Backpacking Day 4 Part 1: Ada “Yogyakarta” di Irisan Kota Bangkok

Setelah menempuh perjalanan sekitar 13 jam dari Phuket, akhirnya kami tiba juga di Bangkok. Suasana ibukota Thailand ini ternyata sesuai dengan yang digambarkan di film Bangkok Traffic Love Story (BTLS). Penuh kendaraan pribadi, macet, dan moda transportasi umum yang mudah dan nyaman. Kalau di Indonesia, 11-12 lah sama area Semanggi, Kuningan, dan Gatsu. Hehe..

Tapi entah kenapa, lalu lintas di kota ini tetap saja teratur. Kendaraan umum sangat tertib. Berbeda dengan di Jakarta yang metromininya cuek saja menyerobot masuk ke busway. Di sini, untuk bisa naik bus kota, kita harus menunggu dari halte. Kalau tidak? Jangan harap bus mau kita berhentikan!

Kami tiba di Terminal Chatuchak sekitar pukul 07.00. Setelah tanya penduduk lokal bagaimana cara menuju Khao San Road, kami disuruh milih naik bus nomer 3 atau taxi meter. Karena ingin murah, kami pun memilih bus dibanding taksi (meski taksinya warna pink. Hiks..). Busnya mirip Kopaja, lah. Tapi ukurannya lebih besar dan sopirnya nggak ugal-ugalan. Dan yang jelas, bus ini GRATIS!

Ternyata bus no.3 nggak langsung sampai ke Khao San. Kami pun disarankan untuk berhenti di halte Chatuchak Market, dan lanjut naik bus nomer 524, 40, 59, atau 504. Tarifnya murah, hanya 13 bath atau 3900 sampai Khao San. Akhirnya, setelah perjalanan lebih dari satu jam, kami sampai juga di area backpacker tersebut.

Khao San mirip Bangla Road. Sepanjang jalan, berjajar bar, pub, guest house, kafe, tempat laundry, warnet, hingga toko pakaian. So feel home. Sejak daerah Ratchawat hingga Khao San, saya merasa sedang berada di Malioboro, Yogyakarta. Tulisan-tulisan di jalannya pun mirip. Bedanya, di Ratchawat tulisan rumputnya ala Thai, sedangkan di Jogja aksara Jawa.

Khaosan Road pagi hari

Kami pun mencoba mencari guest house ternyaman dan termurah di sekitar situ. Setelah bertanya ke sekitar 8 guest house, pilihan jatuh pada Kawin Place (lucu kan namanya? Hehe) seharga 570 baht per kamar, atau Rp 57 ribu per orangnya. Lumayan lah, dengan harga segitu kami dapat king size bed, kamar mandi dalam dengan hotter, dan AC.

Setelah mandi dan beberes sekenanya, kami keluar. Grand Palace dan Wat Pho rencananya jadi tujuan perdana. Namun akhirnya rencana sedikit meleset, setelah seorang cowok lokal menawari paket wisata dengan tuk-tuk, hanya dengan 30 bath atau Rp 3 ribu per orang! Murah, kan.. Yah paling nanti kami memberi tip untuk Lae, Pak Tua yang jadi sopir kami.

Tuk-tuk rencananya akan mengantar kami ke sejumlah tempat, dengan Grand Palace sebagai tujuan terakhirnya. Untuk objek wisata pertama, Lae mengantarkan kami ke Wat Intharawiharn, yang punya patung Big Budha setinggi 40 meter. Untuk hari biasa, harga tiket per orangnya 100 bath. Tapi karena sedang ada perayaan umat Buddha, kami (lagi-lagi) dapat GRATIS! Horray!

Sebelum masuk ke area Wat Intharawiharn, kami menyempatkan diri untuk brunch, a.k.a makan pagi menjelang siang. Karena di warung sekitar wat hanya menjual pork alias olahan babi, saya mengajak Wita dan Novi cari makanan lain. Pilihan jatuh pada sebuah warung yang berjarak 50 meter dari wat. Di situ saya membayar 35 bath atau Rp 10 ribu untuk nasi kari ayam dan segelas es teh.



Setelah kenyang, kami bergegas menuju Big Buddha untuk ambil beberapa foto. Kasihan juga Pak Lae kalau harus menunggu kami terlalu lama. Sekitar 15 menit berada di Big Buddha, kami melanjutkan perjalanan ke Black Buddha. Sayang banget, sesampainya kami di sana, umat Buddha sedang sembayang. Alhasil, saya pun tak bisa memotret patung yang ada di dalam wat tersebut.

Big Budha
Pak Lae kemudian mengantarkan kami ke diamond and saphire exhibition. Saya kirain exhibitionnya di tempat semacam Smesco atau JCC Plenary Hall, hehe.. Ternyata cuma di toko perhiasan kecil gitu. Saya udah feeling bad, kayaknya mahal deh.. Apalagi bapak asal Singapura yang kami temui di Black Buddha bilang kalau dia habis beli cincin safir seharga 5 ribu USD yang kemudian dia jual 10 ribu USD di kotanya. Huaaa.. Mahal sekali!

Ternyata feeling saya benar. Mahal banget perhiasan di sana. Memang sih, cincinnya bagus-bagus. Saya yang nggak suka perhiasan aja bisa bilang cincinnya cantik. Sayang, cincin biru safir itu seharga USD 5 ribu setelah dipotong diskon. Hiks.. Dengan berat hati, saya pun pamit pulang pada si pemilik toko. "I will buy that ring later, if you have an exhibition in Jakarta," kata saya, gombal. Ya elah Pak, gaji saya sebulan mah nggak cukup buat beli satu cincin di toko kamu..

Tujuan berikutnya adalah Wat Somanas Vihara, yang bentuknya nggak jauh beda dengan wat sebelumnya (ya iyalaaah..). Arsitektur vihara ini nggak terlalu spesial sebenarnya. Tapi di sini kami bertemu dengan satu geng bocah Thai yang usianya sekitar 7-8 tahun. Nakal-nakal semua itu mereka. Tapi justru itu yang bikin gemes, hehe.. Kami pun akhirnya mengajak para bocah lelaki itu foto bareng. Hihihi..

Lae kemudian memaksa kami mengunjungi satu toko perhiasan lagi, bernama SNP Jewellery. Aaah, pusing saya lihat barang mahal. Tapi kata Lae, dengan melihat-lihat saja di sana, kami bisa membantunya untuk mendapat tambahan fee. Baiklah.. Hiks. Di SNP, Novi yang belanja. Dia beli hiasan dinding berbentuk persegi, yang dalamnya ada hiasan berbentuk gajah. Baguuuus banget, deh. Sayang harganya mahal: 400 bath :'(

Kelar masuk SNP, kami dipaksa (lagi) oleh Lae untuk mengunjungi toko perhiasan. Tidaaaaak.. Coba deh dia ngerti berapa gaji kami sebagai wartawan. Pasti dia nggak akan mengajak kami ke toko perhiasan lagi, wkwkwk. Toko berikutnya bernama Chin Shop. Di toko yang penjualnya bisa berbahasa Indonesia ini kami membeli beberapa barang. Harganya nggak mahal-mahal banget lah.

Jarum jam menunjukkan pukul 14.00. Kami pun segera keluar Chin, dan diantarkan Pak Lae menuju Grand Palace. Bye, Mr.Lae! Thank you for the trip. Semoga Anda bisa dapat penumpang lagi yang lebih loyal dan berduit dibanding kami. Hihihi..

Taman Kota di Depan Grand Palace, Bangkok

Comments

Popular Posts