Backpacking Day 5 Part 2: Dunia Saya Jungkir-Balik di Vietnam

Vietnam Dong saya cuma VND 1,2 juta atau Rp 600 ribu
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dengan penerbangan AirAsia dari Bangkok, kami sampai juga di Bandara Than Son Nhat, Ho Chi Minh City, Vietnam. Kami mendarat sekitar pukul 17.30, saat matahari sedang beranjak menghilang. Bandara di kota terbesar di Vietnam ini menurut saya jauh lebih kecil dibanding Bandara Soekarno Hatta.

Secara arsitektur bangunannya tidak spesial, hanya berbentuk balok memanjang. Khas Vietnam sih, karena kemudian saya tahu bentuk bangunan dan gedung di negara utara Indonesia ini memang serba kotak. Mirip dengan bangunan-bangunan di Mekkah dan Madinah yang tidak terlalu ramai ornamen.

Saat keluar dari pesawat, saya sempat tanya pada Novi. Kok kami nggak dapat formulir imigrasi, ya? Padahal kan seharusnya dibagikan. Apa kami bertiga tidur semua? Hehe.. Dengan cueknya, kami pun langsung berjalan menuju dalam bandara, dan mencari orang yang sekiranya bisa ditanyai.

Sampai dalam, ternyata ada beberapa orang yang sudah berbaris di bagian imigrasi. Kata Wita, ada seorang bule yang sama bingungnya dengan kami, karena tidak mendapat formulir imigrasi. Tapi setelah mengamati beberapa orang yang sedang di Imigrasi, kami akhirnya tahu kami tak perlu formulir. Cuma menunjukkan paspor, dan stempel pun didapat! Oh Welcome, Vietnam!

Karena di Indonesia jarang ada Money Changer yang menyediakan Vietnam Dong (VND), kami pun harus menukarkan dollar yang kami bawa di Bandara. Ternyata rate di Bandara lumayan oke. Saya pun menukarkan setengah dollar yang saya punya ke mata uang Vietnam yang nilainya 2x lipat Rupiah. Sempat berasa orang kaya deh, karena Rp 10 ribu, di sini berarti VND 20 ribu. Hehehe

Kepada pegawai money changer, saya sempat bertanya apakah kami bisa mendatangi District 1, area backpacker, dengan bus. Lumayan kan kalau irit. Hehe.. Tapi kata si Mbak, kalau sudah jam 18.00, busnya berhenti beroperasi. Jadi mau tak mau, pilihannya adalah taksi. Hiks. Sedih sih, tapi nggak apa-apalah. Toh dari kemarin kami belum sekali pun naik taksi.

Pilihannya hanya dua, taksi Vinasun atau Mai Linh. Dua taksi itu kalau di Indonesia semacam Blue Bird dan Putera lah, yang nggak muter-muterin orang. Karena giliran saja, kami mendapat Mai Linh. Bentuknya ternyata Innova gitu. Bagus deh. Si sopir Mi aLinh sempat tertawa karena saya... Salah masuk pintu mobil! :'(

Saya nggak tahu, kalau ternyata Vietnam itu serba kidal. Jadi nggak heran kalau mereka ngetawain saya karena masuknya ke pintu mobil depan sebelah kiri. Hehe.. Saya juga masih belum bisa adaptasi karena taksinya jalan di sebelah kanan. Pun saat menyeberang jalan, saya kerap linglung karena arah kendaraannya berbeda dengan di Indonesia. Dunia saya jadi jungkir-balik lah, di sini.

Sopir taksi kami orangnya cool banget. Dan saat di perjalanan kami supernorak, dia tetap bergeming. Kontras banget lah sama Novi yang selama perjalanan terus mengeja nama-nama toko yang kami lewati, kayak anak umur 3 tahun belajar baca, wkwk. Kayaknya si abang sopir yang mukanya mirip Fario, rekan saya dari mediaindonesia.com, sebenarnya bete dengar Novi mengeja. Hehe

Ho Chi Minh City (HCMC) mirip dengan Solo, dan sepertinya mirip juga dengan Hongkong (yang saya lihat dari majalah-majalah). Jalanannya sempit dengan lampu jalan warna-warni, banyak ornamen pecinan khas penganut Kong Hu Cu, dan bangunannya rata-rata tampak kuno dan kusam, yang menurut Wita membuat kita seolah berada di tahun 1980-an.

Pojokan Pham Ngu Lao, area backpacker, diguyur hujan
Kota ini juga tampak misterius bagi saya. Kemisitisan terasa begitu tiba di Pham Ngu Lao, salah satu irisan jalan District 1. Daerah ini memang area backpacker, tapi sangat kalah gaduh dibandingkan dengan Khaosan Road, Bangkok, apalagi Bangla Road, Patong. Kesamaan ketiga daerah itu terletak hanya pada turis-turisnya. Hehe..

Kami sempat melihat-lihat tiga guesthouse, sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada Ly Tung, yang letaknya ada di dalam gang sempit District 1. Ly Tung sebenarnya bukan hotel, tapi rumah warga biasa yang kamar bagian atasnya disewakan. Dan kami sedang kurang beruntung karena dapat kamar di Lantai 3. Ngos-ngosan deh, tiap naik ke kamar :p

Tapi kami cukup beruntung karena dapat kamar seharga USD 4 per malamnya. Ini harga termurah yang kami dapat, karena harga di hotel sebelumnya berkisar USD 5-7 per orang tiap kamar. Dengan harga semurah itu, kami dapat kamar dua kasur- satu besar dan satu sedang, dua kipas angin, AC, TV, dan kamar mandi dengan pemanas. Lumayan lah, apalagi tinggal di Ly Tung berasa tinggal rumah sendiri..

Setelah mandi, kami bertiga keluar dan berjalan keliling kota, sekalian cari makan malam dan paket wisata untuk besok. Lagi-lagi, kota diguyur hujan. Saya pun benar-benar bisa merasakan hujan di tiga kota sekaligus, yakni Phuket Town, Bangkok, dan HCMC. Senang sih, tapi karena hujan pula kami jadi nggak bisa motret-motret.

Setelah berjalan ke blok yang berbeda dengan Ly Tung, kami menemukan sebuah resto mungil yang interiornya tampak bersih dan nyaman. Karena sudah sangat lapar, kami tak berpikir panjang untuk masuk ke resto Pho Hai Thien. Harganya mahal juga ternyata. Saya memesan nasi goreng kambing seharga VND 45 ribu dan Vietnamese Ice Coffee seharga VND 20 ribu. Tapi rasanya? Ajiiiib..

Nasi goreng kambing khas Vietnam berbeda dengan di Indonesia. Di sana, daging kambingnya tidak dipotong kotak-kotak melainkan diiris tipis dan kata Novi semi dicincang. Nasinya juga sangat padat dan agak berlemak. Yummy banget, lah. Sedangkan kopinya tergolong manis karena susu krimnya sangat kental. Tapi cocok sih di lidah saya.

Nasi goreng daging kambing, @ VND 45 ribu

Vietnamese Iced Coffee, @ VND 20 ribu
Setelah kenyang, kami menyusuri gang-gang di area itu, untuk mencari paket tur esok hari. Saya dan Wita cenderung memilih Tur Sungai Mekong 1 Day, karena mikirnya kami nggak bakal capek. Ya iya lah, cuma duduk di perahu, hehe.. Sementara Novi lebih tertarik pada tur Cu Chi Tunnels. Saya nggak terlalu pengin pilihannya Novi karena sedang letih dan takut nggak cukup masuk ke lobang goanya. Hihi

Setelah mengecek di beberapa tempat, kami akhirnya memilih agen tur di dekat taman kota District 1. Harganya lebih murah dibanding agen lainnya. Untuk satu orangnya, kami dikenakan biaya VND 160 ribu saja. Itu sudah termasuk bus AC menuju Sungai Mekong, keliling pakai sampan kecil, sepeda, melihat pabrik pembuatan madu dan permen kelapa, makan siang, buah, dan beberapa lagi yang saya lupa. Hehe..

Novi merayu Mas agen travel yang sangat kalem :
Sepertinya kami bertiga sudah teramat lelah, setelah 5 hari tanpa henti jalan-jalan keliling kota dan objek wisata. Alhasil, Wita dan Novi mengaku sudah tak sanggup lagi saat saya ajak nongkrong di salah satu bar untuk mencicipi bir khas Vietnam. Baiklah, kami pun akhirnya berjalan ke arah penginapan. Tak lupa, kami mampir ke Circle K untuk membeli air mineral dan mencicipi teh botolnya.

Oh ya, di HCMC nggak ada 7-11. Beda dengan Bangkok dan Phuket yang dijajah franchise Amerika Serikat itu. Hal ini sangat saya sayangkan, karena harga Circle K jauh lebih mahal dibanding 7-11. Bandingkan saja, segelas kopi ukuran medium di 7-11 Thailand hanya dihargai 18 baht atau Rp 5400. Sementara di Circle K Vietnam harganya dua kali lipatnya. Ya udahlah, mungkin saya memang disuruh ngirit. Semangat!! Saatnya istirahat untuk tur ke Mekong besok!

Biaya hari ke-5 di Vietnam (dalam rupiah):
1. Taksi: Rp 25 ribu
2. Penginapan 2 malam: Rp 80 ribu
3. Makan malam: Rp 33 ribu
4. Tur Sungai Mekong: Rp 80 ribu
5. 3 air mineral di Circle K: Rp 13 ribu

Total pengeluaran: Rp 231 ribu

Comments

Popular Posts