Kuliner di Makassar: Ayo Makang-Makang !


Oke, mungkin udah banyak blogger atau situs yang jadi panduan soal "mesti ngapain sih, kalau kita cuma punya waktu sebentar doang di Makassar". Ngeceng doangkah di Pantai Losari? Kalap makankah? Atau cuma nongkrong di warung kopinya yang terkenal?

Nah, saya cuma pengin kasih gambaran. Ngapain aja sih saya selama seharian di Makassar? Itinerary nya bisa diubah sesuai kebutuhan. Tapi berhubung saya orang yang doyan makan, yaaaaa.. Tau sendiri lah saya lebih sering ngapain aja di sana, hehe..

Pagi itu saya dan pacar tiba di Makassar sekitar pukul 6 pagi dari Majene. Itu waktu yang pas banget buat berburu sarapan. Diantar Nono, si adek, saya pun menyusuri jalanan pinggir kota untuk mencari makanan yang oke. Saya hanya menemukan nasi kuning dengan menu superlengkap (ada abonnya, kering kentang, telur, ayam goreng, dan sambel) ditambah jalangkote, pastel khas Makassar.

Sekitar pukul 11.00, kami check in di Wisma Jampea, yang berlokasi di area Pecinan (ini jadi daerah backpacker karena tarif penginapannya yang murah). Harga semalamnya Rp 160 ribu saja, dengan fasilitas kamar mandi dalam + air panas, tv, AC, wifi, dan sarapan. Murah, kaaan..

Saya cocok banget sama penginapan ini. Mana posisinya berseberangan langsung dengan dua warkop: Phoenam dan Dottoro, pula. Untuk alternatif, masih banyak penginapan murah lain di Jampea. Di antaranya New Legend Hotel yang kamarnya lebih oke dibanding Wisma Jampea (tentu harganya jadi agak lebih mahal).

Sambil menunggu Putri dan Anam dari Jakarta, kami ngopi di Warkop Dottoro. Gilaaaaa kopi susu panas di warkop ini memang juara! Harganya kalau enggak salah ingat sekitar Rp 16 ribu. Pahitnya pas banget, enggak bikin mulut kaget. Susunya juga enggak lebai, cocok buat saya yang enggak doyan manis.

Mereka pun tiba di warkop dengan rute yang sangat gampang. Cukup naik damri dari bandara Sultan Hasanuddin ke Jl. Riburane (Depan RRI). Kira-kira 1 jam lah tiba di sana. Nah, Anam dan Putri tinggal melangkah ke arah gapura berwarna merah bertuliskan "China Town".  Sekitar 15 meter, Warkop Dottoro yang tampak sederhana di sebelah kiri menyapa.

Kelar ngopi, kami berempat jalan kaki menuju Coto Makassar Nusantara. Yes, kami jalan kaki! Asyik banget. Saya sebagai orang yang doyan jalan sih girang banget bisa jalan kaki sambil lihat-lihat kota *halah nggaya*. Jaraknya enggak jauh, sekitar 400 meteran *CMIIW* dan di perjalanan kita bisa lihat pelabuhan Makassar dan kepala kapal-kapal yang nongol sedikit dari balik tembok.

Kalau kamu doyan soto apalagi coto, Coto Makassar Nusantara wajib banget dicoba. Rasanya jauuuuuuuuuuuh lebih enak dibanding yang kita temui di Jakarta hahahahaha.. Ya iyalah Pit. Dagingnya banyak banget dan empuk. Itu bikin saya lupa selupa-lupanya pada kolesterol, wehehehe.. Kuahnya pun enak dan wangi, terasa banget rempah-rempahnya.

Coto Nusantara
Tapi jangan sampai kalap, karena harganya pun jauh lebih ramah kantong dibanding di Jakarta. Sekali makan, enggak sampai Rp 40 ribu lah, seorang. Itu udah termasuk buras (nasi yang dibalut daun pisang), ketupat, juga minum. Nggak heran lah ya kalau rumah makan ini selalu ramai pengunjung. Bahkan saat kami ke sana, Coto Nusantara sampai kehabisan stok dan mesti ambil bahan makanan dari cabang mereka yang lain. Hehe..

Kalau sudah kenyang, lanjutkan jalan kaki kita ke arah Benteng Fort Rotterdam. Saya cinta banget tempat itu. Nggak cuma karena wujudnya (tempat ini keren buat foto-foto kece, termasuk prewedding), juga karena kita bisa belajar sejarah di Museum La Galigo yang ada di dalam benteng. Fyi, La Galigo adalah epos terpanjang sejagat.




Menjelang senja, kami lanjut jalan kaki menuju restoran Hotel Makassar Golden Hotel (MGH). Itu adalah spot yang lumayan kece untuk menikmati senja. Di restoran itu, kita bisa bersentuhan langsung dengan angin pantai, melihat laut -yey!!-, juga ngemil es krim homemade mereka yang enaaaaaaak banget.

Dari beberapa jenis yang saya coba, yang paling recommended adalah mint chocolate, dan moka. Dua itu bisa kamu pesan dalam satu gelas mungil. Tapi yaaaa kayaknya sih bakal nambah gelas lagi karena rasa es krim mintnya nagih banget, hahahaha..


Kenyang es krim, kami jalan kaki lagi ke daerah Somba Opu. Lokasinya di seberang MGH. Di sana ada banyak toko oleh-oleh khas Makassar. Saya sendiri waktu itu beli kain, minyak cendana, juga balsem khas Makassar yang terkenal enak banget dipakai pijat. Oh ya, kalau bisa, ke sananya sebelum malam ya. Karena toko-toko di situ cepat tutup.

Setelah belanja-belanji, kami lanjut jalan ke Pantai Losari. Di sana asyik banget untuk nongkrong, apalagi saat malam. Banyak jajanan juga yang bisa kita pesan sembari menikmati pantai dan ngeceng. Salah satunya pisang epe, pisang penyet bakar khas Makassar yang disajikan dengan gula merah cair.

Jalan ke sana-sini, perut udah berontak. Kesambet Mi (titi) Anto yang konon terkenal banget. Udah kebelet, kami akhirnya males jalan kaki lagi. Pilihannya adalah naik pete-pete alias angkotnya Makassar, kembali ke Jalan Jampea. Dari Jampea, kami jalan sekitar 100 meter ke arah utara, perempatan Jl. Lombok-Jl Bali. Sampai deh, ke Mi Anto. Itu warung sumpah dah ramai bangeeeet. Bikin ingat warung-warung di Pecinan Semarang yang antreannya panjang saban malam.


Rasanya ya begitu. Hampir mirip mi titi bikinan saya. Muahahahaha.. Suomboooong. Tapi yaaaa tetap enak sih. Mahal menurut saya, dan yang epic adalah..... Saat bayar di kasir, si abang nanya ke kami: "Tisu?"

Saya dan Putri langsung melongo sambil pandang-pandangan. Jadiii... Ambil tisu itu mesti bayar?? Buahaahahaahhaaha.. *ROTFL*

Konro
Ikang

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment