Melepas Harry Potter, Melepas Sahabat Masa Kecil

Akhirnya datang juga saat di mana saya harus mengakhiri perjalanan saya di dunia sihir bersama Harry Potter, Ron Weasley, Hermione Granger, dan lainnya. Mmmh.. kayaknya saya bakal agak sentimentil menulis ini. Yah, mau nggak mau, suka nggak suka, ikhlas nggak ikhlas, perjalanan memang akan segera berakhir.

Saya ingat, saat JK Rowling mengatakan Harry Potter and The Deathly Hallows adalah seri terakhir Harry Potter, saya dan adik-adik saya langsung sedih. Wah, berarti nggak ada lagi dong novel seri yang kami tunggu-tunggu.. Tapi saya saat itu masih nggak terlalu sedih. Karena masih ada film HP yang belum tuntas penayangannya oleh Warner Bros.

Tapi sekarang, saat film ke-7 pun sudah diputar di bioskop-bioskop, saya sadar. Ini adalah kali terakhir saya menjumpai Harry, Ron, dan Hermione di layar lebar. Tak akan ada lagi Harry Potter ke-8, atau mungkin prekuel Harry Potter layaknya dilakukan JRR Tolkien dengan The Hobbit-nya.

Saya nonton di Epicentrum pukul 16.15, ditemani Mami dan Ina. Duduk di bangku tengah dan mengenakan kacamata 3D, saya pun mulai menyimak film tanpa ekspektasi apapun. Yah daripada berharap terlalu banyak dan kecewa, lebih baik dinikmati saja.

Mungkin kondisi hormon yang sedang fluktuatif ambil andil dalam membuat emosi saya labil. Honestly, saya terus-menerus meneteskan air mata saat menonton film ini. Yeah I know, ini bukan film drama romantis melainkan action-drama (semacam The Next Three Days menurut saya). Tapi yah begitulah adanya. Entah berapa kali saya melepas kacamata untuk menghapus air mata yang terus merembes turun.

Sudah saya bilang kan, saya memang sedang sentimentil. Bahkan Mami, Ina, Sofie, mengaku tidak tahu bagian apa dari film itu yang bisa membuat saya tersentuh hingga akhirnya menangis. Padahal kan banyak, hiks hiks.. Saya nangis saat Aberforth Dumbledore sebenarnya selama ini membantu Harry (bagi saya itu mengharukan...).

Saya juga menangis haru saat Harry kembali ke Hogwarts melalui lukisan di rumah Aberforth dan disambut hangat kawan-kawannya. Saya juga menangis saat Fred Weasley, Tonks, dan Remus Lupin tewas usai perang di aula besar Hogwarts. Saya juga menangis saat Harry mengobrol dengan Albus Dumbledore di alam bawah sadarnya. Saya juga menangis saat Severus Snape dibunuh oleh Voldemort dan dijadikan santapan Nagini.

Dan puncaknya, saya amat menangis saat pensieve memutarkan kenangan Snape sejak ia kecil hingga dewasa. Saya merasa sangat terbawa emosi dengan penggambaran Snape kecil yang jatuh cinta dengan Lily, saat Snape harus menahan perasaan karena Lily ternyata menikahi James Potter, dan bagaimana Snape bersumpah akan melindungi Harry karena Harry adalah anak orang yang sangat dicintainya..

Oh please, give me one more time to watch that movie, saya yakin saya masih akan termehek-mehek dengan adegan itu. Well, pemutaran kenangan Snape sekaligus membawa saya flash back ke sepuluh tahun lalu. Di mana saat itu Harry masih berusia tujuh tahun. Masih kecil, masih imut-imut, suaranya belum ngebas, belum punya jakun, dan tubuhnya masih kurus kerontang.

Bagi saya –dan saya yakin bagi ribuan orang lain di dunia- Harry Potter bukanlah orang asing. Dunia sihir dengan sekolah sihir Hogwarts di dalamnya, juga bukanlah tempat yang sama sekali baru. Saya mengenal Harry, Ron, Hermione, Neville, Draco, Seamus, sama seperti saya mengenal teman-teman sepermainan saya.

Kalau dirunut, sudah sebelas tahun saya mengenal mereka, dan sering ikut menjalani petualangan ke koridor-koridor tersembunyi di Hogwarts, masuk ke Hutan Terlarang, minum teh ke gubuk milik Hagrid, beli butterbeer di Three Broomstick Hogsmeade, main ke King’s Cross peron 9 ¾..

Tanpa saya sadari, saya tumbuh bersama Harry dkk, sejak SMP hingga saya kini sudah bekerja. Saat saya masih bocah SMP culun, Harry pun masih sama lugunya. Dan saat kini saya sudah berusia seperempat abad, Harry pun sudah tumbuh dewasa.

Saya mengenal Harry sejak ia masih tidur di lemari sempit bawah tangga Jalan Privet Drive, menangkap snitch pertamanya di lapangan quidditch, melawan basilisk di ruang bawah tanah sekolah, bertemu dengan Sirius Black yang ternyata bapa baptisnya, jatuh cinta pada Cho Chang, memenangkan Piala Triwizard dengan Firebolt pemberian Sirius, mulai naksir Ginny, menjadi buron Kementerian Sihir, hingga memburu horcrux ke berbagai belahan dunia.

Saya mengikuti semua itu seperti saya mengikuti pertumbuh-kembangan sahabat saya sendiri. Dan kini, saat perpisahan hadir nyata di depan mata, apalagi yang bisa saya lakukan selain menangisinya? Dalam hitungan hari saya akan kehilangan sahabat saya. Saya tak akan tahu lagi bagaimana hari-harinya setelah ini, apakah Three Broomsticks masih seramai dulu, atau siapakah yang akan menjadi Kepala Sekolah Hogwarts baru selepas Snape.

Yap, it's time to say goodbye to you, Harry.. Saya nggak tahu apakah akan ada tempat pelarian sehebat dunia kamu di luar sana...

PS:
Selamat ulang tahun ya Harry James Potter..

3 couples - Potter, Weasley, Malfoy
 

Comments

  1. Bagus ka,jdi kangen harry potter stories T_T.Btw its not a really goodbye to harry potter stories afterall...harry potter slalu ada di diri kita dn kita bisa kembali ke dunia mreka dn melihat kembali kisah kehidupan a boy who lived dan kawan2nya yg memotivasi kita2 yg membacanya maupun menonton kembali :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts