Pernikahan, Penaklukan, dan Pilihan yang Kompromistis

Mengapa harus menikah? Sekadar untuk melegalkan seks atau karena tuntutan lingkungan? Apakah pernikahan adalah salah satu pencapaian penting bagi perempuan? Dan apakah pernikahan akan "menghentikan" mimpi seorang perempuan?

Banyak pertanyaan seputar status menikah yang jadi obrolan saya dengan kak Nindy dan kawan lainnya. Tentu, pertanyaan itu bukan karena berangkat dari kegelisahan saja, tapi juga pengalaman sejumlah teman. Karena nyatanya, suka tak suka, banyak kawan saya yang malah tidak bahagia setelah menikah.

Salah satu alasannya -dan yang menurut pendapat saya paling bikin geregetan- adalah karena beberapa pernikahan membuat seorang perempuan kehilangan dirinya. Ini karena relasi yang sebelumnya adalah pecinta-pecinta, berubah menjadi suami-istri (baca: pemegang kuasa-yang dikuasai).

"Perjanjian pranikah" bisa jadi latar belakangnya. Misalnya, ada calon suami yang sejak awal menasbihkan dirinya sebagai pemegang kendali rumah tangga, bahwa dialah si pencari nafkah utama, dan bahwa sang istri nantinya adalah pemelihara ruang domestik. Yang dalam sejumlah kasus, malah membuat si istri tak nyaman, stres, karena "dipaksa untuk tunduk" pada pembagian tugas yang seksis: yang mengacu pada pendapat "ya memang kodratnya perempuan begitu..". Ah.

Ada yang menyebut bahwa kesediaan perempuan untuk didomestifikasi adalah kesadaran palsu. Tapi saya sendiri merasa itu -bisa jadi- adalah pilihan yang sadar. Tentu, dengan sedikit unsur kompromi. Ada kawan saya yang bahkan memang sejak awal bercita-cita jadi ibu rumah tangga. Yang jika kita pertanyakan balik, "Apakah dia terusik jika sang suami memaksanya untuk bekerja di ruang publik?" Jangan-jangan, memang dia lebih suka (dan dengan demikian merasa lebih nyaman dan hepi) jika di rumah saja untuk mengurus rumah, anak, dan memasak? ("Biar laki gue yang capek, gue mau santai di rumah aja.").

Waktu bergerak, dan saya pun tumbuh. Pikiran saya juga makan lebih banyak cerita. Dulu, saya haqul yakin bahwa pemisahan tugas antara suami dan istri adalah efek kontrol patriarki di kehidupan kita. Tapi belakangan saya merasa semua adalah masalah pilihan, yang memang sedikit dibawah kungkungan patriarki, tapi lebih banyak karena cinta dan kondisi.

(Tak mau lebih jauh menyangkutkan cinta dan patriarki karena bisa sebahasan sendiri)Saya merasakannya sendiri. Saya dulu ogah menikah jika pada akhirnya semua kerja rumah tangga dibebankan ke saya, sementara suami boleh dan bebas bekerja di luar rumah. Maunya saya ya, perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja di mana pun, dan sama-sama mengerjakan urusan rumah tangga. Beban ganda bukan milik perempuan saja, tapi juga laki-laki.

Kalau kata orang Jawa, susah-seneng ditanggung bareng.

Karena emoh jadi masalah runyam di kemudian hari, saya dan suami pun membahas soal ini pada sebuah hari. Saya terangkan (lagi) padanya soal harapan dan pandangan saya. Bahwa saya tak mau melewatkan momen tumbuhnya anak kami, dan bahwa saya tetap ingin menulis, punya duit sendiri, dan punya toko kain. Bahkan kami juga sejak awal sudah bagi tugas untuk urusan bersih-bersih rumah.

Terserahlah kalau ada yang bilang saya terlalu kaku. Yang jelas, saya ingin pernikahan adalah tiket saya menuju proses sebagai manusia yang lebih baik. Saya tidak mau pernikahan menumpulkan pikiran saya, menipiskan hasrat melihat dunia, ataupun memenjarakan saya dari teman-teman.Thank God, suami saya enggak perlu diajak negosiasi lagi soal itu. Mungkin dia sadar, pernikahan bukanlah teralis atau lubang yang menghambat lajumu, tapi justru doping yang menjaga kewarasan kita.

Comments