Kamu Punya Obsesi?

Saya tidak suka kata obsesi, sebenarnya. Karena kesannya buruk, negatif. Tapi saya di saat yang sama juga tidak menemu kata lain yang lebih pas menerangkan kondisi ketidakberdayaan yang luar biasa, dan perasaan tergila-gila yang begitu hebat pada lawan jenis kita. Jadi baik lah, kita pakai terma itu. hehehe..

Saya yakin, sadar atau tidak, setiap orang pasti punya orang lain untuk menjadi obsesinya. Saya pun juga. Pada akhirnya saya menyebut dia obsesi saya, karena saya menderita “penyakit menahun” karena lelaki itu.

Gejalanya, kamu menyukai dia tanpa alasan; kamu berusaha tau dia tinggal di mana (bahkan kalau perlu berusaha keras dengan berbagai cara untuk bisa mampir), kamu tahu ukuran sepatunya, kamu tahu sayuran apa yang dia benci, kamu sangat berusaha tahu siapa mantan-mantannya (dan mulai membandingkan diri), kamu sangat gembira saat satu ruangan dengannya, dia suka lagu yang bikin kamu ilfil tapi pada akhirnya kamu mendengarkan lagu itu berkali-kali di kamar, dan atau dia bisa bikin kamu pura-pura salah kirim sms hanya agar kalian bisa berbalas pesan.

Kamu pernah mengalami itu?

Oya satu lagi. Hati kamu tetap saja berdebar-debar setiap dia ada di dekatmu, meski dalam waktu yang bersamaan, kamu sudah pacaran dengan orang lain. Saya menulis begitu, karena saya mengalaminya. Saya dekat dengan si A, B, C, tapi tetap saja si obsesi tak mau pergi dari pikiran.

Saya kadang berpikir saya sudah gila. Dan penyakit gila saya itu sudah stadium empat. Gimana tidak gila, kalau saya terobsesi pada lelaki itu lebih dari lima tahun. Saya sudah terpisahkan jarak ratusan kilometer darinya. Tapi tetap saja, ada senyum setan di bibir saya setiap saya dan dia beberapa kali saling menggoda.

Lalu, sampai kapan obsesi bisa disembuhkan?

Waktu penyembuhannya mungkin berbeda-beda tiap orang. Sama seperti proses menjadi terobsesi yang beda antara satu orang dengan lainnya. Saya sempat tak percaya saya akan “sembuh”. Tapi nyatanya saya “sembuh”.

Yang membuat saya terbangun dari obsesi saya adalah, saat dia suatu malam “pamit” pada saya, mohon izin bahwa akan mendekati gadis lain untuk diperistri. Saya tidak tahu apakah sihir yang selama ini memikat saya padanya mulai luntur. Tapi yang jelas, malam itu juga saya belajar untuk nrimo. Saya belajar ikhlas, bahwa ada waktunya obsesi akan dikalahkan oleh kenyataan.

Saya tak menyangkal, sempat menyesal. Bagaimana jika saya jujur, bahwa saya terobsesi dari tahun ke tahun padanya. Apakah dia mau menerima saya? Apakah “pamit” itu tidak akan terjadi?

Tapi hingga kini saya tak memperoleh jawabannya. Karena, sekali lagi, obsesi akan dikalahkan oleh kenyataan. Dan kenyataannya adalah, saya pengecut. Pengecut dengan hanya menjadikannya obsesi.

Comments

Popular Posts