Review "Rectoverso": Memfilmkan Puisi Patah Hati

Abang tak kuasa menahan rindu. Emosinya meledak. Raungan tangisnya di pelukan sang bunda adalah bukti ia membutuhkan Leia. Sakitnya begitu dalam untuk cintanya yang sederhana. Kepatahhatian Abang, kesendiriannya, dilukiskan begitu haru oleh sang sutradara, Marcella Zalianty, dalam film pendek Malaikat Juga Tahu.

Fyi, Malaikat Juga Tahu adalah bagian dari film omnibus Rectoverso, yang diadopsi dari novel Dee Lestari berjudul sama. Selain Malaikat Juga Tahu, ada pula Curhat Buat Sahabat, Cicak di Dinding, Hanya Isyarat, dan Firasat. Keempat film itu masing-masing disutradarai oleh Olga Lidya, Cathy Sharon, Happy Salma, dan Rachel Maryam.

Jujur saja, saat membaca novelnya dulu, saya menikmati namun tak sampai tersedu-sedan. Namun begitu nonton film berdurasi sekitar 1,5 jam ini, hidung saya sampai mampet saking seringnya mewek. Marcella dkk, menurut saya, sukses mengemas "puisi-puisi" Dee ke dalam sebuah film.

Rectoverso disajikan secara interwoven, yakni satu kisah dengan kisah lain tampil silih berganti, namun tidak tuntas dalam satu kesempatan. Awalnya mungkin bingung dengan gaya tutur film semacam itu. Namun ternyata cara itu tokcer untuk Rectoverso yang bertagline "Cinta yang Tak Terucap". Begitu sampai bagian klimaksnya, "Bukkk!! Jder!! Huaaaaa..." dan kita pun dibuat sesenggukan tak berkesudahan..

Entahlah, mungkin memang film sifatnya personal. Ada kawan saya yang punya kesan biasa-biasa saja pada film ini. Namun bagi saya, film ini bisa konsisten meluluhlantakkan tampang garang saya, sampai akhirnya keluar bioskop sambil ngelap mata pakai tisu dan sibuk buang ingus. Hihihi..

Saya cerita sedikit soal kelima filmnya, ya. Yang pertama adalah Malaikat Juga Tahu. Bagian ini berkisah soal jatuh cintanya Abang (Lukman Sardi) pada Leia, perempuan yang ngekos di rumah Bunda (Dewi Irawan), ibu si Abang. Keadaan merumit setelah adik Abang, Hans (Marcel Domits) juga menaruh hati pada Leia.

Cerita kedua adalah Cicak di Dinding. Film ini mengenalkan kita pada seniman bernama Taja (Yama Carlos) dan Saras (Sophia Latjuba). Keduanya sempat menjalani some nights stand (soalnya bercintanya enggak cuma semalam sih), sampai pada suatu pagi Saras menghilang tiba-tiba. Setelah terpisah bertahun-tahun, keduanya bertemu lagi dalam kondisi yang rumit.

Saras dan Taja

Film ketiga adalah Curhat Buat Sahabat. Amanda (Acha Septriarsa) dan Reggie (Indra Birowo) bersahabat lama. Reggie lah yang selama ini menampung segala curhatan Amanda soal sederet pacarnya. Sampai akhirnya Amanda sadar, lelaki yang selama ini selalu ada buatnya adalah Reggie.

Keempat, Firasat, bercerita soal Senja (Asmirandah), yang punya kemampuan membaca petanda. Ia bergabung dalam Klub Firasat pimpinan Panca (Dwi Sasono), lelaki yang jago filsafat dan punya intuisi tajam. Suatu ketika Senja mendapat firasat, ia sekali lagi bakal mengalami kehilangan orang yang dia sayangi.

Sedangkan Hanya Isyarat menghadirkan lima orang backpacker yang kopi darat di sebuah daerah berpantai cantik. Pada suatu malam, kelimanya bertukar kisah pengalaman hidup masing-masing. Al (Amanda Soekasah) yang memendam perasaan pada Raga (Hamish Daud) dalam momen itu mengaku dirinya hanya bisa cinta diam-diam. Sebatas memandang punggung orang yang dikasihinya.

Dua film yang paling mengiris hati dan tanpa ampun membuat air mata terus keluar adalah Malaikat Juga Tahu dan Curhat Buat Sahabat. Luar biasa, saya bisa nangis sejak pertengahan hingga akhir film Rectoverso. Hahahaha.. Saya paling enggak kuat nahan nangis saat adegan Abang kehilangan Leia. Oh nooooo.. aktingnya Lukman Sardi sebagai pria autis dahsyat banget. Dia memang sangat jago mengaduk emosi dan membuat hati remuk..

Hati saya juga tercabik-cabik saat menonton Curhat Buat Sahabat. Aelaaaah.. Dialognya banyak yang mengena. Saya suka aktingnya Acha. Dia sangat asyik membawakan karakter Amanda yang easy going, ceriwis, sekaligus manja. Sayang, dia tampak terlalu muda untuk seorang Indra Birowo.


Amanda dan Reggie

Dialog yang sukses membuat air mata saya keluar untuk kali pertama adalah saat Amanda curhat soal pacarnya yang tidak pernah bisa menerima dia apa adanya. Kalau enggak salah kalimatnya: "Gue enggak pernah bisa sempurna di matanya...". Maaaaaaak.. Ciamik lah cara Olga Lidya mengemas film ini.

Tiga film lainnya juga bagus. Cuma ya sekadar bagus, tidak sampai membuat air mata meleleh berlebihan. Di antara ketiga lainnya, saya suka Cicak di Dinding karena jalan ceritanya yang tidak biasa. Saya juga suka ending film garapan Cathy Sharon ini. Memukulnya pas di sasaran. Membuat saya begitu takut berada di posisi Saras.



Ya intinya sih saya suka film ini. Selain karena saya penggemar film drama komedi romantis, juga karena formula filmnya yang mantap. Manis, puitis, dan melankolis tapi tidak murahan. Terserah kalau ada yang tidak menyukainya. Saya sendiri sepertinya bakal nonton lagi untuk kedua kalinya.

Comments

Popular Posts