Cermin dan Cerita Tentang "Saya"

Begitu seringnya kita mengagumi diri kita di cermin. Begitu senangnya kita saat seorang teman menawarkan foto bersama dengan handphone berkameranya. Begitu bangganya kita kala mendapat testimonial dari kawan yang habis-habisan memuji diri kita.

Lalu, apa yang sebenarnya kita cari saat kita bercermin? Apa yang kita harapkan dari bolak-balik mengabadikan wajah kita dengan kamera, pun meski pose dan senyum kita selalu begitu saja?

Kata Narcissus, ”Saya” adalah segalanya. Saya pantas mendapat segala puja-puji, karena saya hebat sedangkan orang lain tidak. Yang ingin saya ketahui hanyalah semua tentang saya.

Narsisme. Begitu akrabnya kita dengan kata itu kini. Kita senang saja dikatakan narsis. Bahkan kalau perlu, kita malah bangga menyebut diri kita sebagai ”penganut paham” narsisme.

Sejatinya, narsis bukan semata kegilaan bercermin, tapi juga keyakinan bahwa diri kita superior, ataupun perasaan ketagihan terhadap pujian orang lain. Narsis, kata pakar psikologi, tergolong penyakit kejiwaan.
Jiwa yang tersenyum, tak henti mengagumi betapa hebatnya diri kita adalah jiwa yang sakit. Diri yang tutup telinga terhadap kritik dan terus berharap pujian adalah diri yang rapuh...

Narcissus

Begitu dekatnya kita kini dengan narsisme. Kita memuja Narcissus, dan mengadopsi kebiasaannya mengagumi pantulan diri di sungai. Kita terus bercermin, memotret, bercermin, memotret, bercermin, memotret, karena memang dengan begitulah kita dapat memenuhi hasrat jiwa kita yang rapuh.

Bercermin dan memotret diri tentu tak apa, jika tak berpretensi memuja dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Karena memang, semua yang berlebihan adalah milik Narcissus. ..

Comments

Popular Posts