Witing Tresno Jalaran Seko Kulino...

Sidang Gayus Tambunan di PN Jaksel
Dulu sebelum menjadi wartawan, saya membayangkan pengadilan sebagai tempat yang mengerikan. Sangar, horor, dan membuat tegang. Entah kenapa saya berpikiran seperti itu. Mungkin karena saya mengenal pengadilan sebagai tempat menyidang orang-orang jahat semacam pembunuh, perampok, dan kriminal lainnya.

Saat menjadi wartawan di desk remaja, desk perkotaan, dan desk ekonomi, saya pun masih berpikiran yang sama. Hingga akhirnya saya pindah ke desk Nasional, tepatnya di bidang Hukum, dan lebih spesifik lagi di Kejaksaan Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saya pun untuk pertama kalinya mengenal apa itu jaksa penuntut umum (yes, i dont know their job actually..), siapa itu penasehat hukum, apa tugas hakim, dan apa bedanya tersangka, terdakwa, dan terpidana. Saya juga secara perlahan belajar apa itu surat dakwaan, apa itu eksepsi, apa beda tuntutan dengan vonis (oh God, how stupid i am as a journalist..), dan apa perbedaan replik dengan duplik.

Sungguh minggu pertama bertugas di desk hukum saya kayak orang dongok. Saat wartawan-wartawan lain pada lihai dan lincah ngomongin sidang perdana Sjahril Djohan (1 Agustus 2010 di PN Jaksel), saya cuma bengong. Pertama, saya nggak ngerti Sjahril Djohan tu makhluk apaan dan ngapain dia disidang. Dua, saya nggak tahu apa berita yang harus saya bikin dari sidang itu. Dan ketiga, saya nggak tahu kenapa jaksa-lah yang membacakan dakwaan. Heee *nyengir

So, saya pun cuma bengong saat jaksa Sila Pulungan (yang tampan dan cool itu) membacakan dakwaan untuk Sjahril (kata Mbak Dita vivanews.com saat itu, Sjahril adalah makelar kasus. Saya: apaan itu?). Nggak nemu cara lain, saya minta izin mbak Novi detik.com untuk nyontek beritanya. “Mbak, namanya siapa? Boleh saya contek beritanya?” kata saya waktu itu. Kalau saya jadi mbak Novi, ditanyain begitu mah saya udah ngeloyor pergi. Siapa eluuuuu...

Setiap pulang liputan, saya pun jadi rajin konsultasi pada bapak yang emang kuliahnya di Hukum. Damn, nggak membantu juga ternyata. Soalnya bapak saya nggak inget apa itu pleger, mede pleger, dkk.. hahahaha.. How can u forget your past, Dad?

Akhirnya, saya pun benar-benar menerapkan prinsip learning by doing. Saya yang selama ini sering skip halaman hukum di koran, mulai sering baca-baca berita bidang itu. Saya browsing background sejumlah kasus hukum yang sedang saya liput saat itu, dan saya bahkan membuat bagan kasus demi membuat saya lebih mudah memahami sengkarut perkara sejak awal. Nggak lupa, saya juga sering-sering bertanya pada para senior di lapangan seperti Mbak Dita, Bang Sandro, Mas Yogi, Pak Ahi, Mbak Riri, Mas Heru..

Nggak terasa, sepuluh hari lagi sudah Agustus. Itu berarti tepat setahun saya bertugas di desk Hukum. Kalau ditanya apakah saya bahagia, saya jawab dengan bangga, ya saya bahagia. Jujur saja saya nggak menduga akan sangat tertarik pada bidang ini. Saya pun pada mulanya tidak berekspektasi akan betah lama-lama di sini.

Tapi sungguh, semua kerumitan itu.. Pleger, mede pleger, doen pleger, tempus delicti, locus delicti, inkracht, ade charge, obscuur libel.. sudah membuat saya jatuh cinta.. Nggih, pancen leres.. witing trisno jalaran seko kulino..

Doorstop Gayus di Ruang Sidang

Comments

Popular Posts