|
Stadthuys, Melaka |
Pegal-pegal, lelah, dan tenaga yang seolah tinggal 25 persen. Bangun pagi di Melaka, saya semacam ingin lupa kalau hari itu kami harus segera bergeser ke Kuala Lumpur. Badan sedang kurang segar, tapi saya diingatkan untuk bergegas. Maka pagi itu, setelah ngintip pemandangan sungai sebentar dari balkon penginapan, saya mandi lanjut berkemas. Rampung sarapan di kedai India di depan penginapan, kami pun mulai jalan kaki lagi,
blusukan di salah satu bagian Melaka.
Agenda pagi itu adalah kuliner. Ya iyalah, saya gitu. Hahahaha.. Urusan perut wajib dibereskan dulu sebelum memulai perjalanan. Es cendol durian yang terkenal di Melaka jadi incaran. Setelah putar-putar di Pecinan lagi, saya pun mampir di sebuah kedai es cendol. Rasa es cendolnya ternyata tak terlalu istimewa. Terdiri atas kacang merah, cendol beras, parutan es, dan sebutir durian, minuman ini tak terlalu menyegarkan. Jauh dibanding es dawet di Jawa, apalagi yang dari Banjarnegara. Tapi ya udahlah ya, enak enggak enak, saya pasti habiskan itu makanan! Slurrrp
|
Jonker Walk |
|
Sarapan di kedai India |
|
Es Cendol Durian |
|
Pecinan |
Pagi itu kami mengunjungi Stadthuys lagi. Kontras dengan semalam, Stadthuys saat benderang sangat ramai manusia. Bahkan di depan salah satu bangunan merah, berjajar tenda-tenda tempat orang menjajakan pakaian dan oleh-oleh, seperti di kebanyakan tempat wisata kita. Buat saya, keberadaan tenda-tenda itu malah membuat pemandangan jadi kurang mengenakkan. Stadthuys yang kalau malam terlihat bersih dan kinclong, jadi agak berantakan saat terang.
Dari Stadthuys, saya melanjutkan perjalanan ke Portugese Wall dan Museum Maritim. Sekadar informasi, area objek wisata di Melaka berada dalam satu komplek yang letaknya saling berdekatan. Jadi jika Anda tak masalah jalan kaki, Anda tak perlu menyewa becak norak yang harga sewanya bisa mencapai MYR 40 atau sekitar Rp 140 ribu per jalannya. Untuk mempermudah Anda, ambil saja peta wisata di kantor Pariwisata Melaka di dekat Stadthuys. Gratis, kok.
Portugese Wall adalah replika benteng Portugis. Di sana terdapat sejumlah meriam, dan penjual serpihan barang-barang yang -konon- dulunya barang yang didagangkan bangsa Eropa dan Asia di Melaka. Di situ kita bisa melihat langsung petugas yang sedang
ngubek-ubek sungai di satu area kecil yang dibatasi pita kuning. Yang kebanyakan dia temukan sih pecahan keramik. Bentuknya pun kadang hanya seukuran jempol kaki.
Jalan 10 meteran dari Portugese Wall, kita akan menjumpai Kincir Air Melayu. Di tempat itu ada bangku dengan pohon-pohon rindang untuk Anda duduk bersantai. Berhubung siang itu panasnya tingkat provinsi, kami memilih duduk agak lama sembari (sok) membahas masa lalu Melaka. Suasana di tempat itu menyenangkan, apalagi di seberang sungai kita bisa melihat bangunan hotel Casa del Rio yang anggun.
Museum Maritim sudah terlihat dari Kincir Air Melayu. Bagaimana tidak, bangunan museum itu sangat tinggi menjulang. Museum Maritim berbentuk replika Flora de La Mar, kapal Portugis yang tenggelam di Melaka saat hendak pulang ke negara asalnya, membawa barang jarahan. Untuk masuk ke museum tersebut, kita mesti membayar MYR 6. Tapi harga itu sepadan dengan apa yang kita dapatkan di dalam museum berukuran panjang 36 meter dan lebar 8 meter.
|
Kincir Air Melayu |
|
Museum Maritim |
Fiuhhh. Adem! Itu yang saya rasakan begitu naik ke kapal gadungan Flora de La Mar. Bangunan museum ini seluruhnya kayu. Kita juga diminta melepas alas kaki demi menjaga kebersihan bagian dalam museum. Di dalamnya, kita seperti dibawa berselancar ke masa lalu, dengan segambreng informasi soal kondisi perdagangan di sekitar abad 15. Penjelasan itu disampaikan secara menarik, padahal banyak yang hanya berupa lembar kertas berpigura di dinding.
Di dalam museum tiga lantai itu pula kita bisa belajar soal kapal-kapal dagang negara-negara Eropa dan Asia yang pernah singgah di Melaka, sistem perdagangan ketika itu, jatuh-bangunnya Melaka sebagai bandar, kebangkitan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan transit besar menggantikan Melaka, pelaut-pelaut hebat Eropa, serta soal legenda Hang Jebat, kawan Hang Tuah.
|
Begitu dalamnya Museum Maritim |
|
Menara Taming Sari terlihat dari Museum Maritim |
|
Kalau naik becaknya disetirin mas itu, baru mau deh. Hahaha |
Kelar dari Museum Maritim, kami tak hentinya membahas betapa menarik cara penyampaian sejarah di tempat itu. Bandingkan saja dengan sejumlah museum di Jakarta yang terlihat kotor, apalagi Museum Bahari di Jakarta Utara. Coba ya pemerintah kita segera membuat
masterplan untuk membenahi Kota Tua dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Saya yakin, "punya kita" nantinya akan jauh lebih menarik, baik secara fisik maupun historis.
Kita pun sebagai masyarakat, kata konsultan arsitektur revitalisasi Sunda Kelapa, Pak Martono Yuwono, akan lebih bangga sebagai warga Indonesia. Karena keberadaan Kota Tua yang tertata apik bakal bisa membangkitkan nasionalisme, juga menggugah kesadaran untuk memperbaiki diri. Confucius pun pernah bilang,
study the past if you would define the future. Jangan tepikan dan pelajarilah masa lalu jika ingin mengatur masa depan.
Oh ya, ada sejumlah objek yang sebenarnya sayang jika tidak diintip, di Melaka. Sebut saja komplek Istana Kesultanan Melaka, Benteng A Famosa- benteng pertahanan Portugis saat mengalahkan Melaka, Menara Taming Sari tempat kita bisa melihat kota dari ketinggian 110 meter, dan sejumlah museum sejarah Melaka dan Melayu. Sayang, tak ada sehari kami di Melaka. Tempat-tempat itu pun tak sempat kami singgahi. Mungkin lain kali :)
Baca juga:
Malam, Sunyi, dan Melaka yang Romantis
Comments
Post a Comment