Review Film Kartini: Kartini Kekinian versi Dian


Satu hal yang tidak saya syukuri setelah film Kartini: make up area mata saya jadi rusak. Hahaha.. Khas Hanung yang senang membikin film kaya adegan haru-biru, Kartini pun demikian.

Tapi, ini beda dari film Rudy Habibie, juga Soekarno. Keharuan dalam Kartini justru lebih mirip dengan film Jomblo yang dibikin Hanung di awal kiprahnya di film. Keharuan yang terbangun lantaran saya merasa sedih, iba, gemas, marah, sekaligus ngeri membayangkan ada di posisi tokoh film tersebut.

Ini mungkin yang membedakan Kartini versi Hanung dengan karya Sjuman Djaja tahun 1980-an. Di tangan Sjuman Djaja, Kartini yang diperankan Yenny Rachman merepresentasikan sosok yang kita kenal dalam lagu Ibu Kita Kartini. Yakni perempuan ningrat yang cerdas, suka berdialektika, keibuan, dan anggun. Beberapa kali nonton film itu pas masih kecil, saya sebatas kagum pada Bu Kartini. Tapi ikut merasakan dera feodalisme ketika itu? Sayangnya tidak.

Nah, Hanung, yang sudah lebih tiga kali menggarap film biopik, mencoba bikin interpretasi baru dalam Kartini. Oleh Hanung, Kartini (Dian Sastrowardoyo) adalah perempuan "gila" di zamannya. Dia pecicilan, cuek ketawa ngakak, iseng, suka nongkrong di atas tembok sambil duduk mekangkang, berani, selain memang cerdas, maniak baca buku, dan jago Bahasa Belanda.

Ayushita malah lebih mirip Kartini, ya hehehe
Dengan interpretasi ini, Hanung punya modal segar buat membikin filmnya jadi asyik ditonton. Apalagi Kartini punya "geng" cewek kece beranggotakan Kardinah (Ayushita) dan Roekmini (Acha Septriarsa) yang tak lain adik kandungnya. Nggak cuma kece, jeng Kardinah dan Roekmini ini juga sama pintar dan lincahnya seperti si kakak.

Di balik tembok rumah pingitan, ketiganya sama-sama gemar melahap buku-buku milik Kartono (Reza Rahardian), kangmas mereka yang sekolah di Belanda. Mereka juga sering ngobrol soal ketidaksetaraan gender, pernikahan dan kungkungan tradisi, bahkan bertekad untuk tak kawin karena tanpa itu pun mereka bisa berkarya. Nah!

Bahwa eksplorasi sejumlah karakter di film Kartini lumayan menarik, iya. Apalagi Hanung dibantu para aktris dan aktor hebat seperti Reza, Dian Sastro, Deddy Sutomo, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu (seru juga dulu bokapnya bikin film Kartini, sekarang dese main di versi anyarnya hihi), dan Nova Eliza.

Bingung mana yang paling keren antara Deddy yang memerankan Pak Sastro yang progresif untuk ukuran priyayi Jawa, Djenar sebagai ibu tiri yang dingin karena merasa tak diinginkan suaminya, atau Christine yang menjelma perempuan Jawa yang triman dan pasrah pada kehendak Sing Kagungan Urip. Bahkan ya, pemeran tokoh ecek-ecek kayak Kartini kecil dan simbok pembantu rumah pun mainnya bagus!

Tapi seperti banyak orang lain, saya pun masih gemas-gemas gimana gitu atas pilihan Hanung mendapuk Dian Sastro sebagai Kartini. Really? Si Cinta?? Kalau kata bojo saya, kayak enggak ada orang lain aja.

Baiklah, Dian berusaha keras di sini menjadi pahlawan emansipasi perempuan yang tulisannya sarat quote inspiratif Tumblr. Boleh lah, casciscus Bahasa Belanda dan ekspresi kenes sekaligus bandelnya itu. Tapi jujur saja, saya sampai akhir film masih merasa Dian tak cocok sebagai Kartini.

Tak hanya sudah terlalu tua (maaf lho, Mbak.. Situ ayu tapi pancen kematengan, je..), tapi juga masih belum lanyah bicara Bahasa Jawa, dan yah.. Terlalu kekinian. Saya masih melihat Dian sebagai Dian yang sedang akting sebagai Kartini. Bukan Dian yang sudah hilang demi memunculkan Kartini. Dian si perempuan kota yang doyan pake kebaya warna kekinian (dusty pink, mint, berbahan kain crepe).. Dian yang demen pakai lip cream warna mauve nude dan pakai riasan no make up make up yang dewy.. Ah maaf kok jadi jahat.



Walau begitu, Dian tetap bisa membawa saya ke aura menyeramkan tahun 1900-an. Masa di mana hidup perempuan seperti berakhir di teras rumahnya saja.. Masa di mana perempuan tak boleh keluar rumah sebelum "diselamatkan" pria yang meminangnya, masa di mana perempuan cerdas adalah tabu dan ancaman, masa di mana harga diri seorang perempuan dipertaruhkan pada pernikahannya, masa di mana perempuan tak bisa berkarya selain patuh pada tiap sabda orang tua dan suaminya..

Kengerian yang sama saya rasakan seperti saat membaca Gadis Pantai-nya Pram. Bagi saya dan perempuan masa kini (wejiaaaan masa kini ki maksude sing doyan lipen matte dan mau semuanya setara dengan lelaki gitu lho), kengerian zaman itu jadi semacam teror.

Nah, "teror" kesetaraan gender itu yang terbangun baik lewat sejumlah dialog antarpara tokoh film Kartini. Salah satu dialog yang brengsek sedihnya adalah saat Ngasirah (parah Christine Hakim kalo akting. Paraaaaaah banget cakepnya, asli!) cerita pada Kartini soal pilihan hidupnya. Juga saat Kartini "pamit" pada Ngasirah untuk kawin dengan -errrr- Bupati Rembang yang udah punya tiga bini.

Sosok Ngasirah sendiri memang menarik. Ia adalah istri pertama Raden Mas Ario Sosroningrat, bapaknya Kartini (Dedy Sutomo yang aktingnya juga mantap jiwa di sini). Namun karena Pak Sosro pengin jadi Bupati Jepara, ia mesti menikahi perempuan ningrat lebih dulu, yakni Moerjam (Djenar Maesa Ayu). Konsekuensinya, Ngasirah yang bukan darah biru harus rela jadi pembantu di rumahnya sendiri. Ia juga tak boleh tinggal di rumah utama, dan dilarang sekamar dengan Kartini dan anak kandungnya yang lain.

Bagian itu diracik Hanung menjadi drama yang sialannya, bikin saya gagal menahan tangis. HAHAHAHAHA.. Nggak apa-apa deh, Nindy dan masbro "tuuuuut" juga nangis, kok. HAHAHAHAHAHA *cari bolo

Lantas apakah filmnya jadi menye-menye? Enggak sih, sebenarnya. Usaha menyuguhkan Kartini yang inspiratif, terpenuhi kok menurut saya. Hanya memang, pemikirannya Kartini yang mendobrak tradisi ketika itu, kurang saya tangkap. Tak perlu sih, ada adegan monolog ala Yenny Rachman saat di dalam kamar pingitan. Tapi entahlah, saya sebenarnya berharap Hanung bisa memunculkannya dengan cara yang cantik.

Sama cantiknya dengan adegan "obrolan" Kartini dengan sahabat penanya dari Belanda, Stella, yang divisualikan oleh Hanung. Juga "perjumpaan" Dian eh Kartini dengan karya penulis Belanda, Cecile de Jong. Alih-alih bertutur lewat lisan, Hanung memilih menghadirkan Cecile "secara nyata" di samping Kartini. Bahkan Cecile juga didatangkan Hanung untuk "menemani" Kartini, Kardinah, dan Roekmini membaca dan menyelami karyanya.. 

Kelar menonton film ini, saya jadi merasa bersyukur hidup dan tumbuh di zaman ini. Walau memang belum sepenuhnya lepas dari tradisi dan stereotipifikasi "tugas" ibu dan istri, tapi setidaknya saya punya kesempatan besar buat memilih dan "berlari". Saya hanya bisa kasihan pada kalian yang masih mencibir kepahlawanan Kartini. Ah, ragu saya kalian punya keberanian sepertinya, bahkan sekadar untuk mengutarakan keinginan :))


Comments

  1. ih jadi penasaraaaan pengen nonton.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wakakaka.. trus kamu harus ke sini dulu ya buat nonton? :DD

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  4. komen dulu lah; lama gak mampir sini :p

    ReplyDelete

Post a Comment