Rokok

Saya nggak merokok, dan nggak tahan dengan asap rokok. Saya nggak tahu apakah ini ada hubungannya dengan paru-paru saya yang sempat flek saat masih balita. Yang jelas saya bisa langsung lemes jika menyesap bau tar tembakau.

Bapak saya dulu perokok. Tapi berhenti saat saya kecil. Karena itu bisa dibilang saya nggak terbiasa menghirup udara yang dicemari asap rokok. Kondisinya berubah saat saya pindah ke Jakarta pada Januari 2010.

Saya menduga, jika di-scan, mungkin warna paru-paru saya sudah jauh berbeda jika dibikin perbandingan antara 2009 dengan 2011. Bagaimana tidak? Kualitas udara di Jakarta sangat buruk.

Di Jakarta, saya sering menghirup asap hitam kendaraan bermotor. Saya yakin, itu membuat paru-paru saya ekstrakeras menyaring kotorannya. Belum ditambah asap rokok yang saya jumpai sejak di Kopaja, kantor, hingga tempat liputan.

Dulu saya nggak pernah bosan mengingatkan kawan saya agar nggak merokok di depan saya. Jujur saya katakan kepadanya, saya nggak kuat menghirup baunya yang menyiksa organ pernafasan saya. (Saya pribadi tak mempermasalahkan seseorang merokok. Cuma, mbok ya ngrokoknya nggak di ruang publik, gitu lho)

Namun entah kenapa, sekarang saya kerap abai. Sekali dua kali saya -dengan penuh maaf- masih minta tolong si perokok tidak merokok di dekat saya. Tapi lama-lama, saya seperti terlupa. Saya kerap tak acuh, meski asap rokok itu membuat saya megap-megap dan mata saya pedas.

Kadang heran sih, kenapa banyak perokok yang begitu cueknya merokok di tempat umum seperti bus, rumah makan, kebun binatang, atau perokok yang begitu cueknya merokok di ruangan tertutup ber-AC.

Wallahualam lah dengan alasan mereka melakukan itu. Mungkin saya juga salah, karena tak pernah memprotes itu pada mereka. Nggak seharusnya juga kali ya, saya pede mereka sadar diri dan empati.

Comments

Popular Posts