Ini Sukuku. Apa Sukumu?


Saya sedang berada di sisi kanan Terminal Blok M, duduk setelah capek liputan sambil dengar dua orang perempuan berbincang. Mereka ngomongin entah siapa, tapi ada kalimat begini yang saya tangkap:

"Dasar orang Jawa, bilangnya nggak mau padahal mau."

Saya jujur saja kesal mendengarnya. Sakitnya di sini, bro.. *tunjuk jari tengah*

Bukan karena saya orang Jawa (jujur saja, saya lebih merasa sebagai orang Indonesia yang lahir di Pati di Pulau Jawa, dibanding disebut "orang Jawa" *sila kalau ada yang keberatan*). Namun karena si perempuan di dekat saya ini semacam "memperolok" orang Jawa.. :(

Entahlah ini pembelaan saya atau apa pun. Tapi saya males lihat usaha mengkotak-kotakkan karakter orang. Entah lewat zodiak (Aquarius itu tipe yang liar, seniman, bla bla bla... Sori saya gak percaya. Saya pernah dibayar untuk menipu banyak orang dengan mengisi rubrik zodiak sebuah koran, dan masih ada yang percaya zodiak? Ok fine, in the end, that's your business).

Saya juga semacam marah kalau ada orang yang bilang orang Jawa itu ledha-ledhe -ngomongnya A, padahal maunya B- juga bahwa orang Sulawesi itu kasar, dan orang Minang pelit. Apalagi orang yang merasa sukunya paling hebat dan benar. Beuuh.. Lihat dong pacar saya yang asal Sulawesi, kalem banget gitu.. Akakakaka

Sungguh heran pada mereka yang masih saja berpikir seperti itu. Udah sekolah tinggi-tinggi, baca banyak buku, eh kok menilai orang lain sedangkal itu. Katanya udah jalan-jalan ke banyak tempat, lihat banyak budaya berbeda, kok masih saja melanggengkan stigma budaya sedemikian rupa.

Oke, labelisasi itu ada karena kebiasaan yang turun temurun. Akibatnya, orang suku A bisa menyimpulkan orang suku B kasar sehingga mudah melakukan kekerasan. Tapi kalau labelisasi itu dibiarkan terus-menerus, apa positifnya? Tidak ada. Itu justru jadi justifikasi orang suku B, jadi senjata mereka, bahwa mereka berhak kasar. Bahwa itu bawaan alamiah mereka.

Padahal tidak.

Coba, siapa yang lebih lembut antara saya "yang Jawa", dengan pacar saya "yang Sulawesi?". Jawabannya adalah pacar saya. Yang mengenal saya tentu tahu, bahwa saya "yang Jawa" ini ceplas-ceplos, galak, dan kalau marah kayak mercon. Apakah itu mencerminkan karakter yang menurut orang "Jawa banget"? :)

Ya, tapi gini-gini saya sayang banget sama kampung halaman saya. Sebagai orang yang besar di Semarang, saya masih terharu tiap mendengar denting Gambang Semarang terputar di Stasiun Tawang. Itu adalah ujud sayang saya pada Semarang, karena pernah punya banyak kenangan di sana. *tsaaah* *joget tari Serimpi* *ngemplok lumpia*

Lalu, (awas, ini curhat) apakah saya sedih jika nanti akan jarang mengunjungi Semarang karena bakal tinggal di Sulawesi? Jawabannya iya. Saya tak munafik, sedih harus berjauhan dengan keluarga. Tapi saya juga yakin saya akan bahagia di Sulawesi nanti (thank you, Skype :*).

Satu hal pastinya, saya emoh anak saya jadi orang yang etnosentris, yang merasa sukunya paling kece sedunia raya. Saya ingin anak saya tidak menghina-hina orang Jawa, Minang, Papua, Sulawesi, Sunda, mana pun, dan tak menilai seseorang berdasar sukunya. Jadi orang baik, yang menghormati dan menghargai orang lain, itu lebih penting.

Asli lagi sok serius banget gue. Laper, kali.

Comments

Popular Posts