuk fatayat "abangan" seperti saya, hahaha.. Kecurigaan saya terbukti saat muncul adegan Hamzah datang ke Tebu Ireng, dan curhat ke Kiai Hasyim. "Kiai, apa benar jika Allah membenci hambanya, ia akan membekukan hati hambanya itu? Karena saya tidak terketuk mendengar suara azan.."
Nah pertanyaan bagus, batin saya. Sayang, jawaban Kiai Hasyim bagi saya masih terlalu formal dan kurang menohok. "Apakah Tuan tidak berpikir, kegelisahan yang Tuan rasakan adalah bentuk hidayah-Nya?". Jreng jreeeng.. Tobat deh saya, tobaaaaat...
Ada juga dialog yang cihuy banget antara Kiai Hasyim dengan istrinya, Nyai Kapu (Christine Hakim). Nyai Kapu yang entah insecure entah sedang berusaha romantis, bertanya pada suaminya, apakah ia ada dalam doa-doa Sang Kiai. Jawaban Kiai Hasyim manis banget, dong.. "Ketika aku berdoa dijauhkan dari api neraka, kau ada di dalam doaku. Karena kau adalah bagian dari diriku..". Aaaaaaaah.. Meleleh saya, Kiai..
Dan saya tak bisa menahan diri untuk mengomentari KH Hasyim Asyari versi Ikranegara. Oh God, biasanya saya tak bisa berhenti histeris kalau ada aktor yang tampan dan seksi. Tapi kali ini, kakek kita Ikranegara-lah yang membuat saya tak henti mendaraskan puja-puji sepanjang film. Akting Ikranegara dalam Sang Kiai mempesona. Dia tak gagal tampil sebagai sosok kiai yang karismatik, tenang, sekaligus membuat keder lawan.
Christine Hakim juga tampil prima. Oke lah upaya dia membawakan sosok Nyai Kapu, yang ayahnya adalah kiai pertama yang memberi pendidikan agama pada perempuan di Jawa. Agus Kuncoro menurut saya hanya tampil lumayan. Bagi saya dia tampak terbebani memerankan sosok Wahid Hasyim. Dalam beberapa adegan, dia tampak kaku saking berusahanya terlihat sebagai sebagai sosok yang disegani di Tebu Ireng.
Saya suka akting para pemainnya, suka interpretasi terbunuhnya Mallaby dalam pertempuran 10 November 1947 di Surabaya, suka teriakan semangat Bung Tomo dan umpatannya ke Mallaby "Asu kowe! Mati kowe!" hehe.. Suka juga setting tempatnya karena diambil di Semarang (walau janggal juga melihat ada Gereja Blenduk di tengah pertempuran Surabaya).
Enggak menyesal kok nonton film ini! :))
Comments
Post a Comment