Kamu Percaya Tuhan?

Saya nggak menyangka film A Little Bit of Heaven yang kovernya ceria ini punya isi yang membuat saya menghabiskan berlembar-lembar tisu. Well, mungkin lain kali saya harus baca sinopsisnya dulu kalau beli DVD :(

Film ini berkisah soal Marley, cewek supersukses yang tiba-tiba didiagnosa menderita kanker usus besar. Bukan ide cerita baru sebenarnya. Tapi film ini membuat saya mengingat banyak hal. Tentang masa lalu, tentang Tuhan, tentang arti hidup, tentang kematian, dan tentang kehilangan..

Yang membuat saya suka film ini, sang sutradara, Nicole Kassell, mengemas "hal yang paling kita resah dan takuti" dengan humor. Salah satu sentuhan humor itu adalah dengan sosok tuhan yang diperankan oleh... Whoopie Goldberg! Heee

Marley sendiri sempat tertawa saat bertemu dengan tuhan. "Are u God? Sorry.. But I think you looks like Whoopie! It is because I like Whoopie?" ujarnya. Dan apa jawaban si "tuhan"? "Me too (like Whoopie).. Hehe.."

Film ini membuat saya memikirkan sejumlah pertanyaan. Apa yang saya lakukan kalau saya tahu minggu depan saya akan mati? Apakah saya sudah siap bertemu Tuhan? Manakah yang lebih menyakitkan, menghadapi kematian kita sendiri, ataukah melihat orang yang kita sayangi "pergi"?

Saya nggak tahu jawaban semua itu. Sampai sekarang, kehilangan yang paling membekas adalah saat saya kehilangan saudara saya, Imma. Rasanya mengerikan, saat kamu tahu orang yang kamu sayangi tidak akan hidup lebih lama, sementara dia tampak begitu "berani" menghadapi kematiannya sendiri..

Yah, mungkin hanya segelintir orang yang dikaruniai keberanian besar dalam menghadapi kematiannya sendiri. Dan Imma adalah satu dari segelintir orang itu. Dia dokter, dia tahu leukimia bisa sangat jahat padanya. Tapi yang saya nggak habis pikir, dia bisa selalu tersenyum pada setiap orang, dan bersikap seolah dia akan hidup 100 tahun lagi..

Vitri, Sofie, Imma, 20 years ago.. Who knows she's in heaven now....

Setiap membayangkan kematian, pada saat yang sama saya akan mengingat Tuhan. Selama ini saya sering mengabaikan Dia karena beranggapan "Ah, saya kan masih muda. Masih ada waktu untuk tobat. Masih ada waktu untuk perbaiki kualitas dan kuantitas ibadah." Padahal siapa yang tahu umur saya sampai kapan?

Saya manusia biasa, dan mungkin satu dari sebagian manusia yang tidak punya keberanian menghadapi kematian. Atau lebih tepatnya, saya takut mati sementara saya belum punya bekal yang cukup sebelum menghadap Tuhan.

Yah, saya nggak munafik. Saya pernah menempuh perjalanan yang tidak sebentar dalam menemukan Tuhan. Saya pernah meragukan Dia ada. Saya pernah bertanya, mana mungkin Dia ada dari ketiadaan. Bagaimana bisa Dia mengada dari kehampaan.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui saya, sampai akhirnya saya tidak pernah tenang saat shalat. Pun saat mengaji. Saya terus, terus, dan terus mempertanyakan. Apakah hukuman di akhirat itu ada? Apakah surga dan neraka memang sudah tercipta? Berapa lama saya disiksa di neraka nantinya? Hehe..

Saya lupa sejak kapan saya percaya pada Ludwig Feuerbach, tentang pendapatnya bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia dan bahwa agama hanyalah proyeksi manusia yang justru membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Juga pada Nietzsche, yang dengan sentimen anti spiritualismenya menganggap agama adalah alat memperbudak manusia. Dan tentu saja pada Karl Marx yang menilai agama sebagai keluhan makhluk terdesak yang ditindas dunia nyata

Sampai suatu hari pada 2005, saya diajak bapak dan ibuk umroh. Bisa dibayangkan? Di saat saya masih mempertanyakan-Nya, saya justru diberi kesempatan ke Tanah Suci. Saya berangkat dengan sedikit beban, dan bahkan agak deg-degan. Saya takut di sana dapat azab karena sedang jahat pada Allah. Hehe..

Nggak tahunya, "kepercayaan" itu muncul begitu saja. Hanya dalam sebuah momen di Baitullah, saya merasa teramat sangat merindukan-Nya. Saya nggak tahu apa yang terjadi. Tapi malam itu, saya tiba-tiba menangis. Sangat lama. Tepat saat bersimpuh di depan Ka'bah, dan dikelilingi ribuan orang yang menyerukan nama-Nya. Labbaik Allahumma labbaik.. Labbaik 'alaa syariikalaka labbaik..

Yah, kalau dibilang ajaib, memang ajaib banget proses saya kembali pada-Nya. Proses mencari, mempertanyakan, mencurigai, itu tiba-tiba 'blast'! Hilang entah ke mana saat saya berada di Masjidil Haram. Mungkin memang benar kata Romo Magnis Suseno, yang mengutip seorang filsuf (saya lupa namanya). Fides quarens intellectum; iman itu mencari pengertian :)

Saya percaya Allah ada dengan cara yang tak saya mengerti. Dengan cara yang tak bisa saya jelaskan. Bapak saya mungkin benar. Nggak akan ada habisnya jika saya terus mencari jawaban hal-hal yang sifatnya "naqli".

"Masalah agama, masalah Tuhan, itu hal-hal naqli, Nok.. Nggak bisa disamakan dengan hal-hal yang aqli (bisa diakal). Kalau Tuhan bisa dinalar akal, apalah bedanya dia dengan makhluknya?" kata bapak pada saya, dalam sebuah perjalanan berdua ke luar kota (saya dan bapak memang hobi membicarakan Kamu, Tuhan.. hehe..).

Yah, kita sama-sama nggak tahu apakah surga dan neraka memang benar ada. Tapi saya memilih untuk percaya.. Aaaaaah.. Saya sayang sama Kamu, Tuhan..!!!

Comments