Review: Godzilla, Superhero Kita


Sebagai penggemar film monster, saya sangat menantikan film ini. Ya, Godzilla a.k.a Gojira, si dewa monster, bagaimana pun punya tempat tersendiri di benak saya saat kecil. Saya sampai pernah begitu terobsesi ingin berjumpa dengan Mark Tatopulous, entah karena alasan tampang atau pengalamannya menangani Godzilla.

Maka Sabtu malam lalu, saya dan pacar menonton film itu. Sumpah saya sudah berusaha menahan diri untuk tidak mencari sinopsis, spoiler, bahkan trailer. Tapi saya enggak tahan. Bahkan saya memaksa sahabat saya Nchan untuk membocorkan detail ceritanya saking penasarannya saya, heuheuheu..

Saya berharap banyak sih pada film bikinan sutradara Gareth Edward ini. Katanya budgetnya sampai US$ 160 juta gitu. Film lama Godzilla yang dibikin Roland Emmerich memang tak bagus-bagus amat. Jelek malah special effect-nya. Tapi saya suka pemeran-pemerannya, juga skenarionya. Tegangnya dapet, ceritanya bagus, pun kesangaran Godzillanya bisa terejawantah.

Tapi Edward memilih kembali ke kisah asli si kadal raksasa. Nun di masa lalu, ilmuwan Joe Brody (Bryan Cranston) ditinggal mati istrinya di kantor mereka di Jepang. Saat itu, konon Nyonya Brody meninggal karena gempa. Tapi Joe Brody yang tak percaya, terus mencari tau sebab kematian istrinya. Sampai akhirnya 15 tahun kemudian, ia menyadari musabab tewasnya sang istri bukanlah gempa, melainkan makhluk bernama Muto.

Mr. Brody lalu menyampaikan hal ini pada anak tunggalnya yang seorang tentara dan tinggal di Amerika, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson). Tak lama, "gempa" kembali terjadi, dan muncullah itu si Muto. Tadaaaa.. Krik. Jelek banget bentuknya Muto. Entah semacam nyamuk raksasa atau apa sih? Saya cuma merasa bentuknya sangat enggak keren. Duh, enggak chic sama sekali #apasih

Sayang, Mr. Brody keburu mati. Ford pun akhirnya diminta bantuan ilmuwan Jepang, Mr. Serizawa (please welcome our gorjes Ken Watanabe) dan entah asisten entah gundiknya yang -saya nggak tau guna cewek itu apa selain menampilkan mimik muka selalu terburu-buru- untuk menguak rahasia Muto.

Lalu.. Saya pun tersadar. Hey, ini film judulnya Godzilla, tapi mana Godzilla-nya?? Manaaaaa?? Dan kayaknya Kang Watanabe dengar teriakan saya. Akhirnya dia menjelaskan bahwa Godzilla pada saat bersamaan akan muncul, karena dia semacam "ingin menjaga keseimbangan alam". Oh yeah, bisa dijelaskan kenapa dia merasa begitu perlu menjaga keseimbangan alam?

Well, pembuka film ini sungguuuuuh bertele-tele. Saya sampai sempat tertidur saking mengantuknya. Dan yah saya merasa bangunan ceritanya enggak kuat. Dulu Emmerich menjelaskan Godzilla ke New York karena pengin bertelur (semacam Godzilla keren karena bisa memilih tempat keren sih ya). Tapi sekarang, Godzilla dikisahkan sebagai hewan purba yang entah kenapa penting banget berlama-lama tidur di dasar laut.

Muto
Kembali ke topik. Ceritanya, Muto yang pemakan radiasi dan sampah nuklir (such a campaign, eh?) ini ada dua ekor, cowok dan cewek. Mereka bersatu (duh macam FTV neeeeeh) demi menjaga si betina ingin bertelur. Dan di sinilah Godzilla muncul, sebagai orang ketiga #krik. No, dia merasa perlu menghabisi kedua Muto! Yeah, he's our hero, man!

Oke, soal teknologinya. Keren sekeren-kerennya deh film ini. Alus banget. Dahsyat, dan asli deh suka banget. Adegan terkeren adalah saat di Golden Gate, San Fransisco. Dibuka adegan terbangnya burung-burung, lalu kekacauan di jembatan karena masih ada bus sekolah di sana, dan muncullah Godzilla dari dasar laut, lewat di bawah jembatan. Wuiiiih keren banget ini! Plus adegan tsunami di Hawaii karena kemunculan Godzilla. Gila, cool banget!



Sayangnya, ada banyak catatan di lengan kiri (ye emangnya catatan dosa). Meski film ini judulnya Godzilla, doi kalah porsi dari Muto. Kalau jadi Godzilla, saya mah enggak terima. Dih, nama dipake-pake, tapi kalah saing. Cerita soal human-nya malah banyak, dan buat saya itu nggak penting. Saya nonton untuk ketemu Godzilla. Saya enggak mau tau istrinya Ford (Elizabeth Olsen) ilang dari rumah sakit atau enggak, toh itu enggak penting.

Departemen akting juga menurut saya enggak oke. Yang nyesek adalah Watanabe seperti tidak terlalu berguna di sini. Mukanya semacam minta ditanya, "Sir, are u okay?" saking datarnya. Pun Taylor-Johnson yang kurang asyik. Cranston aja sih yang menurut saya perannya memorable.

Yang menyedihkan, pertarungan Godzilla dan Muto juga "gitu doang". Semacam lebih cepat pertarungan mereka dibanding nunggu sambal gado-gado selesai diulek. Laga kedua monster yang mestinya bisa lebih megah, sayang sekali terlihat tidak seru dan begitu-begitu saja. Gelapnya kurang. Terornya kurang. Mencekamnya kurang.

Trus si sutradara terlalu membuat saya bertanya-tanya #kamuPHPMas,kamuPHP. Semacam aneh gitu ada seekor Muto yang punya kemampuan seperti Elektro-nya Spider-Man yang memakan radiasi nuklir. Bahkan bisa mendeteksi tempat itu :/
Lalu cara matinya Muto. Man! Doi kan keren banget nih, tahan senjata api manusia, bom, bahkan malah makan radiasi nuklir. Tapi dia mati dengan mudah karena dihabisi Godzilla belasan menit doang? Heloooo.. Lo helo heloo..

Ya udahlah, saya lagi selo aja bawel mulu hahahaha.. Tapi saya jauh lebih menikmati ini dibanding Marmut Merah Jambu (yes! Saya nonton lho!) atau pun Brick Mansion. Godzilla tetap menghibur kok. Walau yaaaah sedih aja dia muncul sebentar saja. Padahal Godzillanya lucu lhooo.. Gendut ginuk-ginuk gitu. Hihihi

Selamat menonton ya! :)

Comments

  1. What the?? Pertarungannya kurang keren??
    Padahal padahal padahal.. Aku kan sukaaa.. *uwel-uwel rok*

    ReplyDelete

Post a Comment