Ajal



Saya sudah pernah menulis soal kematian di blog (see in: "Kamu Percaya Tuhan?") . Tapi entah kenapa, ada yang menggerakkan saya menuliskannya lagi. Bukan karena saya ketagihan soal tema ini. Sama sekali bukan. Saya juga bukan penganut paham pemuja kematian (namanya nekrolitika atau apa, yah? Correct me if i’m wrong).

Sebabnya adalah sejak semalam saya tidak bisa tidur. Saya insomnia itu memang iya. Tapi tidak bisa tidurnya saya semalam bukan karena itu, melainkan karena saya stres dijejali pemberitaan soal tragedi kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor. Ya mungkin salah saya juga sih karena tetap terus mengasup berita itu baik dari tivi maupun internet.

Yang mengganjal pikiran saya semalam adalah, bagaimana jika salah satu dari penumpang Sukhoi itu adalah saya. Atau sahabat saya. Atau keluarga saya. Alhamdulillah banget itu tak terjadi, tapi mau tak mau, saya jadi kepikiran itu, karena beberapa dari korban Sukhoi adalah wartawan.

Kematian memang sungguh dekat..

Ekses dari berlebihan nonton tayangan Sukhoi, semalam saya terus-menerus didera mimpi buruk soal pesawat. Pagi saat bangun tidur pun saya langsung dijejali tayangan soal tragedi kecelakaan tersebut. Mungkin saya sedang terlampau sensitif karena mens hari pertama. Tapi beberapa kali melihat adegan pengulangan soal kecelakaan itu, saya jadi menangis.

Saya merasa, saya tinggal menunggu "jatah" saya datang menjemput.

Redaktur saya, Teh Dewi, pagi tadi mengganti status BBM-nya. Intinya, dia bersyukur karena ternyata Tempo tak jadi memberangkatkan reporter ke acara itu. Menurut Teh Dewi, Mbak Maria sebenarnya mendapat undangan dari panitia acara. Undangan itu lalu diteruskan Mbak Maria ke Mas Jobpie dan dimasukkan ke milis desk Nasional.

Entahlah, mungkin memang belum jatah kami untuk dijemput ajal. Undangan itu entah bagaimana tidak diperhatikan oleh redaktur yang bertugas (Mas Sunu). Alhasil, nggak ada reporter Nasional yang ditugaskan ke acara Sukhoi. La haula walaa quwwata illa billah..

Saya jadi ingat mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, putranya, dan tiga orang lainnya yang batal naik Sukhoi, dan batal dijemput ajal juga jadinya. Hal itu mengingatkan saya pada film horor Final Destination, yang aktor utamanya dikisahkan batal naik pesawat karena mendapat firasat buruk pesawat itu bakal kecelakaan.

Maut memang bisa menyergap kita kapan saja.

Ya, siap tidak siap, kalau memang jatahnya nyawa diminta Sang Kuasa, kita tak bisa berbuat apa-apa. Tak perlu juga kita setelah ini jadi takut dan ogah-ogahan naik pesawat, karena yang membuat kita mati bukanlah “naik pesawat”, melainkan memang sudah saatnya raga kita berpisah dengan jiwa.

Kasus Afriyani mengingatkan kita, bahwa maut pun akan tanpa kasihan mengambil nyawa kita saat kita sedang berada di trotoar, berjalan kaki. Bisa juga maut menyapa saat kita sedang tidur, mandi, bercinta, shalat, bekerja, atau sedang tidak melakukan apa-apa.

Kematian memang sungguh dekat, dan tak bisa kita hindari. Yang bisa dilakukan hanyalah memilih, bagaimana mengisi waktu kita sebelum momen itu datang. Pilihan kita untuk berbuat segila dan senakal mungkin, sebaik dan selurus mungkin, atau berada di antaranya. Semua ada konsekuensinya. Jika kamu percaya ada kehidupan setelah kematian, tentunya.

pict from quotespicture.org

Comments

Popular Posts